Dok Internet
Sebelumnya saya ingin mengucapkan selamat hari pendidikan nasional, semoga pendidikan kita semakin jaya dan mampu mencetak generasi unggul pembangun bangsa. Namun tetap harus saya kritik, karena dengan kritikan saya berharap ada perubahan.

Bicara pendidikan memang tak ada habisnya, dinamikanya tidak pernah berhenti, justru semakin cepat berputar. Iya, pendidikan memang harusnya begitu, tak ada alasan bagi para pelaku pendidikan (baik itu guru, murid, kepala sekolah, tokoh masyarakat, dan pemegang kebijakan) untuk bilang “capek” menjalaninya. Tantangan hidup yang semakin kompleks menuntut adanya kualitas diri yang mumpuni dalam meratasi semua masalah kehidupan baik untuk diri maupun lingkungannya. Konsekwensinya adalah pendidikan sebagai tumpuan kemanusiaan (menurut penulis) tidak bisa tidak harus mencetak kader bangsa dengan kepribadian yang berkualitas, entah atas dasar profesi, intelektual, agama, dan sosial. Akhirnya pendidikan tidak hanya sebagai pelengkap kehidupan saja, namun sudah menjadi kebutuhan mutlak dan menjamah semua sendi-sendi kehidupan. Karena luasnya cakupan pendidikan, maka banyak muncul jenis-jenis pendidikan, ada vokasi, pondok pesantren, sekolah umum, sekolah bahasa, sekolah khusus, dan lain sebagainya. Semua jenis menawarkan keunggulannya, rata-rata menawarkan kemudahan hidup paska lulus.


Pendidikan modern, dengan segala perangkat canggihnya, mencoba menjawab tantangan itu. Sebetulnya sangat maasuk akal apabila peserta didik di spesifikasikan keahliannya, ini di karenakan sangat banyak bidang yang harus di garap. Dunia pendidikan di “paksa” mencetak tenaga-tenaga ahli yang terspesialisasi. Bahkan dalam prinsip ekonomi sekalipun tak cukup orang yang berkompeten mengelola perusahaan, harus ada orang yang paham dengan kecenderungan konsumen. Apa yang ingin di konsumsi dan apa yang harus di produksi. Begitupun dokter, dokter umum yang mengobati segala macam penyakit pendapatannya lebih rendah daripada dokter yang hanya ahli bedah dan dokter gigi. Intinya semua bidang kehidupan membutuhkan manusia yang spesial di masing-masing bidangnya, kasanalah arah pendidikan tertuju. Sesuai dengan prinsip pendidikan untuk memanusiakan manusia, maka dengan mencetak manusia ahli itulah caranya, manusia hanya akan di hargai apabila dia memiliki keahlian yang spesial.


Overload

Dengan semakin banyak bertumbuhnya umat manusia, pendidikan di tuntut memperbesar kapasitasnya, spesialisasinyapun semakin beragam. Calon peserta didik hanya tinggal menentukan ingin masuk di bidang apa atau di jurusan apa. Di Indonesia, dalam jenjang 9 tahun pendidikan formal peserta didik di berikan seluruh matteri tanpa spesialisasi. Baru di tingkat menengah  atas dan kejuruan di spesialisasikan. Tujuannya tidak lain adalah mencetak generasi yang cakap dalam bidang tertentu. Hal yang demikian berlanjut hingga di pendidikan tinggi, dengan harapan kemampuannya semakin meningkat. Hanya saja lembaga pendidikan sekelas perguruan tinggi di negeri ini belum mampu mencarikan “jalan hidup” untuk para alumninya, jadilah mereka sarjana pengangguran.


Masalahnya adalah, dunia pendidikan terjebak kepada spesialisasi seperti itu sendiri. Seluruh kebijakan pendidikan di arahkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga-tenaga ahli. pendidikan hanya menjadi penyeleksi profesi untuk sebuah pekerjaan tertentu. Selembar ijasah menjadi legitimasi kualitas keahlian seseorang, hasilnya jelas, tak semua orang bisa masuk kedalam dunia kerja karena sistem seleksi itu. Manusia yang seharusnya merdeka setelah menjalani proses pendidikan justeru semakin terbebani untuk secepatnya mendapatkan pekerjaan karena sudah merasa memiliki keahlian tertentu, inilah masalah sebenarnya.Sekolahan seolah sudah tak mampu menampung siswa-siswa yang ingin mendapatkan kerja. Sekolahan tak mampu menjawab tantangan kehidupan sebenarnya. Sekolahan hanya memberikan harapan palsu.


