oleh: Gus Ma'ruf
Kapitalisme adalah satu satu dari sekian banyak
ideologi besar dunia. Kalau biasanya kita mendengar prinsip ekonomi, “dengan
modal sekecil-kecilnya, untuk mendapatkan untung yang sebesar-besarnya”, perlu
diketahui bahwa diktum tersebut berasal dari kaum kapitalis. Merekalah yang
menguasai modal dan alat-alat produksi yang kemudian digunakan untuk menindas orang lemah. Kalau
kata Marx, ada kaum borjuis (penguasa modal) dan kaum proletar (tertindas) yang
keduanya saling kontras.
Kalau
membincang Indonesia, salah satu penindasan kaum borjuis terhadap proletar
terjadi dalam sektor pendidikan. Pendidikan sebagai proses pemanusiaan manusia
menjadi hal urgent dalam membentuk generasi yang dibutuhkan masyarakat. Namun,
pendidikan yang seharusnya bisa diakses oleh semua lini masyarkat, hanya
menjadi utopis belaka. Biaya pendidikan yang begitu mahal berekses pada
ketidakmampuan golongan proletar menyekolahkan anaknya. Hanya golongan borjuis
yang dapat mengenyam bangku pendidikan, memperoleh transfusi ilmu pengetahuan
dan ketrampilan. Buktinya saja, masih banyak anak-anak yang mengorbankan masa
mudanya untuk mengamen dan mengemis, bukan untuk bersekolah karena biaya
pendidikan yang tidak murah. Kalaulah bisa bersekolah, kaum proletar tidak akan
mendapatkan pendidikan yang berkualitas, semisal di wilayah pelosok Indonesia. Tentu,
ini berpengaruh pada output yang dihasilkan.
Selain itu, tujuan laten yang sengaja
direncanakan oleh para kapitalis adalah untuk melanggengkan dominasinya atas
kaum proletar. Sebab, hanya golongan kapitalis yang terdidik dan mendapatkan
asupan ilmu dan keterampilan yang memadai. Mereka ingin jarak antara pendidikan
dan kaum proletarian semakin jauh, agar posisi-posisi strategis bisa dikuasai oleh
para pemilik modal.
Kalau
membincang penyimpangan sosial, golongan tidak terdidiklah yang kebanyakan
melakukannya. Mengapa demikian? Karena mereka tidak pernah mendapatkan
pendidikan yang berkualitas, sehingga ilmu pengetahuan, nilai-nilai dan ketrampilannya
minim. Akibatnya, produktifitas dan kreatifitas dalam menghadapi tantangan
hidup juga minim, bahkan tidak ada. Makanya, mereka hanya mengisi hidupnya
dengan aktivitas yang tidak berkualitas dan negatif. Misalnya banyak generasi
muda gila seks yang berfantasi dengan onani, menonton film porno, dsb.
Pertanyaannya
kemudian adalah mengapa para artis dan para pejabat yang terdidik juga banyak
yang tersangkut kasus seks bebas? Kita tahu sendiri bahwa tugas artis adalah
menghibur. Kalau kemudian mereka tidak bisa memanfaatkan waktu senggangnya
dengan hal-hal produktif dan kreatif, semisal menulis, tentu saja mereka akan
menyalurkan orientasi seksualnya melalui hal-hal negatif. Begitupun pejabat,
mereka bisa saja melakukan pelecehan seksual terhadap para bawahannya karena
tidak bisa memaksimalkan waktu luangnya untuk hal-hal produktif dan kreatif.
Ini juga merupakan ekses pendidikan ala kapitalis yang menomorsatukan
keuntungan, bukan kualitas output yang dihasilkan. Proses pendidikan yang
seharusnya digunakan untuk mengembangkan potensi manusia terdistorsi oleh
tujuan-tujuan kotor. Sekolah sebagai tempat transfusi ilmu pengetahum,
keterampilan dan nilai-nilai, justru digunakan sebagai tempat pamer kekayaan,
kecantikan, dll. Maka, pendidikan yang mengembangkan mental produktif dan
kreatif hanya menjadi mimpi belaka.
Selain
beberapa persoalan tersebut, yang tidak kalah urgentnya untuk diperbincangkan
adalah sekolah-sekolah profesi atau kejuruan yang menjamur dimana-mana. Mereka
menggembor-gemborkan racun, “selesai sekolah langsung kerja”. Kalau racun ini
dikonsumsi oleh masyarakat secara dangkal, esensinya mereka sudah termakan
janji-janji kapitalisme dan ini sangat berbahaya. Padahal kalau dianalisis
lebih dalam, bukankah sekolah-sekolah kejuruan itu hanya mencetak buruh yang
siap kerja? Artinya mental yang dibentuk oleh pendidikan ala kapitalisme itu
adalah mental buruh, mental robot yang tidak bisa bergerak leluasa, terkekang
oleh aturan dan intruksi. Akibatnya, generasi produktif, kreatif dan transformatif
yang dibutuhkan oleh masyarakat tidak akan pernah terbentuk.
Penindasan
golongan kapitalisme dalam pendidikan Indonesia begitu merajalela. Namun,
tampaknya masyarakat kurang menyadarinya. Buktinya saja orang tua banyak yang
menyekolahkan anaknya di sekolah kejuruan. Hal ini mengindikasikan bahwa mereka
bersekolah hanya untuk memperoleh pekerjaan, bukan untuk mengembangkan potensi,
memperoleh asupan ilmu, membentuk pribadi yang berkualitas melalui nilai-nilai
lokal maupun teologis. Ini artinya, mental-mental pekerja atau buruh terbentuk
melalui hegemoni kaum kapitalis. Perlu adanya pendidikan penyadaran terhadap
masyarakat, karena kalau gerakan kapitalisme dibiarkan, penindasan akan terjadi
secara terus menerus dan tak akan terbendung.
*) Penulis adalah Koordinator Biro Pengkaderan PMII Rayon Abdurrahman Wahid Komisariat Walisongo Semarang dan Anggota Departemen Sosial dan Politik BEM FITK Walisongo
0 Komentar