“PMII adalah teks yang tak pernah
berhenti di satu titik.”
“PMII adalah proyek yang terus
berada dalam proses menjadi.”
Kurun
waktu tahun 2006-2012, bisa dikatakan sebagai masa penurunan gairah
intelektualitas di lingkungan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)
Komisariat Walisongo. Pengembangan wacana nyaris tak pernah dipoles sebagai
sesuatu yang menarik. Jika pun kegiatan yang bersifat akademis dilakukan oleh
pengurus rayon atau komisariat, sifatnya masih sangat sporadis. Pun, tak
terlalu jelas sasarannya. Kebanyakan mengambil bentuk seminar. Mendatangkan
banyak orang, dengan harapan sosialisasi semakin luas. Saya tidak menganggap
bahwa seminar itu sesuatu yang tidak baik. Dalam beberapa hal, seminar itu
memang perlu, terutama sebagai alat show off kekuatan. Tapi jika ditilik lebih
dalam, efektivitas seminar sebagai medium untuk melakukan transfer pengetahuan,
sesungguhnya sangatlah minimal.
Menurunnya
gairah itu tentu bukan karena faktor tunggal. Di level gerakan, arah PMII yang
tak terlalu jelas adalah salah satunya. Jika era reformasi dan sesaat setelah
reformasi bangunan pengetahuan itu menjadi salah satu tonggak kaderisasi, era
2005-sekarang mencatat kalau PMII nyaris terfokus pada isu politik. Dinamika
politik seperti menjadi magnet yang menyedot hampir sebagian besar energi sahabat-sahabat
di PMII. Sekali lagi, bukannya ini sesuatu yang buruk. Respon cepat terhadap
isu-isu politik menunjukan kepekaan. Namun, jika hal tersebut tidak ditunjang
oleh pengetahuan dan cara baca yang memadai, bukan tidak mungkin menjadi
blunder.
Itu
adalah poin pertama mengapa pengembangan kajian menjadi sangat loyo. Alasan
berikutnya adalah homogennya pemikiran di sekitar IAIN. Perkembangan wacana di
IAIN nyaris sama. Misalnya dalam isu-isu agama. PMII nyaris tidak mendapat
lawan wacana. Semua diskursus keagamaan nyaris seragam.
Saya
ingin cerita sedikit tentang hal ini. Tanggal 8 Juni 2005, anak-anak Kesatuan
Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) membuat diskusi dan bedah buku
bombastis, Ada Pemurtadan di IAIN. Bertempat di Kampus I, diskusi itu menyedot
perhatian banyak aktivis, termasuk sahabat-sahabat PMII. Saya, yang kebetulan
menjadi pengurus komisariat tercengang, karena pembicara yang dihadirkan tidak
berimbang. Ada Hartono Ahmad Jaiz, sang penulis buku, Ridwan Saidi dan
Mu’inuddiinillah (PKS). Rupanya dua nama terakhir disiapkan untuk membentengi
Hartono. Di sudut lain, ada sahabat Abu Hapsin. Cerita diskusi bisa ditebak.
Abu Hapsin “dihabisi” oleh ketiga pembicara. Meski audiens hampir 70 persen
adalah aktivis PMII, tetapi suara dominan adalah tuturan Hartono, Ridwan dan
Mu’inuddiinillah. Dinamika seperti ini, langsung atau tidak, menggugah sahabat-sahabat
PMII untuk terus mengasah diri dengan pelbagai pengetahuan. Perkembangan
diskusi ternyata juga dipicu karena ada “lawan tanding,” atau tepatnya ketika
terjadi dialektika.
Situasi
tersebut nyaris tidak kita temui sekarang, setidaknya sejak tahun 2006. KAMMI
sendiri tidak banyak bersuara dan membangun pengetahuan yang sistematis
sementara Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) baik Dipo maupun MPO, sepertinya lebih
banyak tertarik dengan sesuatu yang berbau politik ketimbang akademis.