Tak Tentu Arah

Di tambah dengan dunia yang semakin kompetitif untuk mendapatkan materi, maka seluruh bidang kehidupan terkonsentrasi manjadi gelanggang perebutan materi. Tak ayal pendidikan mengarah ke sana, pendidikan menjadi kaku tak memiliki WELSTANCHAUNG (way of life). Pendidikan tak mampu mengajarkan jalan hidup, pendidikan tak mampu menunjukkan nilai-nila kemanusiaan, dan pendidikan tak mampu membentuk nilai-nilai etika. Pendidikan hanya mengajarkan orieantasi materialistik. Celakanya sulit bagi kita mencari pendidikan yang memberi pandangan hidup, tak pernah saya temukan lembaga pendidikan atau sekolahan yang mengajak murid-muridnya untuk turun kesawah, memperlihatkan para kuli panggul bekerja, mempertontonkan kehidupan malam, dan meresapi kehidupan untuk apa kita hidup. Mayoritas sekolahan justeru mengajarkan berpakaian rapi, sekolahannya bertembok tebal, seharian full di dalam sekolahan, dan di larang masuk untuk yang tidak menjadi muridnya serta murid di larang keluar sekolah sebelum jam pulang sekolah. Imbasnya, murid merasa terpenjara hasratnya terkekang, kemudian setelah pulang sekolah mereka melampiaskan hasratnya dengan jalan-jalan kemoll, pacaran, makan-makan, dan kehidupan hedonis lainnya. Secra tidak langsung sekolahan membentuk watak manusia yang konsumtif, hedonis, dan pragmatis. Karena sekolahan tak pernah mengajarkan kehidupan yang sebenarnya yang terjadi kemudian adalah “kebingungan massal” di kalangan alumninya.


Dalam beberapa hari terakhir ini dunia pendidikan Indonesia terhentak dengan kasus JIS (Jakarta International School) tarkait dengan kasus sodominya. Tapi yang ingin saya bahas bukan sodominya, karena sodomi hanya bagian kecil dari efek negatif sekolahan seperti JIS ini. Dan saya juga tidak mau membahas persoalan legalitas sekolahan ini. Seperti yang banyak di beritakan bahwa JIS adalah sekolah elit dengan fasilitas lengkap dan mewah, penjagaannya sangat ketat dan tidak sembarangan orang bisa masuk. Guru dan wali murid saja harus melewati pemeriksaan berlapis jika ingin masuk kawasan sekolahan. Siswa-siswanya adalah anak konglomerat kaya yang super sibuk, jadilah sekolah ini sebagai lembaga super yang mengagumkan. Saya hanya suudzon saja, bahwa banyak hal yang negative yang terjadi di sekolah ini dan tertutup rapat karena keketatan pengaawsannya tersebut. Jangankan orang tua murid atau menteri pendidikan, masyarakat yang tinggal di sekitar sekolahan saja tidak tahu-menahu perihal kondisi si dalam sekolahan. Saking ketatnya sekolahan ini para siswa tidak boleh bergaul dengan masyarakat di luar sekolahan, siswa jadi tidak mengenal lingkungan sekolahan. Di tambah lagi para siswa hanya di jejali dengan fasilitas dan pola pendidikan yang begitu-begitu saja. Saya tidak tahu apa yang di rasakan para siswanya, tapi yang pasti kebosanan dan kejenuhan pasti menyeruak di dalam dada mereka.


Tak Mengajarkan Hakekat Kehidupan,

Pihak sekolah sudah berupaya memanjakan siswanya dengan fasilitas modern dan mewah agar terjadi pola pendidikan yang nyaman dan menyenangkan. Tapi sayangnya semua terjadi hanya di dalam situ saja, akhirnya pola pengajaran tetaplah monoton. Rasa bosanpun tak terhindarkan, di dalam sekolah tak ada tantangan, tak ada pembaharuan, tak ada dialektika, dan monoton. maka wajar jika tak ada satupun siswa JIS yang berprestasi tinggi, semuanya biasa-biasa saja. Coba bandingkan dengan para siswa-siswa yang dari desa, mereka survive, prestasinya melangit. Coba kita buat daftar siswa indonesia yang berprestasi di pentas olimpiade internacional, semuanya berasal dari pedalaman dengan fasilitas pendidikan apa adanya. Mereka semua di ajarkan tentang kerasnya hidup, sangat berbeda dengan JIS ataupun sekolahan modern lainnya yang hanya memenjara nalar siswanya dengan fasilitas mewah.


Ironis memang jika menilik realitas pendidikan negeri ini, sekolahan sampai saat ini hanya sekedar memenuhi kebutuhan kognitif, kenyataannya para siswa harus di persiapkan untuk menghadapi tantangan hidup yang sebenarnya. Pola pendidikan yang kaku semacam ini membentuk nalar murid yang kaku juga, demikian pula dengan para guru yang mayoritas kaku. Kaku yang saya maksudkan adalah ketiadaan interaksi dua arah ketika guru mengajar, interaksi adalah komunikasi dua arah namun tidak hanya verbalistik, bisa dengan bahasa tubuh atau media-media lainnya, maka guru mutlak harus kreatif. Yang terpeting seorang guru sebagai “penyambung lidah” ilmu harus mampu menunjukkan dan mengajarkan tentang kehidupan yang sebenarnya. Guru harus membawa siswa kepada alam kehidupan yang sesungguhnya sehingga akan membentuk sikap dan etika kepada siswa tanpa harus menjelaskan definisi etika itu sendiri.


