Oleh: Riadhotul Liana*
Akeila Lianna Karpov

Rame ing gawe, sepi ing pamrih. Begitulah pepatah Jawa mengatakan bahwa sudah seharusnya orang Indonesia memiliki karakter positif: “giat bekerja dan menolong tanpa pamrih”. Senada dengan pepatah tersebut terdapat pula dalam istilah lain yang disebut dengan gotong-royong, yaitu bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu hasil yang didambakan. Sifat inilah yang harus dimiliki seluruh masyarakat Indonesia terlepas dari segala perbedaan suku, ras, maupun etnis di Indonesia. Di era kekinian, rekonstruksi mental gotong-royong menjadi sangat penting dilakukan mengingat dinamika kehidupan masyarakat Indonesia yang semakin individualis.
Ruh Pancasila
Sebagai ideologi bangsa, tentu Pancasila memiliki cita-cita luhur untuk mempersatukan sekaligus membangun karakter bangsa. Bahkan karena begitu pentingnya Pancasila untuk dicerna seluruh lapisan masyarakat, Ir. Soekarno memeras Pancasila yang berarti lima sila menjadi Trisila yang berarti tiga sila yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan. Oleh Soekarno, kemudian diperas lagi menjadi ekasila yaitu gotong-royong. Dengan ini jelas bahwa inti atau ruh dari Pancasila adalah gotong royong.
Di era modern ini, begitu banyak tantangan yang mengancam keutuhan NKRI. Utamanya yang tengah kita hadapi adalah bangsa kita terjebak ke dalam dua paham yang membelah karakter masyarakatnya ke dua kutub ekstrim. Yang satu sangat mengumbar modernitas ala barat yang sangat kapitalis-liberal, dengan sangat mendewakan kebebasan yang tidak terbatas sehingga menumbuhkan sifat konsumtif di tengah-tengah masyarakat. Dan satunya lagi menggaungkan “kesalehan” ala Arab yang juga hendak menghilangkan kebajikan lokal yang di perjuangkan dengan susah payah oleh para pendiri bangsa.
Ancaman yang tidak kalah berbahayanya berasal dari masyarakat kita sendiri. Realitas masyarakat di zaman ini semakin hedonis dan pragmatis. Mereka disibukkan dengan aktifitas untuk “memperkaya diri”. Saat ini Indonesia sedang digempur habis-habisan oleh hegemoni kapitalisme yang membentuk nalar konsumtif sekaligus eksploitatif. Masyarakat Indonesia seolah-olah telah dibentuk orientasinya untuk mengejar materi demi kepuasan duniawi. Apalagi Indonesia banyak sekali melakukan perjanjian perdagangan internasional (MEA, CAFTA, FAO, dll) yang menyebabkan kompetisi ekonomi tak bisa terhindarkan.
Memudarnya eksistensi seni dan budaya Indonesia juga sangat membahayakan keutuhan NKRI. Karena melihat realitas yang ada baik di kalangan anak-anak, pemuda, hingga orang dewasa sudah mulai pudar rasa kepemilikan terhadap budayanya. Acara kesenian dan kebudayaan seakan hanya seremonial yang diadakan dalam sebuah festival tertentu, tanpa pemaknaan yang mendalam. Yang tentu itu sangat mengecewakan para pejuang yang telah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia lengkap dengan segala tradisi dan budayanya.
Rekonstruksi Mental
Dalam menghadapi era perdagangan pasar bebas, memang benar jika bangsa kita tidak bersiap dari sekarang dengan menyiapkan SDM yang siap kerja, maka kita akan tertinggal. Bagaikan ayam yang mati kelaparan di lumbung padi. Namun celakanya, kita justru melupakan filosofi gotong-royong sebagai ruh Pancasila. Penataran penghayatan pengamalan, dan pelaksanaan pancasila dihidupkan hendaklah kembali. Setidak-tidaknya bangsa kita masih mampu memberikan doktrinasi gotong-royong sebagai ruh kehidupan berbangsa dan bernegara.
