Semarang(19/7) – Dalam rangka mengisi kegiatan di bulan Ramadhan, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ushuludin mengadakan Pesantren Nusantara. Acara yang dilaksanakan selama dua hari, yaitu  pada hari Sabtu - Minggu, tanggal 19-20 juli 2014. Acara dimulai dengan pembukaan  pada pukul 10.00 WIB di audit lantai 2 kampus 1 IAIN Walisongo Semarang.   

Pada kesempatan itu langsung dihadiri oleh Romo Frans Magnis Suseno, SJ sekaligus sebagai narasumber,  acara secara resmi dibuka oleh Pembantu Dekan III  Fakultas Ushuludin Bapak H. Hasyim Muhammad,M.Ag.

Tujuan diadakanya Pesantren Nusantara ini, tidak terlepas dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini dalam menghadapi Modernitas dan gejolak di dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, serta mengetahui jati diri dan karakter asli bangsa ini. Selain itu, momentum ini juga digunakan sebagai forum silaturahmi untuk mempererat tali persaudaraan bersama.  
Acara yang mengusung tema “Mencari Wajah Asli Indonesia” ini diikuti oleh beberapa undangan saja, karna jumlah peserta dalam acara tersebut terbatas. Adapun pesertanya yaitu dari BEM Fakultas yang ada di lingkungan IAIN Walisongo Semarang, dan BEM perguruan tinggi lainya se-kota Semarang. Walaupun acaranya di minggu terakhir bulan puasa sebelum libur hari raya Idul Fitri, tidak menyurutkan semangat peserta Pesantren Nusantara dalam mengikuti kegiatan . 

Apalagi dalam kesempatan itu dihadirkan narasumber-narasumber yang sangat luar biasa oleh pihak panitia. Diantaranya Frans Magnis Suseno, atau biasa disapa dengan Romo Magnis, beliau adalah salah satu tokoh Filsafat dan Budayawan Indonesia, sekaligus Direktur Program Pasca Sarjana STFD (Sekolah Tinggi Filsfat Driyarkara). Kemudian ada Zainul Adzar yang merupakan Ketua Jurusan Aqidah Filsafat IAIN Walisongo Semarang, dan M Yudhi Haryono, beliau adalah Direktur Eksekutif Nusantara Centre, dan juga alumni IAIN Walisongo Semarang, beliau juga pernah memimpin KSMW (Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo).

Budaya Bangsa Dan Karakter Manusia Indonesia

Pada hari pertama, materinya budaya bangsa dan karakter manusia indonesia. Frans Magnis Suseno atau Romo Magnis menjadi narasumber yang pertama. Beliau menyampaikan kutipan dari  Soemarno Soedarsono, di dalam bukunya yang berjudul “ Karakter Mengantar Bangsa Dari Gelap Menuju Terang” pak Marno (Soemarno S – red) menegaskan bahwa kalau kita telah melupakan character building yang pernah dianggap kunci oleh Sukarno dalam membangun bangsa ini. 

Ia mengingatkan dan wewanti-wanti  Bung Karno bahwa “ jika pembangunan karakter tidak berhasil, bangsa indonesia hanya akan menjadi bangsa kuli!”.  Romo Magnis juga menegaskan kembali bahwa pembangunan karakter itu sangat penting, maka dimulai dari dini. Selain itu, pendidikan karakter perlu diperhatikan baik itu melalui peran keluarga, lembaga pendidikan dan lingkungan masyarakat, yang diharapkan mampu menjadi panggung pendidikan dan pembelajaran  dalam membangun karakter masyarakat Indonesia yang lebih baik.
Beliau juga menambahkan, hal yang terpenting bukan hanya karakter yang kuat, melainkan juga karakter yang benar, positif, serta bukan sempit-negatif. Kualitas atau warna karakter ditentukan oleh nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan yang merupakan komitmenya, sehingga nilai itu diperoleh dari kebudayaan yang ada. Maka nilai dan komitmen yang diyakini dalam suatu kebudayaan akan sangat menentukan warna dan keterarahan karakter orang-orang atau masyarakat. 

