Hampir 16 tahun bangsa ini merasakan reformasi, kelihatannya tidak ada
kemajuan yang berarti kecuali kebebasan atau bisa juga diplesetkan
“keblabasan”, kata orang tua sisa-sisa ORBA. Tak salah mengatakan demikian, tapi
terlalu berlebihan jika kita menyalahkan reformasi sebagai biang keladi ketidak
teraturan dan ketidak pastian arah
bangsa ini, maju atau mundurkah? Well, apapun itu right or wrong this is our
nations. Ya, justeru menjadi kesalahan yang tak akan bisa di maafkan jika
kita sebagai kader bangsa sudah merasa tak betah jadi WNI. Kenapa kita harus
merasa tak betah? Greg nwokolo, victor Igbonevo, Sergio van dijk, Rafael
maitimo, irfan bachdim, diego michels, dan stevano lilypali yang tidak pernah
lahir di Indonesia aja bangganya bukan main jadi WNI. Sedikit truth claim yang
mudah-mudahan jadi penyemangat nasionalisme. Kesemrawutan bangsa ini kita
tonton aja lah, mencela boleh kok, asal buat “guyonan” saja.
Bebas Tak Maksimal
Kembali lagi kita bahas bangsa ini, kali ini kita serius. Mencermati
perkembangan bangsa ini semenjak di cetuskannya reformasi sebetulnya terbilang
signifikan. Indikatornya banyak, terutama kebebasannya, maka yang harus kita
lakukan sebetulnya sujud syukur bukan pertobatan seperti yang di kampanyekan
Anis Matta (presiden PKS), hanya saja pemanfaatan kebebasan itu yang belum
maksimal. Kenapa penulis menyatakan belum maksimal? Karena kebebasan tak
maksimal ketika kita merasa menggantung dan bimbang lalu melampiaskan
kebimbangan ini dengan teriakkan dan kemarahan, atau karena kita merasa bimbang
kemudian kita “mempercayakan” pengelolaan aset kita kepada pihak asing.
Kebebasan yang maksimal adalah mensyukuri segala anugerah dan
mengaktualisasikan segala potensi yang ada demi terciptanya kemakmuran, dan
pihak asing hanya sebagai tamu yang kita suguhi kenikmatan itu, mereka tidak
berhak ikut campur dalam urusan dapur bangsa ini.
Generasi muda
bangsa ini memang pantas untuk marah, silahkan kalian turun kejalan, sebab
hanya di jalanlah kalian merasakan emosi yang besar, dan hanya dengan emosi
sajalah kalian mampu menunjukkan kekuatan kalian. Tak ada gunanya kalian cuek,
karena akan tetap tak akan ada perubahan. Memang tak ada yang bisa menjamin
perubahan muncul dengan turun jalan, tapi setidaknya kaum muda seperti kalian
tak hanya berdiam diri berpangku tangan.
Bermain dan Tertawa
Yang paling
menarik ketika kita di pertontonkan gejolak politik bangsa ini, terkadang
menyulut emosi terkadang juga mengundang tawa, bahkan sudah sangat sering
perilaku elit politik banyak di tiru oleh pelawak. Sering kita menonton
Parodi-parodi untuk menirukan kekonyolan elit politik ini, seolah-olah para
pelawak ingin menyampaikan pesan “wahai rakyatku, janganlah kalian bersedih,
mari kita tertawa bersama”. Prof. Johan Huizinga seorang sejarawan belanda
mengungkapkan hal yang menarik bahwa sesungguhnya manusia adalah makhluk
bermain atau homo ludens, menusia sejatinya ingin selalu merasa bebas,
lebih bebas ketimbang pengertian yang di definisikan oleh Karl marx bahwa
kebebasan adalah kemerdekaan yang artinya terlepas dari ketertindasan.
Lebih lanjut
Prof. Huizinga mengatakan, kebebasan yang sesungguhnya ketika manusia bisa
bermain lepas. Dengan bermain manusia betul-betul telah keluar dari kehidupan yang
biasa dan menuju kekehidupan yang sebenarnya. Seperti yang kita tahu, permainan
adalah perilaku yang tidak mengejar kepentingan materi, permainan melengkapi
sekaligus menghiasi kehidupan. Inilah kebutuhan manusia sesungguhnya, namun
manusia modern sudah terjebak kepada kebebasan material seperti sekarang ini,
inilah yang di sayangkan oleh marx yang dalam das capitalnya mengatakan
“kebebasan materi hanya membentuk watak kapitalistik”.
