"Telinga seorang pemimpin harus mampu menangkap suara orang banyak," begitulah perkataan Wodrow Wilson, mantan Presiden Amerika Serikat. Hal itu pun memang benar adanya, karena pemimpin yang baik adalah ia yang bisa menjadi pendengar yang baik.

Idealnya, seorang pemimpin adalah ia yang memiliki “telinga”. Telinga yang tidak hanya bisa digunakan untuk mendengar, melainkan juga mampu untuk mendengarkan. Sebagaimana takdir Tuhan yang telah menciptakan ia sepasang. Ia yang berada di kanan dan kiri kepala masing-masing orang.
Berbeda dengan mulut yang hanya diciptakan satu dalam setiap badan. Pastinya penetapan seperti itu juga ada maksudnya, yaitu agar manusia lebih banyak mendengarkan ketimbang berbicara. Dengan tidak mengumbar kata seenak udelnya sendiri tanpa dasar. Tanpa memperdulikan kata-katanya menyayat perasaan orang ataupun tidak.
            Maka dari itu, telinga perlu dipelihara. Apalagi bagi seorang pemimpin, yang telinganya tentu saja harus dibuka lebar, sehingga ia kan menyimak dengan benar. Tentang hal-hal yang tak terekspresikan, tak terkatakan, tak terungkapkan oleh hati dan lisan. Barulah, bila ia sudah mendengar dan paham betul apa yang salah serta perlu dilakukan. Niscaya ia kan mampu memuaskan segala kebutuhan para pengikutnya.
Mengumbar Telinga
Namun, janganlah sampai menjadi seorang pemimpin yang hanya suka mengumbar telinganya. Tanpa bukti konkret, akan setiap pertanggungjawaban telinganya tersebut. Seperti halnya banyak kisah di negeri ini, yang para pemimpinnya banyak mengumbar-umbar telinga pada saat awal memperebutkan kursi nyaman semata.
Ujung-ujungnya, hal itupun tak sedikit yang hanya berakhir ke dalam sandiwara telinga saja. Menilik, setelah mengampu kekuasaan, para pemimpin justru banyak yang menyalahgunakannya. Baik itu untuk keperluan pribadi maupun golongan. Sama sekali ia lupa terhadap janji-janji akan telinganya yang kan selalu mendengarkan.
Bahkan, tak sedikit juga dari mereka yang malah terjerat ke dalam lembah hitam barang-barang terlarang, uang hitam yang haram, bahkan termatikan oleh nafsu selangkangan. Tak sesuai dengan apa yang mereka janjikan. Seperti berbagai kasus petinggi negara yang tertangkap melakukan tindakan amoral. Terbelenggu oleh perkara pidana, sampai yang baru kemarin ada seorang Ketua DPRD disebuah kabupaten yang terpedaya oleh obat-obatan terlarang. Sungguh amat miris bukan?
Belajar dari Tembang
Dari hal tersebutlah, penting juga untuk belajar akan makna kesejatian seorang pemimpin. Dengan belajar dari tembang Gundhul Pacul, yang mempunyai makna bahwa  seorang pemimpin itu bukanlah orang yang diberi mahkota kehormatan, melainkan ia adalah si pembawa pacul yang siap menagbdi kepada masyarakatnya. Dalam falsafah Jawa, pacul itu adalah perlambang “papat kang ucul”, yaitu empat hal yang terlepas. Hal itu bermaksud, kemuliaan seseorang tergantung kepada apa yang dilepaskan oleh empat indra yang ada di kepalanya, yaitu dari mata, hidung, telinga dan mulut.
Mengingat, mata bagi seorang pemimpin itu berfungsi sebagai alat melihat kesusahan masyarakatnya. Telinga juga sama, digunakan untuk mendengar keluhan masyarakat, dengan tetap menerima kritik dan masukan untuk kebaikan bersama. Kemudian hidung digunakan untuk mencium “wewangian” yang ada di tengah masyarakat dan di sekitar kepemimpinanya. Terakhir, mulut yang digunakan untuk berkata apa adanya, tanpa bermaksud apapun, apalagi hanya untuk pencitraan di media.

Apabila keempat hal itu sudah diselaraskan, maka akan baiklah nilai-nilai yang ada dalam pemimpin tersebut. Ia akan menjadi seorang pemimpin yang bisa mendengarkan setiap jeritan rakyatnya. Lalu, tindakan dalam bukti konkret pun akan terlaksana, karena ia telah peka terhadap setiap masalah yang dikandung masyarakatnya.

written by: Hendra Saputra