Oleh: Hanita Masithoh

Ketika berbincang soal emansipasi, tentu tak lepas dari sosok Raden Ajeng Kartini (R.A Kartini). Perempuan ningrat Jawa yang berjuang menegakkan kesetaraan  pendidikan bagi perempuan Indonesia. Berkat perjuangannya, eksistensi peremuan di masa kini, dapat lebih maju ketimbang era perjuangan dulu.

Kartini yang merupakan anak kelima dari 11 bersaudara ini lahir dan besar di keluarga bangsawan yang mengagung-agungkan budaya pingitan bagi perempuan. Perempuan hanya diberi hak pada domestic room, sehingga tidak ada kesempatan baginya untuk mengeyam pendidikan.

Hal itulah yang melatarbelakangi perjuangan perempuan yang terlahir dari pasangan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan M.A Ngasirah. Dengan semangat kecintaannya akan ilmu pengetahuan dan pendidikan , dia berjuang melawan kubangan budaya patriarki yang membelenggu perempuan.

Kartini bercita-cita mulia  mendirikan sekolah pribumi untuk mencerdaskan rakyat Indonesia. Untuk meraih cita-cita tersebut, dengan bantuan Meneer Van Ko, Kartini berhasil merambah dataran Eropa dan mengeyam pendidikan disana. Tentu, ide dan gagasan Kartini banyak berkiblat pada pemikiran yang berkembang di Eropa.

Skeptisisme Kartini

Itulah sekelumit manaqib Kartini yang diketahui banyak kalangan. Namun, siapa sangka bahwa Kartini itu santri? Hal ini bermula dari kegundahan akan makna akil baligh yang diungkapkan oleh romonya menjelang pernikahan Kardinah, adiknya. Perempuan yang sudah akil baligh harus menikah dan dianggap sebagai perempuan dewasa.

Ia berusaha mencari jawaban akan istilah asing yang didenganya melalui pimpinan Hindia Belanda yang terkenal akan wawasan keislamannya, yaitu Tuan Abdullah Ghaffar yang tak lain adalah Christian Snouck Hurgronye. Namun, tak jua Kartini menemukan jawaban. Hingga pada suatu ketika, ia bertemu dengan Kiai Sholeh Darat dalam sebuah pengajian di rumah Bupati Demak.

Pertemuannya de ngan Kiai Sholeh Darat membuat dahaga intelektual Kartini menyeruak. Kartini pun mulai mempertanyakan keilmuan yang selama ini telah ia dapatkan. Hingga akhirnya, secara perlahan mulai menguatkan imannya.

Kolaborasi Gagasan

Pertanyaan-pertanyaan yang menggelayuti pikirannya, satu persatu menemukan titik terang. Mulai dari hukum seorang yang berilmu menyembunyikan ilmu yang dimiliki, jihad perempuan hingga praktek poligami yang akrab dengan kehidupan para bangsawan.

Kartini menyimpulkan bahwa jihad terbesar seorang peremuan adalah menjadi madrasah bagi para generasi penerus bangsa. Perempuan berhak memperjuangkan haknya dengan merambah sector public, tanpa melupakan kodrat alamiah yang dimilikinya.

Gagasan kemajuan Kartini pun akhirnya tak hanya terilhami dari nilai-nilai moral Eropa, tapi juga dipadukan dengan spirit keislaman yang telah dipelajarinya. Ia menyakini bahwa dimanapun tempatnya, seorang perempuan harus tetap berkarya.

Ketika berada di domestic room, karya seorang perempuan diwujudkan dengan perannya sebagai seorang ibu yang mendidik anak-anaknya menjadi generasi emas suatu bangsa. Sebab, perempuan adalah tiang Negara. Rusaknya suatu Negara dikarenakan mandulnya peran seorang perempuan dalam keluarga.


Meninggalnya kartini pada zamannya, untuk segera beralih menjadi Kartini modern dalam tatanan sosio-kultural serta mampu think global dan act local. Sehingga pada perayaan hari Kartini ini, seyogyanya kita bias merefleksi diri menjadi perempuan yang memiliki nurani untuk terus berkarya dan bereksistensi hingga ke masa depan.


Tulisan ini pernah dimuat di koran Jateng Ekpress tanggal 21 April 2015