Oleh : M. Husni Mushonifin
Sebelumnya mohon maaf jika tulisan ini jauh dari bermutu. Dalam tulisan ini saya hanya ingin bercerita tentang kehidupan yang selama tujuh tahun saya jalani di dunia pergerakan. Semoga bisa di terima…
Tentu selama tujuh tahun ini ada suka dan duka, ada baik dan buruk, dan yang mungkin jarang di bicarakan adalah tentang gairah dan kebosanan yang saya alami. Ya, kebosanan. Kebosanan yang mungkin juga di alami oleh banyak kader PMII di seluruh Indonesia.
Tulisan ini terinspirasi dari artikel di Indoprogress.com berjudul “khotbah tentang kebosanan” yang di dua alenia pertama secara implisit menyatakan ada inspirasi di balik kebosanan. Setelah saya membaca artikel itu, ada kesamaan rasa. Kita tentu tahu seorang pemikir besar dalam dunia etika, Immanuel Kant, yang seumur hidupnya tak pernah pergi lebih dari 10 km dari kampung halamannya. Nyaris setiap hari dia menempuh jalan yang sama pada jam yang sama, sampai-sampai para tetangganya tak perlu melihat jam untuk mengetahui jam 8 pagi (saat kant pergi ke gereja) dan jam 4 sore (saat kant pulang dari gereja), seperti bintang gemintang di langit yang dikaguminya, kehidupannya beredar dari situ-situ saja. Charles Darwin juga mirip. Sepulangnya dari ekspedisi Galapagos, Darwin tak pernah keluar kotanya, selain dia menganggap ekspedisinya sudah di anggap sukses karena mencetuskan teori evolusi, dia sedang merintis kedokteran teoritis. Begitupun karl marx,setelah ikut terjun dan menjalani hidup menggairahkan di antara revolusi-revolusi Eropa, Marx menghabiskan setengah umurnya di British Museum mengulik bahan yang itu-itu saja, hingga akhirnya mencetuskan banyak teori sosial yang melahirkan para revolusioner baru.
Buat kita, terlalu banyak bagian membosankan dalam kehidupan mereka. Akan tetapi, sepertinya ada sesuatu yang tak kita pahami bahwa kehidupan yang tenang dan sepintas membosankan merupakan ciri kehidupan orang besar. Tak ada hasil besar yang mungkin dicapai tanpa kerja tekun dengan asyik dan pelik sehingga tenaga yang tersisa untuk digunakan mencari hiburan sebegitu terbatasnya. Sepertinya kemampuan untuk menanggung kehidupan yang kurang lebih monoton merupakan kemampuan orang besar. Mungkin itu pula yang menjadi syarat bagi sistem pengorganisasi masyarakat yang lebih adiluhung dan tertata.