Etika, estetika, etiket, dan ilmu pengetahuan pada hakekatnya ada di dalam kehidupan itu sendiri. Namun begitu manusia tidak bisa serta merta mengerti tentang hakekat kehidupan, hal inilah yang menjadi tugas para pendidik agar menunjukkan kepada siswanya hakekat kehidupan yang sesungguhnya. Kita masih salah memahami pendidikan harus di dalam gedung dengan jadwal yang ketat dan dengan kurikulum yang ketat pula. Tapi, kita tak menyadari bahwa hal yang semacam itu adalah bentuk pengekangan. Akal dan kesadaran kita terkekang di dalam formalitas pendidikan itu sendiri. Di negara barat yang paling di perhatikan dari para anak didik adalah atitudenya, seandainya siswa nilai akademisnya jeblok itu tidak jadi masalah karena masih bisa di kejar. Namun jika ada seorang siswa yang memiliki sikap yang tak wajar, hyper aktif, nakal, suka menjahili temannya, bersikap buruk kepada guru dan orang tuanya maka sesegera mungkin pihak sekolah maupun orang tua memanggil psikolog. Berbeda dengan kita. Bimbel ada di mana-mana, guru dan orang tua sangat khawatir jika nilai akademik anak jeblok, namun jika sang anak bersikap tidak baik guru dan orang tua hanya memberi  peringatan dan hukuman yang justeru menimbulkan reaksi yang semakin negatif dari siswa tersebut.


Kejenuhan dan Kebosanan

Pola pendidikan kitapun sangat membuat siswa jenuh, mayoritas guru masih menggunakan pola konvensional. Guru masih menggunakan metode ceramah yang sangat verbalistik, wajar apabila siswa hanya mengingat 10 persen materi yang di berikan dan tidak jarang kita temukan siswa mengantuk dan tidur di dalam kelas. Sekalipun ada materi praktek tidak jarang di laksanakan dengan cara “memaksa” itupun hanya terjadi di sekolah-sekolah kejuruan. Praktek di laksanakan tidak berdasarkan minat siswa, namun praktek lebih mengacu kepada kurikulum yang di bakukan. Apalagi latar belakang siswa mengambil sekolah jurusan hanya ingin lekas lulus dan dapat kerja. Lembaga pendidikan seolah-olah hanya sebuah pabrik robot. Hal ini sangat jelas, pertama siswa masuk sekolah hanya ingin mendapat pekerjaan yang layak jika lulus kelak, kedua lembaga pendidikan menerapkan kurikulum dan sistem pengajaran yang kaku. Imbasnya murid akan jenuh guru juga sangat jenuh, yang terjadi adalah komunikasi yang tak efektif dan materi yang di sampaikan akan buyar semua.


Kurikulum memang penting, namun kita sering salah memahami kurikulum sebagai patokan pembelajaran layaknya silabus. Kurikulum berasal dari bahasa yunani cure dan culea, cure berarti jalan dan culea berarti mengantar, kurikulum berarti jalan pengantar atau mengantarkan melalui jalan. Saya sendiri mengartikan kurikulum sebagai pengantar pendidikan, kemana arah pendidikan kita akan menuju. Maka seyogyanya para ahli kurikulum dalam membuat rumusan pendidikan harus  memperhatikan potensi SDA dan SDM bangsa ini tidak semaunya sendiri. Seperti halnya korea selatan yang kaya akan sumber daya logamnya, maka mereka membuat rumusan pendidikan yang mengarah kepada pemanfaatan logam. India dengan para ahli IT, Brunei Darussalam dan arab saudí dengan para pakar minyaknya, Iran dengan para ahli nuklirnya, semua negara ini adalah negara berkembang sama seperti indonesia namun dengan sistem pendidikan yang terarah mereka mampu memaksimalkan potensi SDA dan SDMnya. Kapan indonesia bisa seperti mereka?


Ki Hadjar Dewantara sebagai tokoh pendidikan Indonesia saja tidak pernah membebani siswanya dengan buku, ceramah, dan bentakan-bentakan. Taman siswa adalah sebuah taman yang menyenangkan, disana para siswa di ajarkan bagaimana menghadapi hidup dengan kecakapan-kecakapan. Para siswa di ajak menanam padi di sawah, memanggul batu dan bata, mengorganisasi diri agar disiplin, membaca dan menghitung langsung kepada objeknya tidak hanya terbatas kepada teori. Ki Hadjar Dewantara juga mengajarkan Ing ngarso sung tulodo ing madyo mangun karso tut wuri handayani (yang depan/tua memberi teladan yang tengah/muda membuat karya dan karsa maka kemudian kejayaan datang). Semuanya berangkat dari pendidikan yang memberi tantangan hidup bukan dari pendidikan yang jenuh dan membosankan.

Oleh : M. Husni Mushonifin