Oleh: Ulfatul Qoyyimah
Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai penghabisan para nabi dan rasul yang mengemban misi mulia yakni sebagai sang pembebas untuk seluruh umat manusia. Mengapa disebut sebagai sang pembebas? Karena kala itu Nabi Muhammad SAW lahir ditengah kacau balaunya tatanan sosio-kultural serta politik-ekonomi di Mekkah.
Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai penghabisan para nabi dan rasul yang mengemban misi mulia yakni sebagai sang pembebas untuk seluruh umat manusia. Mengapa disebut sebagai sang pembebas? Karena kala itu Nabi Muhammad SAW lahir ditengah kacau balaunya tatanan sosio-kultural serta politik-ekonomi di Mekkah.
Dengan kondisi yang demikian, beliau mampu mengubahnya dengan
berbekal ajaran suci Al-Qur’an. Konsep yang beliau
terapkan bersifat revolusioner, karena keuntungan yang ditawarkan bukan hanya untuk bangsa arab, melainkan bagi seluruh manusia.
Islam yang Nabi SAW sampaikan memiliki tujuan dasar
persaudaraan yang universal (universal brotherhood), kesetaraan (equality), dan keadilan sosial (social justice).
Pada era Rasulullah SAW
termanifestasi dalam penghapusan cara pandang lama dengan gagasan
baru yang telah dinyatakan dalam AL-Qur’an yakni semua manusia berasal dari keturunan yang sama, laki-laki dan perempuan, dan tidak ada
perbedaan yang disebabkan karena ras, suku dan
golongan. Walhasil, pada masanya beliau mampu menciptakan kehidupan
bermasyarakat yang rukun dan damai meski lintas keyakinan.
Berbeda dengan kondisi
hari ini, dimana banyak terjadi konflik yang berlabel agama Islam.
Baik antar agama maupun antar aliran dalam agama Islam itu sendiri. Hal itu diakibatkan oleh pemaknaan yang terlalu sempit terhadap
Islam. Dimana pemaknaan terhadap Islam hanya mandek
pada kepentingan formalitas (baca: seremonial) ibadah saja.
Alangkah indahnya
Islam, manakala dapat berwajah lebih humanis. Gunanya untuk menggapai
cita-cita kemanusiaan serta menumbuhkan kesadaran sosial sehingga berdampak pada perbaikan kondisi masyarakat. Merujuk pada almaghfurlah
Gus Dur, tokoh yang telah menggaungkan humanisasi
Islam, bahwa Allah SWT telah menitahkan pemuliaan manusia melalui
Islam, dimana manusialah yang menjadi subjek serta objek humanisasi kehidupan.
Di nusantara Islam yang humanis dapat ditemukan dalam
keberislaman ala aswaja.
Ahlussunnah wal Jama’ah
Aswaja lahir sebagai
reaksi terhadap arbitrasi (tahkim) yang dilakukan pada masa Khalifah
Ali bin Abi Tholib mengakibatkan umat Islam terkotak-kotak dalam beberapa
firqoh (baca: faksi politik), diantaranya yakni
Syi’ah, Khawarij, Jabariyah, Qadariyyah Ula, Murjiah serta
Ahlussunnah wal Jama’ah.
Pemikiran yang dianut
oleh kelompok aswaja ini merujuk pada Abu Mansur Al-Maturidi
dan Abu Hasan Al-Asy’ari dalam bidang aqidah, Junaid Al-Baghdadi dan Imam Ghozali dalam tasawuf, serta menganut ijtihad empat madzhab
(hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali) dalam bidang fiqh.
Islam aswaja tersebar
luas di Nusantara berkat peran para pedagang India, Cina dan Gujarat
yang kemudian dilanjutkan oleh Walisongo. Usaha penyebarluasan Islam aswaja
yang dilakukan dengan cara damai serta dapat membumi
dengan budaya setempat, menjadikan Islam aswaja mudah
untuk diterima masyarakat.
Di Indonesia sendiri
penganut paham Islam aswaja ini sebagian besar mengelompok dalam
sebuah organisasi yang menamai dirinya dengan Nahdlatul Ulama (NU), yakni organisasi keislaman
yang didirikan oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari dengan menempatkan aswaja sebagai sebuah madzhab. NU telah
memberikan inspirasi bagi sebagian besar umat Islam
Tanah Air yang mengedepankan toleransi dan moderatisme dalam memaknai
paham keagamaan serta tetap menjaga kebudayaan yang berkrmbang. Walhasil doktrin aswaja sebagai madzhab pun mudah diterima oleh
masyarakat.
Namun akan terjadi
stagnasi pemikiran manakala aswaja hanya dimaknai sebagai madzhab.
Pasalnya madzhab ini bersifat kaku hingga mengakibatkan sulitnya beradaptasi dengan dunia global serta modern seperti saat ini. Dari
kondisi tersebut lahirlah konsep baru, yakni aswaja
sebagai manhajul fikr (metodologi berpikir) yang dipelopori KH Agil Siradj dan kader muda PMII ditahun 1990-an.
Menyikapi hal tersebut,
ditemukan perselisihan pendapat dikalangan ulama NU sendiri.
Dalam hal ini, KH Said Agil Sirajd sebagai representasi dari ulama muda NU memberikan sebuah kritik terhadap konsep aswaja KH Hasyim
Asy’ari. KH Said menganggap konsep aswaja sebagai
madzhab tidak lagi relevan untuk diterapkan dikonteks sekarang. Akan tetapi jika aswaja diasumsikan sebagai manhaj, maka akan
mengakibatkan sikap yang cenderung liberal dan
menanggalkan tradisi lama.
Sebagai solusi untuk menjawab permasalahan
saat ini, dengan berpijak pada prinsip mempertahankan tradisi lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik. Maka sebuah keterpaduan
mutlak diperlukan, yakni aswaja sebagai madzhab serta aswaja
sebagai manhaj. Manakala dibenturkan dengan arus globalisasi maka aswaja diposisikan sebagai manhajul Fikr, sedangkan jika berhubungan
dengan masalah ibadah maupun syariat barulah aswaja
diposisikan sebagai madzhab.
Dari pola pikir yang
demikian, lahirlah keempat prinsip yang kemudian menjadi pegangan
dalam dunia Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, diantaranya sebagai berikut:
1. Toleransi (tasamuh)
Sikap ini tampak dalam
pergaulan sesama muslim maupun umat manusia pada umumnya serta tidak saling mengkafirkan.
2. Moderat (tawassuth)
Tercermin pada metode
pengambilan hukum (istinbath) yang tidak semata-mata menggunakan nash, namun juga memerhatikan posisi akal. Begitu pula dalam wacana berpikir selalu menjembatani antara wahyu dengan rasio.
3. Seimbang (Tawazun)
Aswaja tidak terlalu
membenarkan kelompok garis keras ekstrim. Aswaja pun berkaitan dengan sikap berpolitik. Jika berhadapan dengan penguasa
yang sewenang-wenang, maka tidak segan-segan mengambil
jarak dan mengadakan aliansi.
4. Proporsional (Ta’adul)
Terefleksi pada kiprah
seseorang dalam melakoni kehidupan sosial, cara bergaul serta cara menyikapi kondisi sosial budaya yang ada.
Berbekal ke-empat
prinsip tersebut, harapannya tertanam nilai-nilai spiritual setiap kader PMII dengan
berpegang teguh pada Islam aswaja. Meskipun diterpa dengan arus modernisasi, namun tetap dapat memberikan sumbangsihnya bagi
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
*Penulis adalah Pegiat Kajian Pendidikan dan
Pemred Majalah Edukasi
0 Komentar