Jakarta, pmiigusdur.com - Gagasan dan pemikiran Ketua Umum PBNU 1984-1999 KH Abdurrahman Wahid yang dituangkan dalam bentuk tulisan sejak tahun 1970-an tak habis digali. Pemikirannya masih tetap relevan hingga sekarang. Tak heran, beraragam buku dengan berbagai pendekatan telah terbit. Beragam diskusi danseminar tak habis-habis digulirkan.

Sebagai salah satu upaya untuk memperkenalkan dan melanjutkan gagasan kiai yang biasa disapa Gus Dur, salah seorang santrinya di Pondok Pesantren Ciganjur Jakarta, Syaiful Arif, merumuskan kegiatan bertajuk “Kursus Pemikiran Gus Dur”. Kursus tersebut menggali detail-detail gagasan Gus Dur.  

Dalam kursus tersebut, lebih menekankan gagasan Gus Dur saat muda. Syaiful Arif menyebutnya Gus Dur Muda, yaitu antara 1970 hingga 1999 (ketika Gus Dur jadi Presiden RI keempat). Dalam istilah lain disebut Gus Dur teoritis.  

Untuk mengetahui lebih jauh tentang kursus pemikiran Gus Dur Abdullah Alawi dari NU Online mewawancarai anaka muda kelahiran Kudus,Jawa tengah, 1981. Syaiful Arif termasuk anak muda NU yang cukup produktif dalam menulis buku. Berikut petikan wawancaranya. 

Asal mula muncul ide kursus pemikiran Gus Dur?

Gus Dur kan sudah wafat, kalau tidak diterusin pemikirannya kan sayang. Selama ini kan gerakan-gerakan Gus Durian itu hanya menenmpatkan Gus Dur sebagai pribadi, bukan sebagai pemikiran.

Kenapa bisa berkesimpulan seperti itu?

Karena di dalam gerakan gerakan Gus Durian selama ini, penggalian pemikiran itu kayaknya kurang belum maksimal. Menempatkan Gus Dur sebagai pribadi, ya bagus, karena memang Gus Dur pribadi. Artinya, yang kita diskusikan, kita ingat, yang ingin kita teruskan itu kan perjuangannya sebagai pribadi. Tapi kan di dalam pribadi Gus Dur itu, ada Gus Dur praktis, ada Gus Dur teoritis.

Gus Dur praktis itu, Gus Dur di dalam praktik politik dan praktik perjuangannya, baik di PKB, di negara, maupun di NU. Nah, tetapi praktik Gus Dur, praktik perjuangannya dilandasi oleh Gus Dur yang teoritis. Artinya dilandasi oleh pemikiran. Nah, saya lihat selama ini, -ya ini mungkin pembagian wilayah kerja aja ya, teman-teman yang memang masuk di dalam praktik Gus Dur, saya memilih di ruang-ruang teoritisnya. Itu yang pertama. 

Yang kedua, jelas sekali selama ini kan Gus Dur itu pemikir. Kalau tidak kita tidak dijaga pemikirannya melalui diskusi-diskusi yang intens, ya warisan itu akan jadi warisan “berdebu” di dalam buku-bukunya yang mungkin hanya sekilas sekali ditengok dan dibaca. Padahal kan kalau pemikiran terhenti pada teks, dia hanya terhenti pada teks. Bukan menjadi pemikiran. Menjadi pemikiran itu kan ketika diperbincangkan. Dari perbincangan itu bisa kemudian ditindaklanjuti, bisa dikritisi, bisa menjadi inspirasi. Jadi, aku kebetulan pernah nyantri dengan beliau, ya merasa beban moral. Makanya kemudian yang kupilih kan kursus. Kursus ini kan artinya satu langkah menuju, kita bedakan antara diskusi dengan kursus ya. Diskusi kan tidak ada silabus, hanya sekadar berbagi informasi. Tapi kalau kursus itu ada silabus, dan metodenya juga metode klasikal. Artinya di situ tidak hanya ada pembicara, tetapi ada tutor, pengajar. 

