Nonton TV, rutinitas kebanyakan orang. Menonton TV bisa menyenangkan, bisa juga menjadi sangat membosankan. Contohnya, bila tiap kali turn on TV kita disodori berita kasus korupsi atau suap para pejabat tinggi. Apalagi kalau kasusnya melibatkan figur ternama dan baru terbongkar alias masih hangat. Bisa saja seluruh stasiun TV menyiarkan berita yang sama dalam sehari, sepekan atau lebih.
Meski begitu, eksistensi berita terkait suap dan korupsi cepat kadaluarsa. Karena kebanyakan pemberitaan oleh media kencang dilakukan di awal terkuaknya kasus. Tapi, tak banyak yang mengikuti kelanjutan proses dari kasus yang diberitakan. Alhasil, masyarakat yang banyak mengkonsumsi sajian TV pun tak tau ending kasusnya. Coba kita flashback. Pernah mampir ke telinga kita, kasus dana BLBI, Century, Hambalang, dan beberapa kasus lain. Tapi nasibnya kini jarang diberitakan. Bahkan tertimbun oleh kasus-kasus korupsi juga suap yang semakin bermunculan.

Semakin banyak kasus korupsi dan suap terkuak, semakin membuktikan betapa kuatnya harta dan kekuasaan mempengaruhi manusia tuk berbuat curang. Dalam sepekan ini saja, sudah dua kasus suap yang gencar disiarkan. Bisa disebut skala besar dan serius. Sebab bukan hanya mencoreng institusi pemerintahan, tapi juga mencoreng wajah penegak hukum di Indonesia dan mancanegara. Seperti kasus suap oleh adik gubernur Banten, Ratu Atut (RA) dan kasus suap oleh pejabat Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar.

Hukum Adil

“Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya terjatuh juga.” Sepandai-pandai orang menutupi perbuatan busuknya, akan ketahuan juga. Berawal dari terendusnya perbuatan suap pemilukada adik RA, politik dinasti yang selama ini dibangun keluarga RA di wilayah Banten, jadi tergoyahkan. Pertanyaan besar pun lalu muncul di kepala.

Di negara yang “katanya” menganut sistem politik demokrasi seperti Indonesia ini, politik dinasti seperti dinasti RA dapat tumbuh subur. Adik, kakak, dan ipar diusung menjadi pejabat. Padahal, memprioritaskan anggota keluarga untuk menduduki jabatan strategis di pemerintahan merupakan ketidakadilan. Hal itu jelas berlawanan dengan landasan demokrasi menurut Gus Dur, yakni keadilan. Selain itu, jelas pula bahwa tindakan nepotisme semacam itu bertentangan dengan  asas pokok demokrasi yang mengakui pasrtisipasi rakyat dalam pemerintahan, misalnya dalam pemilihan wakil-wakil rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat secara luberjurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil).

Sebagai negara demokrasi, praktik money politic sejatinya tidak perlu. Sebab, selain termasuk perbuatan curang, praktek semacam itu mengindikasikan bahwa praktik berdemokrasi kita bobrok. Apalagi menjelang pemilukada seperti sekarang ini. Politik uang bisa saja tetap bermain bila tidak ada sanksi hukum yang tegas.
Miris ketika melihat spanduk-spanduk di beberapa titik jalan di Tegal yang melegalkan money politic. Katanya sudah dilarang dan dilenyapkan. Tapi, spanduk bertuliskan “Uang diterima, Nyoblos rahasia ora dosa” masih ada yang terpajang. Pemerintah daerah setempat harusnya tanggap dan tegas dalam menangani hal semacam itu, demi terciptanya transparansi pemilukada. Sebab, pesta demokrasi di Tegal akan digelar 27 Oktober mendatang.

Selain fakta di atas, ada juga kasus suap yang menjerat Akil Mochtar. Dugaan menerima suap atas pemilukada Lebak Banten dan pemilukada Gunung Mas, Kalimantan, menambah daftar panjang kasus yang disebabkan oleh faktor uang. Pemilihan wakil rakyat yang semestinya dilaksanakan secara demokrasi, malah berhujung uang.

Kemudian, bila penegak hukum itu sendiri yang tersandung kasus, maka ia harus diproses sesuai hukum yang berlaku. Namun ironis, penegakan hukum bagi pelaku suap selama ini masih setengah hati. Rendahnya hukuman, dan kurang tegasnya hukum dalam menindak pelaku suap memberi kebebasan bagi pelaku untuk berlenggang. Padahal, hukum semestinya tidak pandang bulu. Seperti perdana menteri Inggris, Hillary Clinton yang dikenai sanksi (tilang) 80 poundsterling akibat kekhilafannya tidak membayar parkir. Hukum di Indonesia pun hendaknya semacam itu. Tidak pandang status maupun kekuasaan. Sebab, pada dasarnya landasan demokrasi ialah keadilan. 

Oleh : Lutfiyah Nur Zain