oleh: Husni Mushonifin
Ritual puasa yang kita
kenal ternyata mempunyai kontinuitas historis yang jauh ke belakang. Ritual ini
setua dengan usia keberadaan manusia. Dalam simbol keagamaan, Nabi Adam
menjalani puasa (mengendalikan hawa nafsu) untuk tidak mendekati pohon khuldi. Nabi-nabi
terkemuka lain juga memperkenalkan ritual ini kepada kaumnya berdasarkan
syariat masing-masing yang jejak-jejaknya dapat kita temukan pada agama-agama
besar, seperti Kristen, Yahudi, Budha, Hindu dan bahkan Jaina, agama kuno di
India. Puasa dalam agama Islam merupakan bentuk yang disempurnakan dalam
ketentuan-ketentuan pelaksanaannya. Sifat ritual puasa yang abadi, universal
dan berkelanjutan dalam agama-agama tersebut mengundang rasa ingin tahu kita,
apakah inti sesungguhnya dari manifestasi pesan tuhan kepada umat manusia yang
terkandung dalam ritual ini.
Syahwat (id)
Allah menciptakan dorongan
syahwat atau nafsu pada diri manusia untuk mencintai wanita, anak-anak, harta
benda emas dan perak, unta, binatang ternak dan sawah ladang sebagai kesenangan
dunia (Q.S.3:14). Dalam konteks kehidupan modern, kesenangan dunia bisa berupa
dorongan akan kepemilikan kendaraan, mobil, prestise, budaya glamor dan
konsumerisme, uang, kekuasaan, dan sebagainya. Dorongan syahwat ini ternyata
mendasari seluruh bentuk perilaku manusia dalam mempertahankan kelangsungan
hidupnya. Karena itu, ia tidak dapat dimusnahkan. Namun, di sisi lain jika
tidak diatur, diarahkan atau dikendalikan, dorongan tersebut dapat bersifat
asosial dan destruktif, baik dalam masyarakat ataupun individu. Atas fakta ini
Nabi pernah bersabda, Musuhmu yang terbesar adalah nafsumu sendiri yang ada di
dalam. Dan, Al-Quran memperkuat dengan menyatakan, Sesungguhnya nafsu itu
cenderung pada kejahatan, kecuali yang dirahmati oleh Tuhan.
Sigmund Freud (1856-1939)
telah melakukan studi penelitian terhadap dorongan-dorongan ini dan menyebutnya
sebagai Id. Faal Id menunaikan prinsip kehidupan yang asli atau primer yang
dinamakan dengan prinsip kesenangan (pleasure principle). Tujuan dari prinsip
kesenangan adalah untuk membebaskan individu dari ketegangan. Ketegangan
dirasakan sebagai penderitaan, sedangkan peredaan dari ketegangan dirasakan
sebagai kesenangan atau kepuasan. Prinsip kesenangan ini merupakan
kecenderungan universal bukan hanya bagi manusia tapi juga bagi segala makhluk
yang hidup. Id tidak dapat menahan ketegangan, ia ingin kepuasan yang segera.
Id suka mendesak, impulsif, irrasional, asosial dan mementingkan diri sendiri.
Al-Quran dengan keras memperingatkan agar manusia tidak menempatkan syahwat
atau Id sebagai Tuhan. Dan, bagi yang tidak menggunakan pendengaran serta
akalnya (sebagai pengendali atas Id) maka mereka itu tidak lebih sebagai
binatang ternak bahkan lebih sesat jalannya (Q.S.25:43).
Reality principle
Dalam psikoanalisa, unsur
kepribadian yang berperan sebagai pengontrol atau pengendali terhadap Id adalah
Ego. Berlainan dengan Id yang dikuasai oleh prinsip kesenangan, Ego dikuasai
oleh prinsip kenyataan (reality principle). Kenyataan berarti apa yang ada.
Tujuan dari prinsip ini adalah menunda terpenuhinya kepuasan sampai dihasilkan
tindakan atau perilaku yang tepat. Dengan kata lain, penangguhan suatu tindakan
berarti bahwa Ego harus dapat menahan ketegangan sampai ketegangan itu dapat
diredakan dengan suatu bentuk tindakan yang rasional. Pembentukan prinsip
kenyataan tidak berarti bahwa prinsip kesenangan ditinggalkan. Kesenangan hanya
dibekukan untuk sementara waktu untuk kepentingan kenyataan. Akhirnya, prinsip
kenyataan menuju juga ke arah kesenangan, meskipun seseorang harus menahan
sedikit kegerahan sambil mencari kenyataan.
