Oleh: Aam Addien* 



Sore itu (23/1), saya dan teman-teman berkendara menggunakan motor dari arah barat ke timur jalan pantura. Dalam perjalanan itu, kami diberhentikan oleh bapak yang memakai seragam cokelat dengan rompi hijau dan peluit dimulutnya. Kemudian kami ditanya satu-satu, apakah membawa Surat Ijin Mengendara (SIM) dan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) atau tidak. Kebetulan dari empat motor, hanya satu yang membawa surat-surat lengkap. Yang tiga kendaraan, karena tidak membawa surat lengkap disita kunci kendaraannya oleh bapak berseragam dan kemudian dibawa ke mobil loreng berwarna biru hitam dan putih. 

Namun, selain yang kami sadari bahwa salah dalam peraturan perundang-undangan tentang berkendara, kami juga melihat pemandangan yang sudah menjadi rahasia umum. Bapak seragam itu ada di dua tempat duduk di mobil. Yakni di depan dan belakang, didepan mengurusi bagian surat penilangan, dibelakang mengurusi negoisasi “Uang Damai” (sebutan populernya). Dari itu ada perdebatan dari pengendara dan bapak seragam, seperti pelelangan dalam membeli suatu barang.

Melihat kejadian itu, terkadang dalam diri ini terfikirkan fikiran-fikiran nakal. Ditingkat bawahan yang  dijalanan saja, sampai hati merampok masyarakat “Kerbau” katanya. Apalagi yang sudah berperut besar duduk dikursi nyaman berlapiskan permadani?. Maaf bapak berseragam bukan maksud saya memojokkan. Mungkin ini muncul karena kami belum menemukan malaikat dalam dirinya. Yang katanya melindungi mengayomi dan mengamankan. Faktanya kami tak menemukan itu. Kami malahan menemukan bapak berseragam adalah sosok yang menakutkan, seperti pemilik “kerbau” yang memaksa-maksa den menakuti dengan pecut ditangannya. 

Kuasa

Saat ini negeri sedang digegerkan dengan permusuhan kepolisian dan Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) yang sudah lama terjadi sebenarnya (Cicak dan Buaya). Pelantikan Kepala Polisi Republik Indonesia (kapolri) yang ditunda atau dibatalkan karena peran besar KPK. Tim KPK menemukan rekening tidak wajar di rekening milik Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebesar 54 miliar (Tempo/19-25 Januari 2015).  

Sebagai orang kecil (kerbau), kami hanya menyangka itu hal “wajar” katanya dalam hal kekuasaan. Ada yang ingin berkuasa dengan berbagai bentuk tindakan. Baik lemah lembut (suap-mungkin), keras dengan menodongkan benda tajam (pisau, pistol) itu atau dengan cara lain yang kami tak tahu.
Memang kami tak pernah memiliki hak besar dalam menentukan Kepala Polri. Tapi mungkinkah orang yang menjadi tersangka (Walaupun dalam sisi KPK- katanya) menjadi Kapolri?. Saya jadi teringat janji Jokowi dahulu yang mempunyai gagasan besar untuk merevolusi mental seluruh komponen. Bagaimana bisa terwujud, jika dalam hal “kecil” saja tidak bisa diterapkan. Lebih-lebih ada satu kelucuan lagi, calon tunggal Kapolri tersebut adalah mantan ajudan ibu “Besar”, yang katanya diajukan oleh Bu Besar.  Bukankah termasuk kecurangan? Kalau memilih pemimpin lebih dari sisi mengenal atau tidak mengenal. Saya tidak menafikan Calon Kapolri sudah melalui berbagai prosedur menjadi pemimpin. 

Terkadang dalam perjalanan, kita selalu melupakan atau “Nglali” dengan tujuan awal. Bukankah tujuan awalnya adalah memilih pemimpin sebagai  pemersatu simbol seragam cokelat. Maka jika memang sudah tak sesaui dengan yang diharapkan, bukankah lebih baik memilih lagi calon-calon pemimpin lain. Saya kira masih banyak kader-kader yang loyal di dalam kepolisian sendiri. Bukannya memaksa untuk dijadikan pemimpin (kuasa). Sehingga muncul masalah-masalah yang seharusnya tidak terjadi. Bukankah, lebih baik saatnya kita memikirkan Indonesia kedepan bagaimana. Meskipun kami cukup tahu, internal saja belum tertata apalagi memikirkan masa depan?... Wallahu a’lamu Bisshowab.




*Crew LPM Edukasi, LkaP PMII Rayon Abdurrahman Wahid. Mahasiswa Semester 3 UIN Walisongo Semarang. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,Jurusan Kependidikan Islam (KI).