Doc. Internet



“Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia" –Soekarno

Rasanya menjadi lebih asyik bilamana saya boleh menyitir kembali kutipan diatas dalam membincang tipologi kaum muda era sekarang. Yakni sebuah obrolan mendasar terkini tentang mandulnya pemuda, gerakan, dan perubahan. Rentetan sejarah dunia pernah mencatat, dimana gerakan-gerakan perubahan baik dalam ranah sosial maupun budaya tidak akan pernah lepas dari peran seorang pemuda. Sebut saja para tokoh sekaliber Che Guevara yang menjadi pemimpin revolusioner di usia muda. Kemudian ada juga Tan Malaka yang mulai aktif di dunia pergerakan saat usianya menginjak 16 tahun, atau Soetomo dkk yang mendirikan Boedi Oetomo saat berusia 20-25 tahun. Begitupun masih sama setelahnya yang terjadi dengan Wikana, Chaerul Saleh, dan Soekarni muda ketika memaksa Bung karno untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.
Sebuah perubahan tentu tidak akan tercipta dengan sendirinya melalui ruang kosong tanpa alasan. Karena segala hal pada umumnya pasti akan membutuhkan sebab dan prosesnya masing-masing, bahwa geliat perubahan bukanlah suatu keadaan yang diperoleh secara reaksioner serta instan. Keadaan semacam ini seharusnya penting difahami generasi muda dalam membangun kesadaran kritis tentang kondisi diri maupun keadaan masyarakat disekitar. Selain itu, perlu merenungi secara mendalam setiap fenomena-fenomena yang ada. Sehingga, dapat tergugah jiwanya untuk melakukan suatu gerak perubahan yang lebih berarti bagi lingkungan hidupnya.
Namun disayangkan, kondisi nyata banyak pemuda dalam rentan waktu hari ini tidak merefleksikan keadaan sedemikian rupa. Para anak muda yang selalu digadang menjadi agent of change dan problem solver bangsa, justru bertolak belakang dengan menjadi sisi lain dari problem maker bangsa. Bahkan sebagian besar lain dari mereka juga telah melenggang wujud menjadi sekelompok apatis pemuja hedonisme. Sisanya, hanya sedikit yang tergolong generasi sadar dalam menginisiasi satu gerak perubahan.   
  Kaum muda sekarang tentu lebih senang hati berias diri dengan gincu, ketimbang harus menghabiskan waktunya dengan membaca buku. Tentu juga lebih menyenangkan bagi mereka jika bisa ngerumpi sembari berselfie, daripada harus meramaikan ruang-ruang diskusi. Alih-alih sampai harus dituntut melakukan perenungan tentang berbagai fenomena sosial, mereka pasti tidak akan sempat memiliki waktu seperti itu. Jika dunia mereka saja telah beralih masuk dalam genggaman masing-masing gadgetnya. Alhasil, praktis bisa dipastikan kita hanya akan mampu melahirkan generasi tukang ngelindur, pragmatis, dan tidak tahu apa-apa atau minim kesadaran.
Maka, penting kiranya kita tarik kesimpulan bersama mengenai kasus ini. Jika peran pemuda sebagai ujung tombak peradaban senantiasa perlu diasah serta dipersiapkan secara matang, guna mengisi pos masing-masing disetiap medan perjuangan. Kaum muda juga harus siap berdiri tegap menjadi generasi pembeda yang kuat mengemban amanat progress melampaui semangat para pendahulunya. Hingga pada akhirnya, dapat terpatri mental tank dibenak masing-masing mereka agar tidak mudah loyo terhadap proses maupun bahaya yang datang merongrong.  

Selain itu, semangat restorasi dalam menciptakan kesadaran bersama merupakan satu-satunya jalan keselamatan yang saat ini bisa ditempuh sebelum mencapai kata terlambat. Pikiran kita perlu segera direfresh ulang dari segala orientasi tentang materi, hedonisme, maupun kenyamanan-kenyamanan yang justru semakin membuat tumpul serta mengkerdilkan pola fikir gerakan kita. Kaum muda pergerakan harus mulai mampu bangkit mengkondisikan diri menjadi garda depan dalam melek intelektual dan keadaan sosial. Agar nantinya, tidak buta arah serta faham perihal apa yang wajib dilakukan demi kebaikan bangsa dan tanah air. 

Oleh: Syifaul Qolbi Ahada
*Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam semester 5 dan Direktur Lembaga Kajian dan Penerbitan (LKaP) PMII Rayon Abdurrahman Wahid