Langkah pertama untuk menumbuhkan semangat gotong-royong adalah kita harus selalu mempelajari sejarah perjuangan bangsa. Karena kemerdekaan bangsa ini dapat diraih tak lain karena semangat bergotong-royong yang sangat tinggi di kalangan para pejuang. dan seperti yang telah di kumandangkan oleh Bung Karno jangan sekali-kali melupakan sejarah, karena bangsa yang besar adalah yang tidak melupakan sejarahnya sendiri.
Selain itu, dalam trisakti yang dicetuskan Bung Karno, seni-budaya menjadi ujung tombak membangun karakter bangsa. Seni-budaya yang dimaksud adalah yang merasuk menjadi perilaku keseharian saat bekerja, bersantai, berdiskusi, belajar, bahkan saat istirahat sekalipun. Kita harus meyakini bahwa kita memiliki karakter budaya sendiri yang tidak di miliki bangsa lain. Tentu boleh kita menyerap semangat bangsa lain karena memang nasionalisme kita bukanlah nasionalisme sempit. Namun kita harus memperkuat terlebih dahulu pemahaman kebudayaan kita sehingga kita tidak terjebak kedalam kebudayaan asing tersebut lalu kemudian merendahkan budaya bangsa sendiri.
Seni budaya yang diharapkan oleh founding father tentunya adalah seni yang mampu menggairahkan seluruh elemen masyarakat kepada tujuan untuk memperkuat karakter bangsa yang berketuhanan, mempersatukan bangsa, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kepemimpinan yang harmonis, demokratis, dan mengutamakan permusyawarahan dalam setiap menyelesaikan persoalan, serta menjunjung tinggi keadilan sosial, kesamaan hak. Sebagai satu bangsa, idealnya kita tidak boleh bergerak sendiri-sendri atau hanya mementingkan kelompok sendiri. Persatuan bangsa harusnya di mulai dengan kesadaran bahwa untuk melakukan sesuatu harus di kerjakan bersama-sama, tidak membedakan suku agama ras dan aliran. Karena itulah sila kemanusiaan yang adil dan beradb di letakkan setelah sila ketuhanan yang maha esa. Karena hanya dengan begitu akan terwujud sila yang ketiga yaitu persatuan indonesia kemudian terwujud pula kerakyatan yang di pimpin oleh hikmad kebijaksanaan dalam permuysawaratan perwakilan, dan pada akhirnya terciptalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.
Setelah itu barulah akan tercipta bentuk hukum yang asli berasal dari karakter budaya sendiri, yang berdaulat, dan tidak terpengaruh oleh paham asing. Dengan itu kita akan mantap untuk berdikari di bidang ekonomi sehingga bangsa kita tidak akan tergantung dengan modal dari bangsa asing. Bukannya kita anti-asing, tapi alangkah lebih baik jika bangsa kita bisa mandiri, bukankah akan sangat membanggakan jika bangsa kita mampu memberi bantuan modal kepada bangsa lain yang membutuhkan, yang akan semakin membuat kita percaya diri menunjukkan karakter gotong-royong dalam kancah global.
Agar tidak hanya menjadi perbincangan tanpa makna, sudah saatnya kita sebagai anak negeri menggelorakan semangat bergotong-royong di setiap tingkah laku keseharian kita. Selain hemat, dengan bergotong royong akan menumbuhkan rasa cinta kita terhadap sesama dan akan meningkatkan kepekaan sosial kita. Namun perlu digarisbawahi bahwa gotong royong disini tentu dalam hal atau kegiatan yang positif semata. Selamat bergotong royong!


*) Penulis adalah Direktur Lembaga Kajian dan Penerbitan (LKaP) PMII Gus Dur dan Mahasiswa Pendidikan Matematika UIN Walisongo Semarang