Di pagi yang berembun, di sebuah kolam yang dikelilingi oleh pepohonan, seorang pemuda mengagumi sebuah bayangan. Ia jatuh cinta. Ia mencintai bayangannya sendiri yang dalam air terlihat rupawan— seperti kita yang mudah mengagumi segala hal yang memilik rupa.

Pemuda itu bernama Narcissus. Ia lahir dalam mitologi Yunani kuno. Ayahnya bernama Cephissus, dewa sungai, dan ibunya adalah seorang peri dari Thespia, Liriope. Sejak kecil Narcissus telah diramalkan bakal menjelma sebagai seorang yang sangat rupawan.

“Karenanya ia tidak boleh melihat dirinya sendiri supaya tidak celaka” ucap seorang peramal buta, Tireseas.

Narcissus tumbuh dan kemudian beranjak dewasa. Ia segera menjadi pujaan seisi kota karena ketampanannya. Narcissus berkulit putih, berambut hitam sedikit ikal, dan memiliki tinggi tubuh yang membuatnya terlihat gagah. Banyak yang mencintainya, tidak terkecuali para lelaki dan para dewi.

Ameinias, seorang pemuda yang tergila-gila kepada Narcissus, ketika diberi pedang oleh Narcissus, seketika menghujamkan pedang ke jantungnya, sebagai bukti cinta kepada Narcissus— meskipun Narcissus tetap bergeming menolak.

Dalam kisah lain, seorang peri gunung yang jelita, nymph Echo, jatuh hati kepada Narcissus. Ia jatuh cinta kepada Narcissus ketika melihat Narcissus berjalan-jalan ke dalam hutan. Echo mengikuti setiap langkah Narcissus dibalik rimbun pohon dan bebatuan. Cinta Echo membuncah namun tak bisa ia utarakan.

Sebab nymph Echo pernah menerima kutuk dari dewi Hera, istri Zeus, bahwa ia tak bisa berkata-kata selain mengulang kalimat orang lain.

Di suatu sore yang teduh di hari yang lain, Ketika Narcissus kembali berjalan-jalan dalam hutan, ia mendengar suara ranting patah dibalik belukar. Ia bertanya, “siapa disana?” Namun Narcissus memperoleh jawaban yang sama, “siapa disana?”. Karena begitu yang dapat nymph Echo katakan— mengulang kalimat orang lain.

Pada abad-abad berikutnya, kita mengenal dan menyebut suara demikian sebagai echo (gema).
Namun seperti Ameinias, sudah kita duga, cinta Echo lalu ditolak oleh Narcissus. Echo patah hati— bernasib sama bagi siapapun yang menaruh hati kepada Narcissus. Dalam ratapan, suara Echo terdengar oleh dewi Artemis, dewi perburuan (versi lain menyebut dewi pembalasan, Nemesis). Dewi Artemis marah dan mengutuk Narcissus bahwa ia akan jatuh cinta. Bukan cinta kepada orang lain, namun pada bayangannya sendiri.

Narcissus yang gagah dan rupawan lalu mati dalam keadaan kurus dan muram.

Ia larut dalam perasaan cinta. Bukan pada bayangan yang ia sangka dirinya. Namun akibat mengagumi dirinya sendiri yang baru ia sadari ketampanannya setelah melihat air dalam telaga— kala itu belum ditemukan kaca. Ia tidak rela meninggalkan telaga. Hanya dengan demikian, ia dapat mengagumi dirinya sendiri terus menerus.

Kisah Narcissus ini, pemuda rupawan yang mati karena mengagumi diri sendiri, jika kita renungkan, kini telah menjadi bagian dari diri kita dewasa ini. Dimanapun dengan mudah kita bisa menjumpai Narcissus. Baik di ruang publik, taman hiburan, bandara, ruang kerja, kampus, dan terutama dalam media sosial.

Narcissus telah melintasi ruang dan waktu.

Karenanya, Ia bukan lagi milik satu profesi tertentu, jenis lapis masyarakat tertentu atau jenis kelamin tertentu sekalipun.

Tragedi Narcissus lahir dari perjumpaan Narcissus dengan air dalam telaga, Narcissus sadar bahwa ia rupawan dan kemudian mengaguminya. Kita, seperti Frued katakan, juga adalah seorang narsis— kata yang berakar dari Narcissus. Sebab dengan sadar kita juga gemar mengagumi diri sendiri sejak perjumpaan dengan kamera beresolusi tinggi.

Apalagi sejak kamera depan dipasang dalam ponsel.

Kita yang narsis ini, yang prakteknya gemar berfoto selfie atau groufie, dalam menggagumi diri sendiri sebetulnya tengah membangun ilusi. Foto terbaik bagi kita bukan hasil gambar yang mendekati realitas, namun hasil gambar yang mendekati satu imaji yang kita idealkan.

Sehingga foto yang menampilkan diri kita lebih putih atau menampilkan kita lebih kaya, sebab berfoto di atas mobil atau motor trail, kemudian akan kita tampilkan berkali-kali. Jadi menjadi narsis disini bukan lagi sekedar sedang mengagumi diri sendiri, namun tengah membangun citra yang hendak kita tampilkan ke publik.

Sehngga aku bukan lagi sebagai aku sebagaimana adanya namun sebagai aku yang sedang aku tampilkan.

Narsis sepertinya masih akan berlanjut dan dirayakan. Walau kita juga belum lupa, bahwa narsis awalnya adalah sebuah kutukan yang ditimpakan kepada Narcissus.

Oleh M. Risya Islami, seorang yang tak pernah selesai mengenali dirinya.