Nah, kalau seseorang sudah memastikan diri sudah siap untuk menjadi pengajar atau tutor di dalam kursus itu kan dia punya konsekuensi kan, ya dia harus menguasai betul, detail dari pemikiran Gus Dur karena kan sebelum kursus ini aku menawarkan sama teman-teman Gus Durian ya.

Metode kursus kan mengkelaskan Gus Dur karena selama ini kan pemikiran Gus Dur hanya terserak-serak, bercerai-berai di opini di koran. Kemudian aku memiliah Gus Dur muda dan Gus Dur tua. 

Bagiamana penjelasannya?

Gus Dur muda itu Gus Dur dari tahun 1970 sampai pertengahan 90. Gus Dur tua itu Gus Dur sejak menjadi presiden sampai wafat. Nah, Gus Dur muda, yaitu Gus Dur yang pemikirannya layak menjadi diskursus intelektual karena tulisan-tulisannya tidak hanya dalam bentuk opini di koran, tapi di makalah-makalah panjang. Baik dalam jurnal seperti Prisma, jurnal Pesantren, maupun makalah-makalah seminar, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Nah, dengan tulisan-tulisan panjang itu kan kita bisa merumuskan pemikiran Gus Dur sebagai wacana intelektual dan materi-materi akademis. Nah, kursus pemikiran Gus Dur itu masuk di ruang itu. Jadi, menempatkan Gus Dur dalam wacana intelektual dan khususnya materi-materi akademis. 

Kenapa disebut kursus?

Karena kan ya memang sampai saat ini belum ada kurikulum pemikiran Gus Dur. Karena itu aku kemudian merumuskan materi, silabus pemikiran Gus Dur yang aku harapkan sistematis dan menjadi satu langkah menuju yang akademis, atau akademisasi Gus Dur. 

Sementara Gus Dur tua itu kan sejak menjadi presiden sampai lengser, itu kan Gus Dur yang tulisan-tulisannya hanya dipercikkan di koran. Gus Dur yang sudah sepuh itu, ya Gus Dur yang sudah  praktis. Tulisan-tulisan di koran adalah refleksi dari peristiwa-peristiwa aktual atau penggalian kembali memori pemikiran yang masih ada dalam endapan di pemikiran beliau. Selama ini banyak orang menempatkan Gus Dur hanya di dalam Gus Dur di era tua. Mereka tidak masuk di dalam pemikiran Gus Dur di era muda. 

Gus Dur muda? 

Itu terkait materi. Gus Dur muda itu Gus Dur yang terinspirasi dari teologi pembabasan Amerika Latin. Dari situ Gus Dur kemudian mengolah tradisi Islam, khusunya tradisi Islam pesantren dan NU, untuk menghadapi developmentalisme Orde Baru . Gus Dur muda itu kan Gus Dur era Orde Baru. Dalam era Orde Baru itu, Gus Dur yang masih muda, merumuskan tradisi; mengolah tradisi intelektual Islam tradisional pesantren dan NU dalam wacana-wacana teologi pembebasan untuk menghadapi developmentalisme dan modernisasi. Jadi, kalau developmentalisme itu kan wacana ekonomi politik, kalau modernisasi kan wacana kebudayaan. Nah, Gus Dur mencoba mengolah tradisi-tradisi Islam pesantren dan NU untuk menanggapi modenisasi dan developmentalisme.

Nah, salah satu hasil prodak pemikirannya seperti Islam sebagai etika sosial. Islam sebagai etika sosial itu kan jarang dilihat banyak orang karena selama ini orang melihat pemikiran Islam Gus Dur itu kan hanya dua, pribumisasi Islam dan pluralisme agama. Padahal ketika aku telusuri di dalam teks-teks Gus Dur muda itu ada dua pemikiran lain yang selama ini belum dibaca orang. Yang pertama, Islam sebagai etika sosial dan kedua, negara kesejahteraan Islam.