Romo juga menjelaskan bahwa ada empat nilai serta kemampuan yang sangat penting bagi karakter anak bangsa ini. Empat nilai itu adalah: keterbukaan, kemanusiaan yang beradab, kepekaan terhadap perasaan orang lain dan kesediaan untuk menghormati yang lain dalam keberlainan. Memang betul pembangunan karakter manusia secara individu di Indonesia merupakan tugas yang sangat penting dalam pembangunan masa depan bangsa.
Dilanjutkan dengan materi yang kedua, yaitu Membaca Identitas Indonesia dengan Perspektif Postmodern, yang disampaikan oleh Bapak Zainul Adzar. Beliau menjelaskan bahwa ada tiga poin penting dalam materi ini, yaitu: indonesia dalam menghadapi budaya massa, kedua ilusi kebahagian gaya hidup, dan yang ketiga adalah indonesia dalam (tantangan) postmodernitas. 

Dari poin yang pertama, beliau  menjelaskan bahwa pemakaian pertama term “postmodernisme” adalah sebelum tahun 1926. Pada 1870-an istilah tersebut pertama kali digunakan oleh seniman inggris, John Watkins, dan pada 1971 oleh Rudolf Panwitz. Postmodernisme pada hakikatnya merupakan campuran dari beberapa atau seluruh pemaknaan hasil, akibat, perkembangan, penyangkalan, dan penolakan dari modernisme. 
Postmodernisme adalah sebuah istilah abstrak dan teoritis yang membedakan dengan istilah postmodernity, yang mendiskripsikan mengenai iklim sosiologi atau budaya. Dalam tradisi ilmu sosial, terutama sosiologi kebudayaaan, gerakan budaya tranding biasanya dianggap sebagai pertanda munculnya budaya postmodernisme, yang menegasikan tradisi pemberontakan modernisme. Dalam modernisme, seperti yang telah disinggung di muka, seni adalah realitas yang otonom. 

Beliau juga mejelaskan Postmodernisme bersifat relatif, kebenaran adalah relatif, kenyataan (realitas) adalah relatif, dan keduanya menjadi konstruk yang tidak bersambungan satu sama lain. Hal tersebut jelas mempunyai implikasi dalam bagaimana kita melihat diri seta mengkonstruk identitas diri.
Pada poin yang kedua beliau juga menjelaskan bahwa, manusia secara eksistensial, selain memiliki kesadaran dan keberadaanya di tengah-tengah dunia, mereka juga menyadari keberadaanya bersama dengan dunia. 

Bahwa manusia bukan merupakan makhluk yang hanya tinggal menjalani hidup ini tanpa kebebasan untuk memilih, melainkan manusia menjadi makhluk yang sadar akan arah dan warna serta esensi keberadaanya, ditentukan dengan pilihan-pilihan hidup yang dilajaninya. Namun dalam kenyataanya, manusia di dunia ini sebagai makhluk budaya, seringkali mengalami keterasingan eksistensial. 

Hal ini, karena kebebasan untuk membentuk dan memformat seperti apa kehidupan yang diinginkan oleh seseorang, tidak menjadi pilihan bebasnya, melainkan dibentuk berdasarkan tekanan dari kekuatan-kekuatan “wacana” tertentu yang menguasai tidak secara represif, sehingga terkesan sebagai sesuatu yang begitu alami dan lumrah.
Selain itu beliau juga menambahkan, bahwa budaya konsumen yang sesungguhnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari budaya populer. Keduanya terbentuk dari ideologi kapitalisme yang banyak mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat di dunia. Hakekat dari budaya konsumerisme adalah memuat seluruh kegiatan konsumsi dengan makna-makna simbiolik tertentu (prestise, status dan kelas) dengan pola dan tempo pengaturan tertentu. Yaitu sebuah budaya konsumsi yang ditopang oleh proses penciptaan perbedaan secara terus menerus lewat penggunaan objek-objek komoditi, sebuah budaya belanja yang didorong oleh logika hasrat (desire) serta keinginan (want) ketimbang logika kebutuhan (need).
Poin yang ketiga, beliau memaparkan tentang indonesia dalam (tantangan) postmodernitas. Dalam perkembangannya, dinamika millenium III dan postmodernisme paling dirasakan ialah dinamika globalisasi-liberalisasi sekaligus postmodernisme yang menggoda dan melanda bangsa-bangsa, terutama negara berkembang. Hal ini dibuktikan dengan  runtuhnya negara adidaya uni soviet pasca reformasi glasnot dan perestroika; mereka kehilangan kepercayaan kepada integritas dan otoritas negara uni soviet sekaligus ideologi marxisme-komunisme-atheisme. 

