Dok. LKaP'17

Sisi Lain Tan Malaka: Baca, Tulis & Lawan!
  
“Ingatlah! Bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras dari pada diatas bumi”
~Tan Malaka~

Sutan Datuk Ibrahim alias Tan Malaka (selanjutnya disebut Tan), belakangan ini namanya muncul kembali dalam perbincangan masyarakat Indonesia. Maklum, semenjak SK Presiden No. 53 tahun 1963 terkait gelar kepahlawananya yang diberikan oleh Presiden Soekarno, telah dicabut oleh rezim orde baru pimpinan Soeharto, nyaris catatan sejarah pergerakan bangsa Indonesia sama sekali tak menyentuh namanya. Bahkan hal-hal yang sekiranya berbau Tan sengaja disembunyikan dan cenderung dimusnahkan, termasuk juga karya-karya tulisanya. Lalu apa yang membuat Tan masih saja bisa eksis ditengah-tengah masyarakat Indonesia hingga hari ini?

Tidak lain, karena hasil dari jerih perjuangan tanpa pamrih dan buah dari magnum oppus pemikiranya. Bangsa ini pun tak bisa menafikan soal kecerdasan Tan. Ia merupakan orang Indonesia pertama yang berbicara mengenai gagasan tentang konsepsi republik Indonesia yang ia tuliskan menjadi buku “Naar de Republik Indon esia” pada tahun 1925. Inilah yang kemudian menginspirasi tokoh-tokoh macam Bung Karno, Bung Hatta dan Sjahrir dalam membangun tatanan kenegaraan Indonesia setelah proklamasi 1945.

Selain buku Naar de Republik Indonesia, ada juga Matrealisme, Dialektika, dan Logika (Madilog) yang menurut majalah TEMPO menjadi salah satu buku yang berpengaruh dan berkonstribusi besar terhadap gagasan kebangsaan. Buku ini merupakan hasil dari kegelisahan Tan melihat kondisi masyarakat Indonesia saat itu, yang dirasa masih terbelakang dalam hal ilmu dan pengetahuan.

Bagi Tan, meski kekuatan proletar mesin dan tanah di Indonesia dirasa sudah cukup kuat untuk melawan imprealisme Belanda. Tetapi bekal pendidikan bagi kesadaran diri dalam perjuangan kelas yang didapatkanya masih kurang untuk memahami persoalan dunia (Weltanschauung) (Madilog:17). Mendasari hal ini, Tan kemudian berinisiatif menyusun Madilog sebagai stimulus cara berpikir dan asupan pengetahuan bagi bangsa Indonesia sebagai bekal mendapatkan kemerdekaan yang sesungguhnya (Merdeka 100%).

Dua buku monumental tersebut menjadi bukti kuat untuk menggambarkan hidup Tan sebagai sosok yang akrab dengan dunia baca dan tulis.  Maka tak mengherankan jika karya-karya tulisannya kaya akan pustaka. ketika membaca karya-karya Tan, kita dibuat kagum bagaimana Tan mampu menghadirkan pemikiran tokoh-tokoh dunia seperti Karl Marx, Antonio Gramsci, Mahatma Gandhi dan masih banyak lainnya menjadi lebih sederhana untuk bisa dipahami.

Bahkan kecerdasan Tan dipelbagai bukunya, ia tunjukan melalui kemampuannya dalam memberikan ulasan dan analisa tentang kondisi atau situasi Internasional yang sedang terjadi saat itu. Kemudian menjadi pijakan dalam menyusun butir-butir isi yang akan dibuat agar sesuai dengan kebutuhan perjuangan rakyat Indonesia.

Jelas ini merupakan strategi Tan, agar pembaca saat itu yang notabene adalah pejuang Indonesia mampu mengambil langkah strategis untuk arah perjuangan Indonesia dan tentunya agar mereka juga bisa update perihal gerakan revolusi di luar Indonesia. Tan tahu betul bahwa situasi koloni di dalam negeri membuat segala hal yang berbau subversif mendapat pengamanan ketat. Ini yang menjadi keprihatinan Tan selama dalam pelarian dan pengasingan.