Celakanya,
PMII kemudian larut dalam situasi kelesuan itu. Sahabat-sahabat di PMII, mohon
maaf jika saya salah menilai, lebih tertarik berbicara suksesi kepemimpinan
ketimbang pergulatan pemikiran. Lebih banyak mengajukan proposal kegiatan yang
tak diimbangi dengan “proposal ide.” Kalau kemudian ada yang menyangsikan
kualitas kader PMII saya kira itu patut direnungkan. Bahwa ada banyak dari
kader-kader PMII yang sukses di bidangnya, entah menjadi akademisi,
wiraswastawan, pegawai negeri dan lain-lain, tapi apakah keberhasilannya itu
adalah buah dari kaderisasi di PMII?
Saya
ingin berbicara pada satu konteks yang spesifik saja, pengembangan wacana. Tentu
karena saya pernah menjadi pengurus di departemen ini, jadi hanya di bidang
inilah saya sedikit mampu dan agak memberanikan diri untuk berbagi pengalaman. Harapannya,
pengalaman saya dan sahabat-sahabat yang pernah bersama-sama di Rayon maupun
Komisariat mungkin bisa diduplikasi bahkan dimodifikasi agar menjadi sesuatu
yang menarik di masa sekarang dan yang akan datang.
Wacana Pasca Mapaba: PMII sebagai Ideologi
Masa
Penerimaan Anggota Baru (Mapaba) adalah pintu masuk secara formal untuk menjadi
bagian dari keluarga besar PMII. Hemat saya, Mapaba adalah momen dimana
sahabat-sahabat anggota baru “diyakinkan” bahwa pilihannya untuk bergabung
dengan PMII adalah sesuatu yang benar. Dengan kata lain, Mapaba adalah proses
indoktrinasi. “PMII-lah jalan dan kebenaran dan hidup,” begitu kira-kira
plesetan dari Yohanes 14:6.
Penguatan
basis wacana yang berat tentu kita dapati saat mengawal mereka pasca Mapaba.
Dengan agak sedikit mengenyampingkan teknis bagaimana memadu-madankan kegiatan
perkuliahan dan follow up Mapaba, pengembangan
wacana di fase ini tentu saja harus berjalan sinambung dengan apa yang
diberikan saat Mapaba.
Di
sini, superioritas PMII mungkin harus ditunjukan. Atau lebih tepatnya
memastikan bahwa PMII punya banyak cara pandang dalam melihat satu masalah. Misalnya
dalam diskursus keagamaan. Pengembangan wacana keagamaan bisa ditekankan pada
aspek universalitas nilai yang terkandung di dalam agama. Misalnya bagaimana
memahami Islam sebagai Rahmatan Lil ‘alamin. Lalu menelusuri makna Ahlussunnah wal Jamaah
dan lain sebagainya.
Wacana Pasca PKD: PMII sebagai Teks
Pelatihan
Kader Dasar (PKD), tentu harus memiliki bobot keilmuan yang agak sedikit
berbeda dengan Mapaba. PMII tidak lagi dimaknai sebagai ideologi, (dengan
asumsi bahwa mereka sudah feel at home)
tetapi saya menyebut PMII ditempatkan sebagai teks. PMII dan apa yang ada di
dalamnya harus dibaca kembali, dimaknai kembali dan dicermati signifikansinya.
Hemat
saya, teks yang baik adalah teks yang memungkinkan terbukanya ragam tafsiran. Nah,
PMII serta kajian-kajian yang ada di dalamnya, bagi alumni PKD harus
ditempatkan sebagai teks. Teks yang duduk di dalam konteksnya yang spesifik. PMII
tak lagi menjadi subjek tapi objek. Kata al-Jabiri, disini seseorang harus
menjaga jarak dengan apa yang dibacanya, fashl
al-qari ‘an al-maqruu’.
Implementasinya
kira-kira begini. Dalam diskursus agama, (saya lagi-lagi mengambil contoh ini
agar tidak jauh-jauh amat dengan fokus studi saya) mungkin perlu diperkenalkan
pendekatan-pendekatan kritis-historis mengenai agama. Jika di Mapaba yang
disorot adalah nilainya tetapi pasca PKD agama harus “dikuliti.” Agama di sini
menjadi teks terbuka. Pun pula dengan
materi lain semisal Aswaja. Disini mulai ada pergeseran dari aswaja sebagai
madzhab dengan aswaja sebagai manhaj.
Bisa dicermati pula bagaimana sejarah politik kelahiran madzhab ini dari masa
ke masa. Mungkin kader PMII bisa digiring pada satu pertanyaan krusial, apakah
benar Aswaja itu madzhab?
