Sejarah nusantara kuno di penuhi dengan cerita
religious, sejak sebelum masuknya agama hindu (sering di sebut sebagai agama
tertua di indonesia) masyarakat kita dulu sudah
mengenal konsep ke-Tuhan-an (beragama), yaitu Kapitayan. Mengutip Agus
Sunyoto, Atlas Wali Songo, halaman 13-15. Agama Kapitayan secara
sederhana dapat digambarkan sebagai suatu ajaran keyakinan yang memuja sembahan
utama yang disebut Sanghyang Taya, yang bermakna Hampa, Kosong, Suwung, atau
Awang-Uwung. Taya bermakna Yang Absolut, yang tidak bisa dipikir dan
dibayang-bayangkan. Tidak bisa didekati dengan pancaindra. Orang jawa kuno
mendefinisikan Sanghyang Taya dalam satu kalimat “tan kena kinaya ngapa”
alias tidak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya. Kata Awang-uwung bermakna ada
tetapi tidak ada, tidak ada tetapi ada. Untuk itu, supaya bisa dikenal dan
dapat disembah manusia, Sanghyang Taya digambarkan mempribadi dalam nama dan
sifat Ilahiah yang disebut Tu atau To, yang bermakna “daya gaib “ bersifat
adikodrati.
Sedemikian ,kental nusansa religiusnya hampir
di pastikan kehidupan bermasyarakat Indonesia pada umumnya juga religious,
entah itu yang beragama formal (islam, Kristen, katolik, hindu, budha, dan khong
hu chu) ataupun yang penghayat kepercayaan. Namun satu hal yang mengharuskan
semua agama ataupun kelompok yang hidup di Indonesia harus melakukan hal yang
sama, yaitu membumikan ajaran-ajaran kemanusiaan dan budi pekerti. Kembali ke
sejarah nusantara, banyak sekali kerajaan-kerajaan di nusantara berdiri
berasaskan agama, karena masyarakat nusantara kuno mempercayai bahwa ada
kekuatan yang adikodrati yang memelihara alam raya ini dan sewaktu-waktu atas
kehendakNya juga mampu menghancurkan alam raya ini. Hingga kini kepercayaan
semacam itu masih ada, dan di wujudkan melalui rirual-ritual tradisional.
Budaya nusantara
Masyarakat nusantara di kenal
dengan keramah-tamahannya, keterbukaannya dan mencintai kedamaian. Budaya
nusantara adalah budaya yang menjunjung tinggi kemanusiaan, sehingga ketika ada
agama yang memiliki kesamaan visi pasti akan mudah diterima di nusantara. hal
inilah yang menginspirasi Walisongo yang menyebarkan dakwah islam dengan
strategi melebur bersama tradisi nusantara. mereka menghidupkan, merawat,
sekaligus memberikan sentuhan inovasi kepada budaya lokal, sehingga mampu
mengakulturasi ajaran agama dan budaya.
Secara konstitusional Kebudayaan
Nusantara adalah kebudayaan yang diakui sebagai kebudayaan nasional. Definisi
kebudayaan nasional menurut TAP MPR No.II tahun 1998, yakni:
Kebudayaan nasional yang
berlandaskan Pancasila adalah perwujudan cipta, karya dan karsa
bangsa Indonesia dan
merupakan keseluruhan daya upaya manusia Indonesia untuk mengembangkan harkat
dan martabat sebagai bangsa, serta diarahkan untuk memberikan wawasan dan makna
pada pembangunan nasional dalam segenap bidang kehidupan bangsa. Dengan
demikian Pembangunan Nasional merupakan pembangunan yang berbudaya.