Permainan
bukanlah perilaku serius, permainan menghendaki ketidak sungguhan bahkan hanya
candaan. Permainan bukanlah perlombaan yang menuntut harus juara, justeru permainan
menghendaki setiap yang terlibat bisa lepas tertawa. Dalam permainan tak harus menunjukkan
kecerdasan, rasionalisasi, logika, ataupun strategi, justeru hal-hal itu akan
merusak ritme permainan, karena hal-hal itu hanya ada dalam perlombaan.
Kewajiban yang harus di tunaikan di dalam perlombaan adalah menyingkirkan
lawan-lawannya, sedangkan dalam permainan tertawaknlah kawan-kawannya. Tak ada
ukuran pasti dalam permainan, karena hakekat kebebasan adalah ketidak pastian
itu sendiri. Ukuran, nominal, target, dan apapun yang berhubungan dengan angka
justeru mengekang kesejatian manusia. Manusia akan murung
jika dia berhadapan dengan angka, dan sebaliknya manusia merasa ceria jika
terlepas dari angka.
Tak asing di telinga kita dengan istilah “bermain sambil belajar”, tak
ada yang bisa menyangkal bahwa keseriusan adalah faktor utama kegagalan siswa
dalam memahami oelajaran yang di sampaikan oleh gurunya. Sudah sejak
lama, bahkan sebelum bangsa ini merdeka, dunia pendidikan mengkampanyekan
metode permainan ini. Ki Hadjar Dewantoro
memenuhi taman siswa tidak dengan buku, tapi dengan setumpuk alat permainan.
Sangat jelas bahwa permainan yang memunculkan canda dan tawa adalah kebebasan
sejati umat manusia dan membuat manusia lebih terbuka.
Pemimpin yang Suka Bercanda
Kembali ke persoalan bangsa, kepenatan bangsa ini sudah berada pada
titik nadir, kita sepatutnya berterimakasih kepada para pelawak yang setiap
hari menampilkan Parodi lucu agar “rakyatnya” tertawa. Seolah-olah
mereka tahu bahwa kebutuhan rakyat bangsa ini adalah bahan tertawaan, dengan
tertawa kita merasa lepas dari jerat hidup, bahkan dengan tertawa kita tak
pusing memikirkan hiruk-pikuk elit politik yang berebut kuasa. Bukan bermaksud
menertawakan bangsa sendiri, tapi bagi para politisi cerdas setidaknya buatlah
candaan untuk rakyatnya. Namun, untungnya di negeri kita ini ada sosok Jokowi
yang sederhana dan tak menunjukkan sisi cerdasnya sama sekali. Bukan
bermaksud untuk berkampanye, tapi sosok jokowi yang sederhana, senang blusukan,
senang melontarkan kelucuan, dan tak rasional sama sekali kalo bicara justeru
di gandrungi rakyat negeri ini. Saya teringat dengan sosok KH. Abdurrahman
Wahid (Gus Dur), siapa sih yang berani bilang kalo dia itu bodoh walaupun tak
pernah lulus kuliah? Tapi negeri ini betul-betul kehilangan sosoknya itu.
Beliau tak segan-segan melontarkan celotehan di depan media seakan-akan tak
perduli apakah wibawanya akan jatuh. Masih terngiang di telinga kata-kata yang
sering di ucapkannya “gitu aja kok repot”. Dalam menghadapai masalah
negara beliau juga santai tak pernah gelisah, dia pasti menyampaikan dengan
menyelipkan sedikit guyonan, bahkan suatu ketika dia pernah menghadapi para
demonstran di depan istana negara hanya dengan kaos oblong dan celana pandek
dan pasti yang menonton tertawa terpingkal-pingkal melihat kelakuannya itu.
Itulah sekilas tentang gusdur, mungkin dia satu-satunya presiden yang
paling suka bercanda di dalam sejarah. Beliau memang belum sempat membawa
perubahan yang berarti buat bangsa, tapi beliau telah membuat bangsa ini
tertawa. Mungkin saja GUS DUR di pecat dari jabatan presidennya bukan karena
dia di benci oleh MPR/DPR tapi karena gak pernah serius dan suka bercanda, dan
inilah kesalahan elit politik negeri ini, mereka tak pernah berusaha
memunculkan bahan candaan, mereka justeru menjejali masyarakat dengan
keseriusan.
Oleh: M. Husni Mushonifin
0 Komentar