Di PMII sendiri dengan jujur seringkali kebosanan muncul tak terduga. Aktivitas yang hanya di dominasi diskusi, rapat, aksi demonstrasi, dan hanya petatantang-petetnteng di hadapan adek-adek kelas tapi hati tetep nyinyir karena sejatinya tak ada apapun yang saya dapat di PMII, pacarpun tidak…hehehe. Membosankan bukan.
Hingga saat ini saya tak merasa istimewa dengan keberadaan saya di PMII. Dan selama tujuh tahun saya berdiskusi di PMII, tak pernah ada satupun kesimpulan. Membosankan…
Coba kita bayangkan, dunia pergerakan yang minim hiburan, bersahabat dengan orang-orang yang kalau boleh saya bilang senasib karena sama-sama datang dari pelosok desa, berwajah santri, dan bermental proletar revolusioner. Tak ada yang membanggakan sama sekali. Dan yang paling menyakitkan, di antara sahabat-sahabat itu tak ada bahan candaan yang kreatif, cenderung yang menjadi candaan adalah sahabatnya sendiri yang terlihat lemah, lugu, miskin artikulasi, dan tak punya sense of be longing untuk menghina sahabat-sahabatnya, sederhananya, sahabat yang memiliki hati yang lembut cenderung menjadi bahan candaan. Sudah di pastikan sahabat macam ini tidak hanya merasa bosan, tapi dia berpikir bubarkan saja PMII...
Menyitir lagi dari Indoprogress dengan pisau analisa dialektika historis, cie… tentu  sebagai orang yang sudah menjamur di PMII saya akan mempertanyakan “kalau memang PMII mengandung bagian-bagian yang membosankan, memangnya kenapa? Seburuk itukah kebosanan bagi kita sehingga kita harus senantiasa mencari cara agar lepas darinya? Tak adakah hikmah yang bisa dipetik dari kebosanan? Bukankah kebosanan itu bukan sesuatu yang eksternal, tapi bagian tak terpisahkan dari realitas kehidupan manusiawi? Atau hanya gara-gara sering di bully kita sudah merasa bosan?
Realitas itu dialektis. Kebosanan berelasi internal dengan kegairahan. Meski kita menilai kegairahan lebih tinggi ketimbang kebosanan (dan itu dibuktikan oleh segala bentuk upaya banyak orang lepas dari kebosanann dengan selalu mencari hiburan. Bahkan dalam gerakan buruh, para buruh sedang berjuang untuk mengesahkan item hiburan sebagai kebutuhan pokok yang pantas mendapat pengupahan), tak mungkinlah kita menghidupi hidup melulu dalam kegairahan. Sebelum mengenal pertanian, leluhur kita hidup berburu-meramu. Betapa menggairahkan hidup macam itu. Berburu dan berpindah-pindah tempat tinggal itu menggairahkan. Apa pasal? Nyaris tak ada jeda antara rencana dan pengejawantahannya. Berhasil atau tidak, si pemburu segera tahu apakah pengejawantahan rencananya berhasil atau tidak. Ada deg-degan permanen dalam kehidupan mereka. Ada tantangan, adrenalin mereka tidak passif. Karena salah satu ‘syarat’ untuk melepaskan kebosanan adalah hormon adrenalin kita harus terus aktif. Coba bandingkan dengan kehidupan yang menetap dan bercocok tanam. Mereka pasif, setelah menanam mereka menunggu masa panen, setelah panen menanam lagi, dan begitu seterusnya.
Tak usah jauh-jauh kita membahas pra-sejarah para manusia purba. Kalau kita masih meyakini bahwa proses kehidupan terkadang di atas dan terkadang di bawah seharusnya kita mafhum. Bagi sahabat-sahabat yang sekarang sedang di bawah, sering di bully mungkin karena ke-jomblo-annya, atau karena, warna kulitnya yang gak populis, atau yang kemana-mana memakai by-sikil (gak punya motor.red) sabar saja, mungkin sepuluh tahun yang akan datang nasib kalian akan berubah jika kalian sabar dengan kebosanan. Begitupun dengan sahabat-sahabat yang sekarang sedang di atas angin, waspadalah. Siapa tahu besok atau lusa atau kapanpun kalian akan menemui nasib yang tak pernah kalian harapkan.
Wahai sahabat, mengertilah kalian, manusia dewasa adalah mereka yang selalu menemui kebosanan dan mampu melewatinya dengan berkarya dan berkarya. Jangan seperti anak kecil yang selalu ingin mencari ke-gairah-an dan jika merasa bosan selalu menginginkan hal baru dan harus segera terrealisasi, itu sangat kekanak-kanakan. Percayalah dinamika kehidupan paling tinggi ketika kita mampu berkawan dengan kebosanan dan mewarnainya dengan karya-karya yang baik.
Seperti yang telah di jelaskan di atas. Jika kita membaca sejarah para tokoh-tokoh besar jalan hidup mereka sangat akrab dengan kebosanan, minim hiburan, bahkan mereka rela meninggalkan hal-hal yang menjadi kesenagan mereka. Mereka kenyang dengan bullying, seperti KH. Hasyim Asy’ari yang berjuang mati-matian mendirikan Pon-Pes tebuireng yang waktu lampau daerah situ menjadi tempat maksiat dan pemujaan dedemit, beliau di hina, di caci maki. Mungkin jika orang seperti saya mengalami kehidupan seperti beliau, saya sudah pergi dan mengeluh. Karena jelas membosankan dan menyakitkan.
Begitupun dengan Gusdur yang selalu di bully karena kondisi fisiknya yang cacat. Tapi toh, beliau hanya menanggapinya dengan tertawa. Tertawanya Gusdur dan quotenya “begitu aja kok repot” itulah cara gusdur mentarnsformasi kebosanan menjadi dinamika yang penuh dengan retorika.
Sekali lagi tak ada satupun tokoh besar yang hidupnya hanya di penuhi dengan gairah kesenangan.
Maka selama tujuh tahun proses yang saya jalani di PMII, kebosanan adalah salah satu jalan untuk menempa diri menjadi pribadi yang dinamis dan dialektis. Persis seperti yang di katakan senior saya Ahmad Junaidi “jika prosesmu di PMII gak sampe 1000 hari, berarti kamu bukan kader militan, jika kamu berhenti hanya 1000 hari, berarti kamu juga bukan kader militan, jika setelah 1000 hari kamu ingin nambah 2000 hari, kamu masih belum militan. Karena kader militan berproses tanpa menghitung hari.” Sangat membosankan berproses sedemikian panjang.

Kebosanan yang sama saya lihat di sebagian aktivis PMII (mudah-mudahan hanya pandangan saya) mereka terlihat lesu, tak punya gairah, tak ada forum diskusi, tak ada aksi demonstrasi. Di masa OPAK di kampus hijau tercinta, tidak terasa semangat yang dulu pernah saya rasakan. Sudah bosankah kalian dengan nalar kritis dan mendobrak...?? organisasi di jalankan layaknya sebuah paguyuban, berkumpul semaunya dan bubar semaunya. Tak ada yang saya salahkan. Karena saya paham, mereka hanya mencari ke-gairah-an yang baru di tempat yang baru yang mereka anggap sebagai pilihan. No problem. Tapi yang saya lihat, hanya kebosanan di setiap gerak langkah mereka, dengan jalan yang mereka pilih, tak ada arah yang jelas yang mereka tuju, dan kebosanan itu masih menyertai mereka. semoga kebosanan itu adalah bagian dari proses pendewasaan. Karena tak ada manusia dewasa yang tak bersahabat dengan kebosanan...

 *)Penulis adalah Pengelola Penerbitan Gubug Saloka dan Aktif di Lentera Budaya Cakra Semarang TV