Era reformasi indonesia, mei 1998 hampir satu dasawarsa bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia hidup dalam krisis multidimensional yang tak teratasi. Reformasi yang ditandai dengan sikap elite politisi memuja kebebasan dan demokrasi atas nama HAM. Fenomena sosial politik dan ekonomi bangsa nampak melanda oleh praktek budaya supremasi ideologi politik neo-liberalisme-kapitalisme yag bergerak sebagai “proses supremasi dan dominasi ” ideologi neo-liberalisme yang berwatak sekularisme-pragmatisme dan neo-imperialisme.   
Kemampuan menghadapi tantangan yang amat mendasar dan akan melanda nasional, sosial-ekonomi dan politik bahkan mental dan moral bangsa. Maka benteng terakhir yang diharapkan mampu bertahan ialah keyakinan nasional atas kebenaran dan kebaikan dasar negara Pancasila, baik sebagai jatidiri bangsa dan filsafat bangsa (Volksgeist, Weltanschauung), ataupun sebagai dasar negara (ideologi negara, ideologi nasional).
Tantangan globalisasi-liberalisme dan postmodernisme dapat berwujud adanya degradasi wawasan nasional, dan wawasan ideologi nasional. Demikian pula adanya degradasi mental ideologi, seperti budaya demokrasi liberal. Bangsa Indonesia sepanjang sejarahnya dijiwai nilai-nilai budaya dan moral pancasila, maka harus diakui nilai filsafat pancasila mengandung multi-fungsi dalam kehidupan bangsa, negara dan budaya Indonesia. Maka yang perlu dilakukan pertama kali adalah berbagai jabaran di dalam amandemen UUD 1945 harus disesuaikan dengan amanat filosofis-ideologis filsafat Pancasila secara intrinsik. 
Pada hari yang kedua pesantren nusantara, pematerinya adalah M. Yudhie Haryono, beliau sekaligus pendiri Universitas Nusantara, menyampaikan materi tentang Teori Kemandirian. Beliau menjelaskan berbagai ciri manusia atau negara mandiri salah satunya ialah manusia/negara yang mempunyai keinginan untuk bebas merdeka, punya keinginan untuk berpestasi, bekerjasama, punya rasa tanggung jawab, adanya sikap original yang bukan sekedar menerima hegemoni orang lain, adanya tendensi untuk berinisiatif, imajintif dan kreatif, mampu bersikap dan berpendapat kritis dan produktif, eksplosif dan eksportif.
Makna kemandirian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mandiri berarti keadaan dapat berdiri sendiri, tidak tergantung oleh orang lain. Sementara kemandirian berarti sikap keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang lain, tandasnya. Ia juga menambahka makna teori kemandirian adalah metode sistematis untuk mengukur keberhasilan seseorang atau negara dalam prosesnya menjadi mandiri. Maksud dan tujuan teori kemandirian ini, untuk menjadikan negara indonesia terlepas dari ketergantungan internasional, dan nantinya diharapkan bangsa ini mampu mandiri dalam hal ekonomi, politik dan yang lainya. 

Beliau juga menambahkan membangun kemandirian ekonomi-politik tidak sekedar menciptakan struktur ekonomi-politik yang sehat dengan memuja angka pertumbuhan, tetapi yang lebih penting adalah memastikan mental produktif masyarakat, itu artinya proporsi pembagian, filosofi, mental, cara pandang dan pelembagaan SDM dan SDA menjadi alat ukur keberhasilan.

Pesantern Nusantara yang dilaksanakan selama dua hari ini, berjalan dengan lancar dan penuh khidmad, acara yang diperuntukan bagi pemuda-pemudi generasi bangsa ini, khususnya bagi kalangan akademisi, sangat bermanfaat dampak positifnya. Dengan dilaksanakanya Pesantren Nusantara ini mengingatkan dan menyadarkan kita kembali bahwa arti penting karakter serta jatidiri bangsa sebagai wajah asli indonesia. 

Dalam membangun masa depan bangsa ini, maka dari itu diperlukan pendidikan dan penbangunan karakter sejak dini, dan harapanya hal ini juga lebih diperhatikan oleh pemerintah dan masyarakat, jangan sampai indonesia sebagai bangsa yang besar, kehilangan  jati diri ataupun wajah aslinya.
(Reported By: Beni Septa Wardhana)