M. Rikza Chamami, MSI
Dosen FITK, Mahasiswa Program Doktor Islamic Studies UIN Walisongo dan Mantan Pjs Ketua Umum PP IPNU


Mencari Islam original hari ini sama halnya mencari intan berlian di dasar lautan. Islam yang ada hari ini adalah ijtihad Islam original yang disampaikan oleh Nabi Muhammad. Namun demikian, bukan berarti Islam yang ada hari ini bukan original. Islam tetap original sebagai sebuah ajaran suci dan agama yang memberikan pengayoman dunia dan akhirat. Sedang umatnya melakukan ijtihad mencari originalitas agamanya.

Yang perlu dibahas dalam paper singkat ini adalah sebuah definisi makro tentang Islam. Penulis merasa memiliki tanggung jawab untuk ikut memberikan penjelasan akademik terhadap respon pemikiran Islam. Pendapat “Islam ya Islam” tidak ada embel-embel, bukanlah salah. Definisi itu adalah sunnatullah. Sebab itu pendapat yang didasari atas argumentasi yang kuat menurut keyakinannya.

Di sisi lain, pendapat yang menyebutkan bahwa Islam masih butuh embel-embel. Seperti Islam Nusantara, Islam Jawa, Islam rahmatan lil ‘alamin, Islam toleran dan lain-lain. Pendapat demikian juga punya dasar argumentasi, bahwa embel-embel itu sebagai pelengkap dan penjelas atas luasnya makna Islam. Sama dengan istilah kopi. Ada kopi tubruk, kopi item, kopi susu dan kopi-kopi lainnya.

Dalam kajian Islamic studies (dirasah islamiyyah) selalu dibahas Islam normatif dan Islam historis. Perbedaan pandangan antara dua pendapat di atas merupakan aplikasi dari pemahaman dua model kajian Islam itu. Islam normatif hadir memberi jawaban Islam original, sesuai aturan dan sangat syar’i sehingga Islam ya Islam (tidak butuh embel-embel). Sedangkan Islam historis adalah realitas Islam yang melalui perjalanan sejarah, maka lahir istilah Islam Nusantara, Islam Jawa, Islam rahmatan lil ‘alamin dan lainnya.

Penulis masih ingat betul ketika mengambil mata kuliah Metodologi Studi Islam di Program Doktor UIN Walisongo. Mata kuliah yang fantastis ini diajar oleh Prof Dr H Mujiyono MA, seorang guru besar fiqh lingkungan dan aktivis Muhammadiyah. Begitu luasnya pemahaman yang membuat penulis tercengang dalam memahami Islam. Walau pun organisasi Muhammadiyah yang dianutnya, ia tak segan membuka wawasan terhadap semua ajaran dan keanekaragaman Islam. Sebab itu adalah realitas Islam di Indonesia.

Satu buku tebal 571 halaman karya Abuddin Nata berjudul  Studi Islam Komprhensif tak boleh lepas untuk dibaca. Abuddin Nata (2011) menyebutkan ada dinamika pemikiran Islam yang sangat dinamis muncul. Sehingga Islam yang lahir dalam dataran empiris ada 31 warna-warni, antara lain: Islam normatif, Islam ideologis, Islam politik, Islam formalistis, Islam dogmatis, Islam ekslusif, Islam tekstualis-literalis, Islam radikal, Islam fundamentalis, Islam tradisionalis, Islam historis dan kultural, Islam rasional dan intelektual.

Warna-warni lainnya adalah: Islam substantif, Islam moderat, Islam humanis, Islam transformatif, Islam nusantara, Islam dinamis, Islam aktual, Islam reformis, Islam alternatif, Islam interpretatif, Islam inklusif-pluralis, Islam modernis, Islam kosmopolitan, Islam esoteris, Islam liberal, Islam warna-warni, Islamku Islam Anda dan Islam kita, Islam mazhab HMI dan Islam rahmatan lil alamin.

Dengan demikian, cukup tegas bahwa Islam dengan embel-embel bukan “agama” baru dan bukan “ijtihad baru, melaikan dinamika pemikiran yang berkembang dalam merespon keberislaman. Alhasil, jika ini yang dimaksudkan, maka melihat Islam sebagai agama dengan Islam sebagai pemikiran juga terjadi perbedaan.

Islam sebagai agama selalu dilihat dengan kacamata doktrin ketuhanan. Doktrin ketuhanan ini yang melahirkan kebenaran mutlak. Saking yakinnya dengan kemutlakan kebenaran dimaksud, semua orang terkadang berubah wujud menjadi “tuhan-tuhan” kecil yang menyebut ini kebenaran dan itu kesalahan. Kebenaran manusia (yang disebut kebenaran Tuhan) tadi itu yang membuat awal dari pintu masuk perbedaan. Oleh sebab itu, Islam normatif ternyata juga melahirnya persepsi beda dalam sisi agama.

Oleh sebab itu, Nabi Muhammad telah memberikan orientasi matang di dalam melihat agama. Bahwa agama adalah keyakinan yang harus didialogkan. Keyakinan orang terhadap Islam, Allah, Nabi dan Al Qur’an sebagai kitab suci merupakan tanggung jawab individu.

Dan isi dari ajaran Islam itu kemudian menjadi tanggung jawab sosial yang perlu didialogkan. Dalam dialog (sebut saja dialog teologi) inilah lahir fanatisme. Tinggal siapa yang mengajarkan fanatisme ini. Jika yang melatih fanatis adalah anti dialog, maka lahir ilmu itu. Tapi jika belajar fanatisme dengan cara dialogis, maka lahir dialog teologi (bukan tukar menukar teologi/keimanan).

Sebagai pemikiran, Islam tentu saja lahir dengan beragam pola pikir. Jelas saja, namanya juga pemikiran. Jadi pikiran satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Untuk membuat identitas pemikiran itu, maka muncul penamaan-penamaan yang ada setelah kata Islam. Apapun namanya, itulah identitas (entah disebut identitas ideologi, budaya, kelompok atau apapun) yang jelas untuk membuat orang semakin bermana.

Sebab nama itu sangat penting. Sama halnya, santri ketika belajar Alfiyyah Ibnu Malik bab ‘alam: Ismun yu’ayyinul musamma muthlaqa, ‘alamuhu kaja’farin wa hirniqa. Bahwa nama itu hal yang sangat mutlak disandarkan pada yang diberi nama. Memang agak kaget, ketika Islam yang sebegitu suci kok kemudian disempitkan dengan identitas sosiologis. Namun akan tidak jadi aneh kalau kita mau melihat Islam itu adalah Islam empirik, Islam bumi dan Islam nyata di dunia.

Batasan Islam sebagai pemikiran ini nampaknya tidak bisa dibendung. Akan lahir ribuan istilah yang tentang Islam. Termasuk ada Islam negeri dan Islam swasta—sebagai simbolisasi Islam versi negara dan Islam versi sipil. Maka, dapat diambil benang merah, bahwa keanekaragaman Islam Nusantara (Indonesia) adalah rahmat Tuhan. Dan ini menjadi bukti, bahwa kajian keislaman masih sangat menarik untuk didialogkan.

Yang paling penting dipegang adalah, jika mendialogkan Islam sebagai pemikiran perlu pikiran yang jernih dan tidak boleh emosi. Sebab ini adalah bagian dari kajian pemikiran yang menggunakan akal—bukan menggonakan okol (kekuatan emosi dengan pukulan). Akan lebih menarik jika kajian-kajian semacam ini menghadirkan khazanah-khazanah khas pesantren yang cukup unik dengan siraman Kyai-Kyai.*)