Bagaimana penjelasannya kedua-duanya? 

Nah, itu kemudian aku jadikan materi ya. Islam sebagai etika sosial. Di kursus itu kan, pemikiran Islam Gus Dur; kalau kita pinjam istilah Marx, ya itu kan basis struktur, ada struktur ada suprastruktur. Ada lantai, ada tiang, ada dinding ada langit-langit, ada atap. Nah, pribumisasi Islam itu, lantai dari pemikiran Gus Dur karena ia mempertemukan Islam dan budaya. Nah, budaya itu kemudian menjadi landasan dari masyarakat dan landasan dari negara. Nah, prbumisasi Islam sebagai basis struktur dari pemikiran Islam Gus Dur itu kemudian menopang struktur pemikiran Islam Gus Dur, yakni Islam sebagai etika sosial. Kenapa? Karena Islam sebagai etika sosial adalah pemikiran Islam Gus Dur yang menempatkan Islam sebagai etika masyarakat; akhlak sosial. Jadi Gus Dur itu selalu memaknai akhlak sebagai etika sosial. Beliau tidak pernah menafsiri di luar konteks itu, umpamanya akhlak adalah pribadi. Itu nggak pernah, beliau. Jadi, akhlak itu pasti dalam kurung etika sosial.

Etika sosial itu bagaiamana?

Etika sosial itu sederhana, Gus Dur mencoba menggali kemudian merumuskkan prinsip-prinsip etis kehiidupan sosial. Prinsip-prinsip etis kehidupan sosial itu sebenarnya letakanya di dalam kewajiban masyarakat untuk menciptakan sturktur masyarakat yang berkeadilan. Struktur masyarakat yang berkeadilan itu merupakan wujud wujud etis masyarakat yang didukung oleh prinsip-prinsip keislaman. Gus Dur menarik dalam hal ini. Beliau punya gagasan tentang rukun sosial. Di Islam itu kan ada rukan Islam ada rukun iman. Rukun iman itu teologis, rukun Islam itu, katakanlah amal ya dari iman. Kata Gus Dur di dalam rukun Islam itu ada dimensi sosial ada zakat, ada haji ada shalat (ketika berjamaah). 

Artinya, amal-amal ritual itu sebenarnya bersifat sosial. Artinya memiliki keberpihakan terhadap pensejahteraan masyarakat. Namun sayangnya, banyak sekali umat Islam yang hanya memahaminya dalam kerangka ritual individual. Akhirnya, rukun sosial itu tidak ada dampak sosialnya. Nah, Gus Dur menggagas kita perlu sebuah rukun sosial, atau rukun tetangga, kata Gus Dur. Rukun sosial itu menjembatani antara rukun Islam dengan rukun iman. Artinya, kita harus menjadikan kepedulian sosial itu sebagai bagian dari rukun Islam dan rukun iman, menjadi bagian dari teologi. 

Jadi, Gus Dur menggagas teologi sosial. Nah, ini Islam sebagai etika sosial. Ini struktur. Struktur sosial dari basis yang ditopang pribumisasi Islam. Kenapa? Karena, tanpa pribumisasi Islam, Islam tidak akan menjadi etika sosial. Kenapa? Karena pribumisasi Islam-lah yang kemudian meleraikan ketegangan antara Islam dan budaya. Nah, ketidakmampuan meleraikan Islam dan budaya akan menyebabakan islamisasi budaya atau purifikasi budaya lokal yang kemudian menjadi trade mark dari gerakan-gerakan Arabis. Nah, gerakan-gerakan Arabis itu, kata Gus Dur, terjebak di dalam perjuangan Islam yang simbolik. Kenapa? Karena tujuan mereka hanya menerapkan simbol-simbol Islam di dalam budaya lokal.

Sumber: nu.or.id