Modus puasa
Puasa atau shaum (bahasa
Arab) secara harfiah berarti menahan diri. Ilmu Fiqh mendefinisikan puasa
sebagai perilaku menahan diri dari hal-hal yang membatalkannya (pemenuhan
dorongan biologis seperti; makan, minum dan hubungan seksual) dari mulai terbit
fajar hingga terbenamnya matahari. Dari tinjauan psikodinamika, mekanisme
ritual puasa yang demikian mengandung pesan bahwa tidak akan terjadi
perkembangan rohaniah (ego) jika setiap kali muncul dorongan dari dalam
(syahwat) yang berbentuk keinginan seketika itu juga harus terpenuhi. Harus ada
pendidikan, pendewasaan, dan pelatihan untuk Ego yang setiap saat berhadapan
dengan realitas atau stimulus yang selalu membangkitkan syahwat tersebut. Meskipun
pada tujuan aslinya ritual puasa dipersembahkan hanya untuk Tuhan namun dalam
implementasinya ia mengandung dimensi ini. Dengan perkataan lain puasa
merupakan simbol tentang pentingnya pengekangan Id demi penguatan dan
pendewasaan terhadap Ego.
Selanjutnya, Al-Quran
menyatakan bahwa tujuan puasa adalah untuk mencapai derajat taqwa. Maka, taqwa
di sini harus diberi pengertian kemampuan Ego dalam menunda dan mengendalikan
keinginan-keinginan syahwat yang tidak dapat dimusnahkan tersebut pada arah
pemenuhan yang sesuai dengan ketentuan moral agama. Syahwat yang mencapai titik
kepuasan melalui proses taqwa inilah yang kita sebut dengan nafsu yang
dirahmati tuhan (Q.S.89;27).
Strategi puasa
Herbert Marcuse
(1898-1979), filosof mazhab Frankfurt, menyatakan bahwa peradaban umat manusia
dalam bentuk konstruksi tatanan masyarakat pada hakikatnya adalah hasil represi
atau pengekangan terhadap Eros. Eros adalah dorongan-dorongan primitif (insting
kebinatangan) yang dalam tulisan ini kita padankan dengan term syahwat atau Id.
Represi adalah pengekangan sampai pada batas waktu tertentu sehingga
berlangsung rasionalisasi, sublimasi dan pengarahan dorongan-dorongan primitif
tersebut pada saluran-saluran yang lebih intelektual, perikemanusiaan, kultural
dan artistik yang kemudian mewujud dalam bentuk sistem lembaga-lembaga.
Proses ini merupakan
situasi di mana prinsip realitas mendominasi dan selanjutnya memodifikasi
prinsip kesenangan. Suatu proses yang menjadi prasarat bagi kemajuan. Dalam
sejarah perkembangan manusia, penggantian prinsip kesenangan dengan prinsip
realitas adalah peristiwa traumatis yang hebat dan selalu terjadi. Namun, Freud
memperingatkan bahwa kemenangan prinsip realitas tersebut tidak pernah
sempurna. Apa yang direpresi dan dikuasai oleh peradaban klaim prinsip
kesenangan tetap hidup dan eksis dalam peradaban itu sendiri. Alam tak sadar
tetap menjaga dan memelihara tujuan-tujuan prinsip-prinsip kesenangan yang
dikalahkan itu meskipun dipaksa mundur oleh realitas eksternal, atau bahkan
tidak mampu menjangkau realitas tersebut. Namun, kekuatan penuh prinsip
kesenangan tidak hanya tetap hidup di alam bawah sadar, tetapi dengan bermacam
cara mempengaruhi realitas yang telah mengatasi prinsip kesenangan itu. Apabila
prinsip kesenangan mengambil alih kekuasaan dan mendominasi prinsip realitas maka
di situlah kehancuran sebuah masyarakat atau peradaban manusia yang telah
kehilangan kontrol moralnya.
Berdasarkan uraian di atas,
kita dapat menemukan jawaban mengapa Tuhan menetapkan ritual puasa sebagai
kewajiban universal pada agama-agama dan berlaku sepanjang masa. Ritual puasa
merupakan pesan simbolik bahwa potensi kehancuran peradaban atau masyarakat
bersumber dari dalam diri manusia itu sendiri. Dan, potensi ini tidak dapat
dimusnahkan, ia selalu muncul setiap waktu. Karena itu, perilaku manusia selalu
mendasarkan diri, mendapatkan ujian, dan penilaian ketaqwaan dari Tuhan.
Sebaliknya, melalui ritual puasa manusia mendapatkan pelajaran bahwa untuk
membangun kembali masyarakat dan peradaban harus dimulai dari pengekangan
secara kolektif atas dorongan syahwat atau Id tersebut. Maka, ritual puasa
dalam konteks ke-Indonesia-an bisa menjadi sebuah titik tolak dan strategi
dalam merestorasi kembali pemerintahan dan budaya masyarakat yang sedang
mengalami krisis berkepanjangan.
*) Penulis adalah Pengelola Penerbitan Gubug Saloka dan Aktif di Lentera Budaya Cakra Semarang TV
0 Komentar