Kebudayaan nasional
dalam pandangan Ki Hajar Dewantara adalah “puncak-puncak
dari kebudayaan daerah”. Kutipan pernyataan ini merujuk pada paham kesatuan
makin dimantapkan, sehingga ketunggal-ika-an makin lebih dirasakan daripada
kebhinekan. Wujudnya berupa negara kesatuan, ekonomi nasional, hukum nasional,
serta bahasa nasional. Definisi yang diberikan
oleh Koentjaraningrat dapat dilihat dari
peryataannya: “yang khas dan bermutu dari suku bangsa mana pun asalnya, asal
bisa mengidentifikasikan diri dan menimbulkan rasa bangga, itulah kebudayaan
nasional”. Pernyataan ini merujuk pada puncak-puncak kebudayaan daerah dan
kebudayaan suku bangsa yang bisa menimbulkan rasa bangga bagi orang Indonesia
jika ditampilkan untuk mewakili identitas bersama. Nunus Supriadi, “Kebudayaan
Daerah dan Kebudayaan Nasional”
Pernyataan yang
tertera pada GBHN tersebut
merupakan penjabaran dari UUD 1945 Pasal 32. Dewasa ini tokoh-tokoh kebudayaan
Indonesia sedang mempersoalkan eksistensi kebudayaan daerah dan kebudayaan
nasional terkait dihapuskannya tiga kalimat penjelasan pada pasal 32 dan
munculnya ayat yang baru. Mereka mempersoalkan adanya kemungkinan perpecahan
oleh kebudayaan daerah jika batasan mengenai kebudayaan nasional tidak
dijelaskan secara gamblang.
Sebelum di
amandemen, UUD 1945 menggunakan
dua istilah untuk mengidentifikasi kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional. Kebudayaan bangsa, ialah kebudayaan-kebudayaan
lama dan asli yang terdapat sebagi puncak-puncak di daerah-daerah di seluruh
Indonesia, sedangkan kebudayaan nasional sendiri dipahami sebagai kebudayaan
bangsa yang sudah berada pada posisi yang memiliki makna bagi seluruh bangsa Indonesia.
Dalam kebudayaan nasional terdapat unsur pemersatu dari Banga Indonesia yang
sudah sadar dan mengalami persebaran secara nasional. Di dalamnya terdapat
unsur kebudayaan bangsa dan unsur kebudayaan asing, serta unsur kreasi baru
atau hasil invensi nasional.
Islam nusantara dan pesantren
Secara
sederhana bisa kita simpulkan islam nusantara adalah islam yang di bawa oleh
walisongo yang kemudian ajaran-ajarannya menyatu dengan budaya nusantara. Dalam
menyebarkan islam, walisongo sangat memperhatikan adat-istiadat yang sudah
mengakar di nusantara sehingga walisongo tidak gegabah dalam menyebarkan
ajaran-ajaran islam, termasuk perihal syari’atnya.
Dalam hal
mengembangkan ajaran agama walisongo memadukan dengan budaya lokal termasuk
dalam bidang pendidikan. Sebagai aspek terpenting dalam mengembangkan ajaran
agama pendidikan mendapatkan perhatian yang paling serius dari walisongo. Untuk
pengebangan pendidikan yang menjiwai budaya lokal walisongo membuat gebrakan
dengan mendirikan pesantren, yang mana pesantren memang sistem pendidikan yang
lahir di indonesia, karena di timur tengah tempat islam lahir tidak ada sistem
pesantren.
Pesantren adalah
sebuah pendidikan tradisional yang para siswanya tinggal bersama dan belajar di
bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan kiai dan mempunyai asrama untuk tempat menginap santri. Santri tersebut
berada dalam kompleks yang juga menyediakan masjid untuk beribadah, ruang untuk
belajar, dan kegiatan keagamaan lainnya. Kompleks ini biasanya dikelilingi oleh
tembok untuk dapat mengawasi keluar masuknya para santri sesuai dengan
peraturan yang berlaku. Pondok Pesantren merupakan dua istilah yang menunjukkan
satu pengertian. Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar
para santri, sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana
terbuat dari bambu. Di samping itu, kata pondok mungkin berasal dari Bahasa
Arab Funduq yang berarti asrama atau hotel. Di Jawa termasuk Sunda dan Madura
umumnya digunakan istilah pondok dan pesantren, sedang di Aceh dikenal dengan
Istilah dayah atau rangkang atau menuasa, sedangkan di Minangkabau disebut
surau. Pesantren juga dapat dipahami sebagai lembaga pendidikan dan
pengajaran agama, umumnya dengan cara nonklasikal, di mana seorang kiai
mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang
ditulis dalam bahasa Arab oleh Ulama Abad pertengahan, dan para santrinya
biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut.
*) Penulis adalah Pengelola Penerbitan Gubug Saloka dan Aktif di Lentera Budaya Cakra Semarang TV
0 Komentar