pmiigusdur.com - Feminisme tidak bisa hanya dilihat dari penampilan, namun yang ada dalam “mind”. Kelompok feminisme tidak identik dengan berselendang atau bersarung. Feminis adalah apa yang ada dalam gagasan-gagasannya. ”Woman is the longest revolution”

Berbicara soal feminisme, ada banyak hal yang bisa di eksplorasi dari kajian ini. Feminisme tidak hanya membahas persoalan-persoalan normatif mengenai teori-teori tentang femisime saja akan tetapi juga sebagaimana menggunakan teori tersebut untuk menganalisa realita di masyarakat. Salah satunya, feminisme bisa kita pergunakan untuk membedah persoalan yang ada dalam pemikiran filsafat yang ditengarai bias gender. Mengapa hal ini perlu dilakukan? Kerena sebagaimana kita tahu bahwa filsafat merupakan induk dari segala ilmu yangmana digunakan sebagai pisau analisa.

Filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan –pada dasarnya menjadi dasar atau prinsip dalam berfikir secara komprehensif – tentunya sangat berpengaruh besar pada setiap pemikiran manusia. Secara harfiyah filsafat berarti cinta akan kebijaksanaan, definisi cinta disini yakni sesuatu yang mengandung konsekuensi, lalu kebijaksanaan yaitu sikap yang ditunjukkan melalui kebenaran dan kebaikan.

Sedangkan definisi feminisme, menurut Marry Wallstonecraff  dalam bukunya The Right of Woman pada tahun 1972, feminisme merupakan suatu gerakan emansipasi wanita, gerakan yang menyuarakan tentang perbaikan kedudukan wanita dan menolak perbedaan derajat antara laki-laki dan wanita. Feminisme berkenaan dengan pembebasan perempuan dari penindasan kaum laki-laki pada masa itu. Serta gerakan kepercayaan terhadap persamaan keranah publik seperti bidang sosial, politik, ekonomi, dan lain sebagainya.  Yang perlu diketahui, filsafat feminisme ialah analisa feminisme terhadap filsafat.  Bukan filsafat yang menganalisa feminisme, karena sering kali hal itu justru salah diartikan. Selain itu dalam analisa filsafat feminis juga akan melihat kenyataan dalam perspektif feminisme.

Feminisme dan Filsafat
Sebelum membahas antara filsafat dan feminis alangkah baiknya menilik kembali awal pemunculan feminisme, yaitu tumbuh di Eropa sekitar abad ke 18. Timbulnya revolusi prancis dan revolusi industri ternyata telah mempengaruhi tata hubungan antara laki-laki dan perempuan masyarakat barat (baca:Eropa). Kondisi inilah yang mengakibatkan adanya pengkotak-kotakan kaum laki-laki terserap di sektor industri, sementara perempuan banyak di sektor domestik.

Ketidakberdayaan kaum perempuan di tengah struktur dan kultur masyarakat industri inilah yang menjadi inspirasi munculnya gerakan feminisme. Setiap gerakan feminisme slalu mengandung suatu kesadaran feminis, yaitu kesadaran adanya perlakuan tidak adil terhadap perempuan, baik dalam ranah publik maupun domestik, serta tindakan sadar untuk mengubah kondisi tersebut oleh kaum laki-laki maupun perempuan.

Sedangkan filsafat feminisme dapat dikatakan suatu cara berfikir yang menekankan pada pengalaman, identitas, serta cara berada dan berfikir perempuan dilihat sama seperti pria. Ataupun soal bagaimana berfilsafat dari sudut pandang perempuan.

 Kalau kita lihat dan mungkin menjadi pertanyaan, kenapa yang muncul di permukaan hanya filsuf  laki-laki? Filsafat memiliki hubungan yang ganjil terhadap suara perempuan, pandangan terhadap perempuan seringkali bias, padahal sejak abad 17 ditemukan karya filosof perempuan tentang teori moral, epistemologi, metafisika, filsafat sosial, politik, dan lain-lain. Pada abad pertengahan hanya beberapa perempuan yang boleh ikut kuliah, abad 17 ada nama Anna maria van schruman yang ikut kuliah tapi bukan di bangku kuliah tapi di balik tirai salah satu kelas di Universitas Utrecht.

Baru pada 1678 ada Elena Cornaro Piscopia yang menjadi perempuan pertama peraih gelar doktor filsafat di Universitas Padua, Venecia. Sedangkan tahun 1732, Laura Bassi meraih gelar doktor filsafat. Ia mempertahankan 49 tesis tentang filsafat alam di depan 5 profesor. Ujian Bassi tersebut di tempuh selama 1 bulan. Kita lihat bagaimana kaum patriarkal mendominasi di dunia filsafat, bagaimana dipersulitnya kaum perempuan untuk bisa mencapai seperti mereka. Kendala dari filsuf perempuan juga soal publikasinya yang kurang.