Buku: Kawan Pengembaraan

Saat berada di Tiongkok pada tahun 1925 Tan menulis Naar de Republik Indonesia. Bulan Januari 1926 ia menulis Semangat Muda di Tokyo (Jepang). Pada tahun yang sama pula (1926) di Singapura menuliskan Aksi Massa. Gambaran karya-karya Tan tersebut, mewakili bagaimana kisah hidupnya yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain, satu negara ke negara lain bahkan satu benua ke benua lain. Dianggap sebagai orang yang berbahaya bagi pemerintah kolonial Belanda dan Jepang hingga organisasi yang ia naungi yaitu komunis internasional.

Dalam kondisi demikian, tentu membuat Tan jauh dari orang-orang yang ia cintai dan kenali. Jauh dari keluarga, sanak saudara dan kawan-kawannya selama pelarian membuat Tan sebagai pribadi yang kesepian. Sebagai pelampiasannya Tan kemudian memilih pustaka buku sebagai sahabat pengembaraannya. Memilih buku sebagai sahabat, sudah pasti ada alasan tersendiri bagi Tan. Baginya, seseorang yang hidup dengan pikiran yang mesti disebarkan, baik dengan pena maupun dengan mulut, perlulah pustaka yang cukup. Ia mengibaratkan pentingnya pustaka, seperti halnya semen dan batu tembok untuk membangun gedung (Madilog: 18).

Sebegitu penting pustaka buku bagi Tan, sekalipun ia sering mendapat cobaan yang membuatnya kecewa, karena buku pustakanya hilang dan dirampas paksa oleh Lalilong (tukang copet) sehingga ia tak bisa dibawa dan disimpanya lama-lama. Misalnya saja, ketika di Tiongkok ia harus merelakan pustaka bukunya dijarah habis tanpa sisa oleh dai Nippon (tentara Jepang). Tak hanya itu, di Singapura untuk melindungi bukunya, sampai-sampai ia menyembunyikan buku Das Capital-nya Karl Marx yang dipinjam dari  “Raffles Library” di sebuah empang milik seorang warga bernama Tan Kin Can.

Bukanlah Tan Malaka, jika ia menyerah dan putus asa begitu saja. Maksud baik untuk memberikan asupan pengetahuan sebagai pedoman buat perjuangan bangsa Indonesia melalui karya catatannya, membuatnya semakin bertekad untuk memperkaya daftar pustaka yang ia miliki. Tan bilang “Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi” (Madilog: 20). Saking cintanya Tan akan pengetahuan, ia ciptakan metode khusus agar tak kehilangan maksud atau isi dari buku-buku pustakanya. Metode itu ia namai “Jembatan Keledai sebuah perkataan yang bukan perkataan, begitu Tan menyebutnya. Biasanya cara ini digunakan untuk meringkas dan menangkap suatu pengetahuan dengan pengistilahan tertentu.

Tan menyontohkan untuk menjawab persoalan kekuatan sebuah negara dalam perang , ia cukup menggunakan istilah “AFIAGUMMI”. huruf A pertama maksudnya ialah Armament artinya, kekuatan udara, darat dan laut. sedang huruf F merujuk pada Finance atau keuangan (Madilog:24). Tan menganggap jembatan keledai penting untuk pelajar sekolah dan penting lagi untuk seorang pemberontak pelarian seperti dirinya. Sayang, hingga akhir hayatnya ia belum menuntaskan niatnya untuk menulis tentang Jembatan Keledai.

Madilog, Naar de Republik, Aksi Massa, Semangat Muda, SI Semarang and Onderwijs dan buku-buku Tan lainnya yang hari ini bisa kita baca, menjadi saksi bagaimana Tan memposisikan pustaka buku bagi dirinya dan bangsanya. Sekalipun karyanya menginspirasi tokoh-tokoh pergerakan dan disebut sebagai buku yang berpengaruh untuk kemerdekaan Indonesia, Tan tak jumawa, tak sombong dan ia masih rendah hati. Baginya seorang pahlawan sejati ialah mereka yang siap menghadapi ketidakpopuleran, sekalipun dihadapan bangsa yang diperjuangkanya.

*Penulis adalah Dedy Apriliant,  
 Direktur Lembaga Kajian dan Penerbitan 
(LKaP) PMII Abdurrahman Wahid 2017-2018