PMII Sebagai Diskursus: Sebuah Proses Lanjutan
Pasca
dua fase itu, saya kira kader-kader PMII saatnya harus sudah “liar” dalam mengkonstruksi
ide. Mungkin agak kurang pas, tetapi dengan menyebut PMII sebagai diskursus,
saya hendak mengatakan bahwa di masa ini, kader-kader PMII harus bisa melihat
wacana sebagai kuasa. Diskursus sebagai kuasa yang darinya akan menghasilkan
kuasa lanjutan. Jika pengertian ini lebih kental nuansa Foucaultnya, Habermas
secara normatif melihat diskursus sebagai cara untuk memperoleh konsensus. Emansipasi
adalah kata kunci dalam pendekatan ini. Perencanaan partisipasi menjadi suatu
hal yang mesti dibangun untuk mencapai konsensus tersebut.
PMII
disini mesti diposisikan dalam relasinya dengan banyak elemen; sosial, politik,
ekonomi dan lainnya. Isu geopolitik, modal dan pengetahuan, feminisme, agama
dan transformasi global mungkin menjadi pilihan diskusi yang menarik dalam
konteks posisi PMII sebagai diskursus itu tadi.
Mencari Identitas Wacana di PMII Walisongo
Memang
agak sulit mencari titik temu mengenai ide apa yang menjadi identitas PMII
Walisongo. Apa yang harus “dijual” sebagai trade mark PMII yang berkampus di
barat Semarang ini. Belum lagi sekarang IAIN tak hanya mengakomodir persoalan
agama saja. Ada juga jurusan-jurusan umum, yang sedikit banyak berkontribusi
pada “kebingungan” untuk mencari isu bersama dalam pengembangan wacana.
Saya
ingin memulai dulu dengan “pelembagaan” pengembangan wacana di masing-masing
rayon. Sependek pengetahuan saya, ada departemen kajian di tiap-tiap rayon. Terlepas
dari aktif atau tidaknya kegiatan di departemen itu, hal ini sebenarnya sudah
merupakan point tersendiri. Artinya, ada akomodasi secara struktural untuk
menilai pengembangan wacana sebagai sesuatu yang penting.
Setidaknya
ada dua model pengembangan wacana yang bisa dipertimbangkan. Pertama, menata sistematika berpikir. Kedua, merespon isu-isu terkini.
Pentingnya
filsafat saya kira ada dalam situasi ini. Filsafat mengajak kita untuk berpikir
melampaui apa yang terbaca. Fondasi berpikir seperti ini menggiring kita untuk
menghindari “pemberhalaan teks,” memuja teks membabi-buta. Tapi perlu diingat
bahwa filsafat kerap mengajak kita terbang menuju alam abstrak. Sebagai
penyeimbang, maka sosiologi menjadi pilihan tepat. Sosiologi berbicara tentang
masyarakat. Dua keilmuan itu adalah fondasi yang cukup kokoh setidaknya bagi
kader untuk membaca realitas. Tapi perlu diingat, belajar filsafat dan
sosiologi itu bukan tujuan akhir. Ia hanya sekedar cara kita untuk memahami
cara pandang dalam memaknai kenyataan.
Di
luar itu, responsi terhadap masalah-masalah terkini adalah sesuatu yang juga
perlu untuk dikembangkan. Tetapi sekali lagi, kekuatan dalam merespon isu-isu kontemporer
tidak akan berjalan dengan baik jika tidak memiliki fondasi berpikir yang
mapan. Makanya yang pertama dan kedua adalah segendang-sepenarian.
Saya
menyisakan pertanyaan yang tadi diajukan dan harus kita jawab secara berjamaah;
apa ide yang harus dijual sebagai trade mark pemikiran PMII di lingkungan
Komisariat Walisongo? Saya kira PMII Rayon Tarbiyah adalah rayon yang paling
banyak menghadapi “kompleksitas kehendak.” Karenanya mari kita diskusikan
bersama-sama pula.
Oleh: Tedi Kholiludin[2]
[2] Pengurus PMII Komisariat Walisongo
2004-2005. Aktif di Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA). Bisa dihubungi via tedi_kh@yahoo.com, @tedikholiludin dan
www.tedikholiludin.net
0 Komentar