Tidak hanya itu, terdapat juga misogini dalam filsafat di antaranya seperti Aristoteles yang berkata bahwa antara laki-laki dan perempuan terdahulu secara alamiah superior dan pemimpin sedangkan yang satu inferior dan objek. Betapa tidak adilnya anggapan mereka tentang perempuan.

Tema utama yang mendasari pergulatan filsafat feminisme ialah kekuasaan kaum maskulin atas perempuan. Bagi para filsuf feminis, legitimasi kekuasaan itu sesungguhnya tidak ada. Namun, struktur patriarkal telah menciptakan sedemikian rupa dalam konteks sosial, historis, dan kultural. Sehingga seolah-olah legitimasi itu tidak dapat di gugat lagi.

Kritik Feminisme terhadap Filsafat
Untuk merubah ini semua, beberapa tokoh penting yaitu Mary Daly pada tahun 1928, ia adalah pemikir feminisme dalam bidang Agama. Tidak ragu untuk langsung mengarahkan kritiknya pada konsep teologis Allah sebagai Bapa. Pendekatan utama yang ia lakukan berdasarkan pada pendekatan paham eksistensialisme dengan maksud menegaskan pengakuan dimensi ontologisme tiap pribadi dan sekaligus pula dimensi sosialnya. Rupanya pendekatan ini sudah mengandung benih penyamaan karakter atau sifat Allah dengan manusia, dalam hal ini yang dimaksudkan adalah perempuan. Kemudian Dely mengubah konsep Allah menjadi ke-Allah-an. Dengan kata lain, menjadikannya lebih abstrak supaya memberi ruang bagi proses atau dinamika perempuan. Usaha ini berarti bahwa konsep Allah dijadikan impersonal. Hal ini mau mengatakan Allah tidak lain adalah jelmaan wanita itu sendiri.

Sedangkan, Luce Irigaray adalah seorang post-strukturalis Prancis pada tahun 1930. Menurutnya, pengertian subjek dari Plato hingga Freud slalu dibangun atas dasar maskulinitas. Ini mengakibatkan perempuan menjadi kelas dua. Namun, tujuan Irigary tidaklah menuntut kesamaan seperti para filsuf feminis lainnya. Yang menjadi penekanannya adalah perbedaan. Perbedaan disini mau berkata bahwa wanita harus mempunyai logikanya sendiri. Ketika kaum perempuan memiliki logikanya sendiri, keberadaannya sebagai manusia yang utuh dan kesetaraannya dengan kaum maskulin diperlihatkan sekaligus. Pemikiran Irigary yang demikian mempunyai konsekuensi lebih lanjut yakni pengandaian adanya Tuhan yang bergender feminin, inilah pembicaraan mengenai penghayatan peran wanita dalam kehidupan sehari-hari. Secara tidak langsung, ini merupakan akibat dari pemikiran post-struktural yang mengatakan kebenaran itu ada dibalik realitas ini.

Itu merupakan pemikiran beberapa tokoh dalam filsafat feminsme dalam memandang ketuhanan dalam Agama.

Feminisme mengandung unsure gerakan, lantaran tujuan feminisme dimaksudkan supaya pengalaman, identitas, cara berpikir, dan bertindak dilihat sama seperti kaum pria. Gerakan ini membedakan apa yang disebut dengan gender dan seks. Gender adalah sesuatu yang bisa diubah, sementara seks merupakan sesuatu yang dari kodratnya tidak pernah bisa dirubah. Meskipun demikian, gerakan feminisme tidak memisahkannya hanya membedakan saja. Mengapa? Karena manusia selalu sudah terikat dengan jenis kelamin dan konsep gendernya. Dengan kata lain, status tersebut perlu diperlihatkan dengan jelas, bukan justru mengidentifikasi individu berdasarkan pada seksualitas. Inilah poin yang menjadi kolaborasi filsafat dan feminisme. Pengertian ini mensyaratkan perbedaan, namun tetap berada dalam kesetaraan.

Adanya perjuangan bahwa perempuan harus mampu mengimbangi kaum laki-laki. Oleh karena itu, perempuan perlu berfilsafat untuk menyelamatkan keberatsebelahan pemikiran filsuf laki-laki.

Oleh: Safi’atullaila Masaroh (Ketua LPSAP Periode 2013-2014)