pmiigusdur.com - Ketika berbicara mengenai “islam dan barat”, Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia belum begitu diperhitungkan. Pembandingan itu memang “tidak lurus” secara logika: satu berbicara agama dan satu lagi berbicara kawasan. Diam-diam, islam yang dimaksud bukan sebagai agama, tetapi sebuah kawasan negara-negara muslim yang berpusat di timur tengah dan persebarannya, dimana Indonesia tidak tercakup di dalamnya.

Tesis yang sempat menghebohkan di awal tahun 2000-an dimunculkan oleh Samuel P. Huntington yakni mengenai benturan peradaban antara timur dan barat yang terjadi setelah menurunnya tensi komunisme di dunia. Kita tidak membahas mengenai prediksi terjadinya “benturan” yang tidak terbukti, namun cerita mengenai konflik antara Kroasia dengan Bosnia, antara Amerika dengan Irak, segregasi geografis yang terjadi di wilayah Balkan, dan tentang imperialisme serta pengangguran yang menyebabkan kelompok islamis bermigrasi ke barat itu tentu tidak bercerita tentang muslim di Indonesia.

Mengapa kaum muslim di Indonesia tidak diperhitungkan? Ada dua hal yang bisa diajukan di sini. Pertama, para pengamat barat melihat Islam di Indonesia, atau di wilayah nusantara pada umumnya, sebagai bentuk singkretisme, bukan Islam yang sebenarnya sebagaimana yang mereka lihat di timur tengah; sebuah penampakan Islam yang seragam dengan "jubah dan warna hitam putih"; bukan bukan Islam dengan berbagai "corak warna dan batik".

Kedua, Indonesia memang tidak pernah diproklamirkan sebagai sebuah negara Islam. Rentetan proses dialog dan proses pembentukan negara-bangsa akhirnya mengantarkan para negarawan muslim untuk berbesar hati menghapuskan tujuh kata: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”. Ini menjadi penanda bahwa Indonesia mengakui keberadaan agama lain, meskipun dihuni oleh mayoritas muslim, bahkan merupakan terbesar di dunia.

Sementara itu beberapa komunitas muslim yang sering menggelar aksi dan aktif di media nasional dan internasional juga lebih sering mengintegrasikan diri sebagai bagian dari kelompok muslim di kawasan timur tengah. Lebih dari itu, beberapa komunitas tersebut lebih sering merupakan cabang atau kepanjangan tangan dari sana. Berbagai aksi dan isu yang dilancarkan juga merupakan bawaan dari timur tengah.

Kondisi ini tidak menguntungkan, bukan saja karena energi kaum muslim Indonesia habis dan terlarut dalam pusaran konflik di timur tengah, tetapi juga menghilangkan identitas muslim Indonesia yang mempunyai karakteristik, khazanah, nilai-nilai, dan latarbelakang sejarah yang berbeda.

Yang perlu dilakukan bukan melibatkan diri ke dalam pusaran konflik, tetapi menjadi penengah dalam berbagai konflik dan persoalan yang melanda dunia muslim.

NU sudah memulai dengan  melibatkan diri dalam proses perdamaian di Afganistan. Beberapa pemimpin NU sudah beberapa kali diundang ke Afganistan dan perwakilan ulama Afganistan telah melakukan kunjungan balasan. Perwakilan ulama Afganistan bahkan secara langsung meminta NU menginisiasi penyelenggaraan konferensi ulama-ulama dunia untuk bisa duduk bersama memecahkan persoalan Afganistan.

Melalui perguruan tingginya, NU juga mengundang para mahasiswa Afganistan untuk belajar di Indonesia; belajar Islam dari Indonesia. Di sini para calon mahasiswa Afganistan (dan negara lain yang lebih dulu belajar di NU) harus menempuh pendidikan bahasa Indonesia untuk bisa lebih mengenal tentang Islam di Indonesia, khazanahnya, nilai-nilainya, ajaran-ajaran ulama.

Langkah NU melibatkan diri dalam proses perdamaian di Afganistan juga merupakan kelanjutan dari pelaksanaan International Conference of Islamic Scholars (ICIS) yang telah diselenggarakan beberapa kali di Indonesia dan melibatkan para ulama dan cendekiawan muslim dari berbagai negara. Sementara itu belasan cabang istimewa NU di luar negeri (PCINU) sedianya menjadi duta dan penyambung lidah NU untuk memperkenalkan Islam Indonesia di luar negeri.

Bersamaan dengan itu, STAINU Jakarta pada tahun ajaran ini juga memulai program Kajian Islam Nusantara. Lebih dari sekedar mengenalkan Islam sebagai sebuah khazanah, STAINU Jakarta ingin membalik anggapan para antropolog barat, bahwa Islam Indonesia bukan sebuah singkretisme tetapi merupakan sebuah bentuk Islam yang sudah paripurna, karena terbentuk dari dialog antarbudaya di berbagai peradaban besar dunia seperti Persia, Turki, India, dan China.

Sudah saatnya Indonesia menjadi kiblat dunia muslim, bahkan menjadi “pemimpin dunia Islam” seperti pernah disampaikan Prof Hassan Hanafi kepada KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika menjabat presiden ke-4 RI. Dan tugas sarjana muslim Indonesia adalah memperkenalkan Islam Indonesia ke pentas dunia, bukan mengeluhkan renik-renik persoalan dan konflik berbasis muslim yang justru diakibatkan oleh gesekan yang terjadi di luar sana.

Sumber: nu.or.id