Belajarlah Politik Namun Jangan Jadi Politisi, Dek.
(sebersit kesaksian sejarah tentang lahirnya Pemilwa)
Oleh M. Risya Islami*
Dek, sudah mau pemilwa lagi ya?
Aku punya kisah tentang pemilu mahasiswa (pemilwa) yang
baru bergulir sejak tahun 2010 itu. Sini duduk, aku kasih kisahnya. Percayalah
ini bukan tentang kisah nabi-nabi palsu atau kisah aktivis gadungan yang bangga plesiran ke luar negeri itu. Ini lebih
dari keduanya.Aku ingin bertutur tentang sejarah. Supaya adek-adek paham bahwa
Pemilwa ini dalam sejarahnya bukan pemberian, namun ia hasil perebutan dari
birokrasi. Lha kok kini malah jadi
rebutan aktivis. Cih.
Masmu yang baik namun sering pelupa ini ingin membagi
sisa-sisa ingatan tentang itu. Mumpung dalam pikirannya masih ada nama-nama kalian
dan organisasi. Pemilwa yang digelar
pertama kali tahun 2010 itu, awalnya bernama musyawarah mahasiswa jurusan
(Musmaju). Jadi mekanisme pengusungan calon bukan berasal dari partai seperti sekarang ini namun berasal dari
jurusan (dan fakultas). Bisa diduga kan? Pemenang di Musmaju kala itu ya fakultas yang punya banyak mahasiswa. Sehingga sentimen fakultas waktu itu yang dominan
mempengaruhi.
Di kemudian
hari, sistem Musmaju yang gampang melahirkan sentimen fakultas ini dipikir tidak memiliki semangat progresif—kankita organisasi pergerakan bukan
himpunan. Lalu dicari formula baru. Formula yang mampu mengesampingkan
primordialisme fakultas dan utamanya dapat melahirkan aktivis-negarawan. Apalagi
kala itu Kampus baru gemar-gemarnya mengubah mahasiswa jadi apolitis. Semisal Passka
diganti Opak, tujuan kampus sederhana saja: agar mahasiswa tak banyak mengenal
organisasi mahasiswa dan fokus studi. Iya kan, mahasiswa yang kuliah saja tidak
bakal mengenal kritik dan relasi kuasa. Aman tuh birokrasi.
Agar mahasiswa tak terus-terusan dilelapkan begitu,
para pendahulu jadi resah. Merujuk kepada pengalaman sebelum lahirnya Musmaju,
bahwa IAIN (kini UIN) Walisongo pernah menggunakan sistem multipartai— pemilu raya (Pemira) di tahun 1998-2005. Sistem
ini ingin kembali dihidupkan. Ini
dipikir masih relevan digunakan juga, apalagi
kampus adalah miniatur negara. Tempat
belajar mahasiswa bagaimana mengelola good
governance dengan pola pikir idealis— Sesuatu yang sulit dilakukan kalau sudah
jadi politisi betulan. Kemudian
dirumuskan satu sistem yang kemudian kita kenal sebagai Pemilwa sekarang ini.
Jika mucul pertanyaan di benak kalian. Berarti waktu
itu mudah ya mengubah Musmaju ke Pemilwa? Ditengah kalian memperjuangkan Opak
dipegang oleh mahasiswa saja sudah seengos-engosan gitu.
Bisa jadi jawabannya tidak. Lagian pendahulu
dan kalian masih menghadapi rektor yang sama. Bedanya sedikit saja, kalau dulu
bernama IAIN dan kini berubah jadi UIN. Secara umum komposisi birokrasi pun masihsama.
Barangkali yang membedakan pendahulu dan kalian pun sedikit saja: Jika mereka
ingin belajar politik, kalau kalian ingin jadi politisi. Duh dek…
Saya ambil contoh saja agar kalian mengerti. Kala itu
adalah tahun 2009 dan ketua Dema dipegang oleh sahabat Sofyan Al-Nasr,
Mensospol sahabat Faqih Yahullah, Ketua MPMI (kini SMI) sahabat Ahmad Rifa’I,
dan ketua Komisariat sahabat Awalludin. Saya menyebut nama diatas sekedar sebagai
simpul saja diantara banyak nama progresif yang tidak mungkin saya sebut
satu-satu. Saya biasa mendengar diskusi dan rapat-rapat mereka, terutama rapat
pengurus Dema. Bukan karena saya suka nguping lo ya. Karena kebetulan saat masih mahasiswa semester awal saya suka
tirakat, salah satunya ya bertempat tinggal di Dema. Yah, agar update info
gitu. Huahaha:D
Waktu itu saya perhatikan betul keresahan para
pendahulu. Mereka kerap mempertanyakan konsep Musmaju yang tidak menunjukkan student government sama
sekali. Istilah saja banyak yang rancu ketika dikaitkan dengan kampus sebagai
miniatur negara. Sebut saja Dema yang waktu itu masih kependekan dari Dewan
Mahasiswa. Ini istilah eksekutif apa legislatif? Tanya mereka. Yang lalu dalam
undang-undang terbaru, mereka ubah menjadi Dewan
Eksekutif Mahasiswa. Begitu juga dengan Majelis Permusyawatan Mahasiswa
Institut (MPMI), kalo dalam sistem negara ini kan disebut dengan MPR. Berarti
ia bukan DPR,
padahal ia lembaga legislatif. Lalu
diubah juga menjadi Senat Mahasiswa Institut (SMI).
Dan ini bagian yang paling saya sukai. Agar
pemerintahan mahasiswa memiliki wibawa dan seperti pemerintahan betulan. Maka
untuk Dema dan BEMF tidak sudi dipanggil ketua. Namun dengan sebutan Presiden.
