PMII sebagai salah satu organisasi mahasiswa ekstra kampus dengan jumlah anggota yang banyak, tentu memiliki berbagai persoalan yang beragam. Mulai dari problem yang berkaitan dengan internal organisasi, arah gerakan organisasi sampai problem kaderisasi yang menjadi poin penting dalam setiap organisasi. Selama ini masalah kaderisasi adalah masalah serius yang selalu dibahas tanpa menemukan titik temu yang dimufakati.
Pembahasan yang berbusa-busa terkait problematika kaderisasi semakin memudar bersamaan dengan solusinya seiring banyaknya perbincangan di warung kopi, forum diskusi dan workshop kaderisasi. Setiap akhir periode sebuah kepengurusan hampir selalu ada perdebatan tentang keberhasilan atau kegagalan kaderisasi yang diusung dalam satu periode kepengurusan. Bahkan pada periode kepengurusan sahabat Khoirul Hanis sempat diadakan workshop kaderisasi yang mengundang beberapa senior untuk hadir dan urun rembuk atas persoalan kaderisasi di PMII Gusdur.
Penulis berasumsi bahwa upaya perdebatan dan penyusunan konsep kaderisasi di PMII Abdurrahman Wahid (baca: PMII Gusdur) bersifat spekulatif. Artinya, pemaparan, analisis, dan penyelesaian permasalahan kaderisasi tidak berdasarkan pada data dan fakta yang bisa diverifikasi kebenarannya. Disinilah penulis mencoba mengelaborasi paradigma positivisme dalam menyusun konsep kaderisasi di PMII Gusdur.
Positivisme yang disebarluaskan oleh August comte, seorang filsuf dari perancis, disadari atau tidak menjadi aliran filsafat yang cukup berpengaruh sampai abad ke-21 ini. Lahir dalam masa pencerahan barat, aliran ini melanjutkan serta mengafirmasi apa yang diusung empirisme bahwa hakikat dan sumber pengetahuan adalah realitas yang bisa dikonfirmasi secara empiris.
Istilah positivisme berasal dari kata positif yang menurut August Comte berarti sesuatu yang mengandung unsur fakta real atau nyata. Paradigma positivisme August Comte yang melahirkan ilmu tentang masyarakat (sosiologi) atau Fisika Sosial mengadopsi ilmu-ilmu alam (sains) dalam memahami masyarakat. Obyek-obyek sains yang bersifat tetap dijadikan metode dalam memahami masyarakat.
Fakta-fakta empirik adalah komponen penting dalam memperoleh sebuah pengetahuan. Bagi Positivisme, pengetahuan manusia tidak diperbolehkan melampaui fakta empirik. Lain dengan Rasionalisme Rene Descartes yang menggunakan logika berpikir deduktif, Positivisme menggunakan logika berfikir induktif dalam mencari dan menemukan sebuah kebenaran. Data dan fakta menjadi hal yang mutlak dibutuhkan dalam memperoleh pengetahuan.
Taruhlah semisal dalam pola kaderisasi di PMII kita mengenal tiga tahap kaderisasi yang harus ditempuh kader, yakni produksi, distribusi, dan kontestasi. Dari ketiga tahap tersebut, rayon adalah fase awal dari tahap produksi. Level rayon adalah level permulaan proses pembentukan kader dan ini adalah fase yang paling penting. Bagaimana kader diarahkan dan dibentuk untuk melanjutkan ke tahap setelahnya. Lantas bagaimana jadinya, jika sebuah mesin produksi kader tidak memiliki tujuan dan mekanisme yang jelas dalam mencetak produk kaderisasi.
Paradigma positivisme bisa digunakan sebagai basis penyusunan konsep kaderisasi PMII khususnya di rayon Abdurrahman Wahid. Penyusunan berdasarkan data dan fakta empirik yang menunjang dalam pembuatan konsep kaderisasi, sehingga dapat membuat fondasi bangunan sistem kaderisasi yang kokoh secara teoritik dan kontekstual. Pola, strategi, pelaksanaan, tujuan, serta indikator keberhasilan kaderisasi tidak bisa dilepaskan dari fakta dan realitas dimana kader beredar.
Paling tidak, paradigma positivisme bisa dijadikan basis penyusunan konsep kaderisasi di PMII Gusdur. Mulai dari bagaimana pola recruitment, strategi pembentukan kualitas kader, dan standar produk kaderisasi yang hendak dicapai. Semuanya membutuhkan proses penemuan data dan fakta empirik yang bisa dikonfirmasi secara ilmiah. Cara berfikir positivisme berfungsi sebagai alat yang menjelaskan tentang realitas masyarakat kampus yang harus difahami dan dijadikan bahan mentah dalam menyusun konsep kaderisasi.
Contoh kongkrit yang bisa kita lihat dari digunakannya paradigma positivisme adalah ketika menyusun sebuah indikator keberhasilan produk kaderisasi –minimal dalam satu sampai tiga periode kepengurusan- PMII Gusdur. Seharusnya, kita tidak bisa menyusun sebuah indikator keberhasilan kaderisasi tanpa adanya dukungan fakta-fakta empirik yang berserakan. Mustahil jika kita hendak membangun sebuah rumah tanpa mengerti bahan, kondisi tempat dan modal yang kita butuhkan. Hal ini sama dengan mengadakan perlombaan pacu kuda di sebuah desa miskin dan terpencil namun tidak mengetahui fakta bahwa masyarakat desa tak memiliki kuda.
Aneh jika kita hendak merumuskan standar keberhasilan kaderisasi tanpa menggali fakta tentang latar belakang kader, kebutuhan akademik, serta iklim ilmiah dan gerakan di kampus atau jangan-jangan kita sama sekali tidak memiliki rencana apapun dalam mensistematisir mesin produksi kaderisasi. Tulisan ini adalah sebuah otokritik bagi kita semua. Semoga mampu menjadi pemantik serta menarik diskusi tentang konsep kaderisasi yang dianggap melangit di atas awan untuk tetap membumi bersama realitas kekinian dan kedisinian. Wallahu a’lam bis shawab.

Oleh: Ahmad Umam Aufi, S.Pd.I.