La kok sekarang saya denger-denger mau
dikembalikan lagi dengan sebutan ketua, dan nurut begitu saja lagi. Mana
wibawamu!
Setelah kegelisah dan keganjilan yang ditemui dalam
sistem Musmaju itu. Maka pendahulu meyepakati agar dilahirkan sebuah sistem
baru. Namun tidak mudah karena Musmaju memiliki dasar hukum yang tertuang dalam
SK Rektor No.6 tahun 2007. Tapi seperti tidak kehabisan akal. Pendahulu, kala
itu digawangi oleh sahabat Achwan Ahadi Ihsan dan Faqih Yahullah, kemudian
merumuskan legal drafting sebagai tandingan
SK Musmaju dan kemudian akan dilokakaryakan dengan rektorat. Saya masih ingat
betul bagaimana pendahulu kala itu merumuskan legal drafting. Di halaman YPMI (kini PP Al-Firdaus) mereka
membahas kata-perkata untuk dijadikan sebuah redaksi yang tepat. Jadi tidak
heran waktu itu sejak selesai waktu solat Isya’ mereka merumuskan sampai lewat
tengah malam dan itu dalam waktu seminggu penuh lho.
Tidak berhenti disitu saja. Selain mereka merumuskan legal drafting yang
kelak akan menjadi SK Rektor No.08 Tahun 2010 tentang Pedoman Organisasi
Mahasiswa (Ormawa), mereka juga merumuskan undang-undang Partai
Mahasiswa No.02 Tahun 2009
dan undang-undang tentang pemilu
mahasiswa (Pemilwa) No.01 tahun 2010. Kebayang kan
sibuk dan capeknya mereka seperti apa kala itu. Tapi entah darimana mereka
mendapatkan semangat yang sepertinya tak kenal lelah itu. Tapi Ini yang
membekas dikepala saya, sebagai anak ingusan waktu itu. Bahwa perjuangan tak
boleh kenal lelah. Apalagi kala itu pendahulu juga tak lupa mengajari kami tentang
pentingnya pendidikan politik.
Pendidikan politik digalakkan sebelum pembagian partai.
Karena waktu itu pembagian partai dilakukan gampang saja. Dengan dikumpulkan
dan ditunjuk untuk dibagi. Kamu PPM, dan kamu PMD ya. Begitu saja. Jadi sebetulnya yang paham dan pelaku
sejarah. Ia tidak akan terjebak dalam fanatisme partai, apalagi sentimen
fakultas yang sejak awal ditolak oleh konsep Pemilwa ini. Karena tujuan dilahirkan Pemilwa dengan
menggunakan sistem partai adalah bahwa semua berangkat dari organisasi gerakan
dan kembali untuk organisasi gerakan kita. Dan apalagi kala itu kita memiliki
banyak kader kompeten sehingga dibutuhkan ruang dialektis tersendiri agar dapat
dilakukan kontestasi. Lha sekarang, kader kompeten saja bisa dihitung dengan jari
dibanding ruang yang terbentang luas. Mbok
yo ojo royokan. Mending dilakukan distribusi kader ditengah masa transisi
begini.
Dan untuk pendidikan politik, kala itu
digencarkan sebagai bekal melaksanakan Pemilwa. Saya ingat bagaimana saya dan
angkatan saya diajari tentang trias politika yang mengacu pada pemikiran filusf
Prancis, Montesqieu. Bahwa kekuasaan tidak boleh terkonsentrasi pada satu
kekuasaan saja. Karena kekuasaan cenderung punya potensi menyimpang, dan
kekuasaan absolut pasti menyimpang. Begitu tegas Lord Acton. Sehingga seperti
pendapat Montesqieu bahwa harus terjadi pembagian kekuasaan. Kini kita kenal
pembagian kekuasaan itu sebagai trias politika. Kekuasan dibagi dalam tiga
wilayah, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dan setiap wilayah saling
mengkontrol satu sama lain. Ini dilaksanakan dalam pemerintahan mahasiswa minus
yudikatif. Dema sebagai representasi eksekutif dan SMI sebagai representasi
legislatif, dan begitu juga turunannya di level fakultas.
Jadi sudah jelas to, dek? Bahwa Pemilwa dilahirkan
bukan semata-mata agar kalian jadi politisi yang gemar nyusun strategi dan
deal-deal politik. Tapi pendahulu berharap kalian belajar politik sebagai seni
(istilah ini mengacus kepada Aristoteles yang melihat bahwa politik adalah seni
memerintah, bukan sekedar ilmu. Apalagi sekedar sebagai perburuan kekuasaan
[politik praktis]).Saya percaya maksud pendahulu itu visioner dibanding sekedar
melayani syahwat politik kalian yang kegedean sekarang
ini. Yang dalam perjalanannya direduksi sekedar berburu kuasa rutinan tanpa
berpikir bahwa pendidikan politik itu penting dan bahwa Pemilwa hanya instrumen
dari kepentingan lebih besar, yaitu sebagai penyambung lidah gerakan dalam
kampus. Lha sekarang hasil dari Pemilwa kok malah cenderung melahirkan tokohyang kontra-gerakan.
Lah loh?
Tanya kenapa? Karena sejak dalam pikiran kalian sudah keliru.
Jadi mahasiswa kok inginnya jadi politisi, dan bukan belajar politik saja. Cih!
*M. Risya Islami,
aktivis yang pernah mogok makan ditengah kalian sibuk menghadiri seminar.
0 Komentar