ANTARA TANGGUNGJAWAB DAN CINTA;
Ilustrasi dari kepanikan epistemologis “yang diketahui” dan “yang dirasakan”
Pertarungan terberat dalam hidup adalah antara apa “yang diketahui” dan apa “yang dirasakan”. Kenapa ada kata-kata yang demikian? Pertama, “yang diketahui” adalah pranala luar yang eksis diluar diri kita yang kemungkinan orang lain juga sama-sama mengetahuinya, bisa mengukurnya, dan bisa juga dijadikan rujukan oleh semua orang.
Sedangkan “yang dirasakan” adalah sesuatu yang eksis secara intim yang ada di dalam sanubari kita masing-masing, yang hanya akan dirasakan oleh masing-masing orang dengan sedikit kemungkinan persamaannya. Setiap orang bisa jadi sama-sama tahu tentang suatu hal, tapi pasti akan punya kesan yang berbeda. “yang dirasakan” jauh lebih subjektif dari hanya sekedar perspektif atau sudut pandang semata. “yang dirasakan” akan tertanam kuat di alam bawah sadar manusia dan menjelma menjadi karakter dan cara bersikap seseorang terhadap kenyataan yang dia rasakan. Ini berkaitan dengan perjalanan hidup masing-masing orang.
Kehidupan yang dijalani manusia (atau makhluk hidup manapun) sejatinya lebih berbasis “yang dirasakan”. “Yang diketahui” hanya menjadi bagian tipis yang selalu ditampakkan sebagai tameng saja. Segala argumentasi yang keluar dari diri manusia seyogyanya hanya pembenar dari “yang dirasakan” olehnya. Seilmiah apapun, seargumentatif apapun, seakurat apapun data dan tetek bengek objektifitas yang ditampilkan tidak lebih hanya sebagai tameng.
Yang menjadi rumit adalah, ketika seseorang memaksakan “yang diketahui” agar menjadi pemakluman apa “yang dirasakan” padahal tidak berkesusaian karena alasan-alasan tertentu. Banyak manusia tidak sadar dengan “yang dirasakan” dalam dirinya sendiri. Manusia-manusia ini kerap bimbang menentukan langkah, dan apabila mengalami tekanan besar, dalam kebimbangan mereka akan bersikap seolah-olah benar. Padahal terlihat jelas keterbatasan yang ada pada diri mereka. Ketidak mampuan seseorang menyeimbangkan “yang diketahui” dan “yang dirasakan” kerap kali mendatangkan keburukan. Bentuk keburukan itu bisa berupa keganjilan antara ucapan dan tindakan, perilaku korup, inkonsistensi dalam melakukan pekerjaan, dan kesulitan menyelesaikan apa yang sudah dimulai, serta banyak hal lain yang ganjil.
Di sini kita tidak bicara soal materi atau rezeki. Karena materi dan rezeki adalah suatu hal yang ada di luar diri. Kehadiran materi dan rezeki lebih disebabkan interaksi yang berbasis kebutuhan hidup antar manusia. Sama sekali tidak berhubungan dengan “yang diketahui” dan yang dirasakan”.
Kita lebih berbicara watak seseorang. Watak yang tidak bisa eksis di permukaan. Watak yang hanya terlihat dari intensitas ketika kita merasakannya. Memang sulit menjelaskan pertentangan antara “yang diketahui” dan “yang dirasakan”, tapi saya harap kita semua bisa memahami secara intrinsic maksud perbandingan ini.
Saya ingin membuat satu ilustrasi sederhana, soal Cinta dan tanggungjawab. Semoga bisa menjelaskan rangkaian rumit dari pemaparan di atas.
Cinta, hampir semua orang bersepakat bahwa terminology “cinta” sulit didefinisikan. Apa itu arti cinta? Sulit dijawab. Bahkan setiap orang sering memaksakan jawaban mereka masing-masing sesuai keinginan mereka sendiri. “Cinta” hanya bisa dirasakan, terminologi ini sulit untuk diobjektifikasikan. Cinta satu orang dengan orang lainnya sangat berbeda bentuknya. Ada beberapa jenis cinta, diantaranya; asmara, nasionalisme, fanatisme, ideology, fasis, chauvinis, dll. Sekalipun cinta yang dirasakan manusia sama jenisnya, asmara misalkan, tapi pasti akan beda rasanya, kadarnya, ketepatan dan jangkauan waktunya, kesannya, pesonanya, ketajamannya, dll. Semua berbeda. Keberbedaan bentuk rasa inilah yang menentukan konsistensi cinta itu. Tapi rasa cinta sulit diukur karena tidak eksis secara indrawi atau secara rohani. Berdasarkan problem inilah muncul istilah “cinta itu buta”.
Berbeda dengan “tanggungjawab”. Hal ini bisa dirasakan, bisa diikat, komitmen jelas, terukur, bahkan bisa dibatasi oleh ruang dan waktu. Tanggungjawab rakyat kepada negaranya semisal, bisa diatur dalam konstitusi. Tapi soal cinta seorang rakyat kepada negaranya, apakah bisa tertulis dalam konstitusi?
Hubungan suami-istri, bisa dicatat melalui catatan sipil, surat nikah, dan kementerian agama. Suami diwajibkan mengucapkan sumpah untuk menafkahi istri di depan penghulu (sebagai wakil agama dan negara dalam proses pernikahan). Tapi cinta seorang suami terhadap istri atau sebaliknya, siapa yang bisa mencatat? Negara? Atau agama? Jelas bukan.
Dari sini saya kira sudah terjelaskan kenapa “cinta” tidak terbatas ruang dan waktu. Termasuk kita juga bisa memahami kenapa ada banyak orang yang setia dengan cintanya tapi tak bisa berkomitmen/setia/tanggungjawab dengan pasangannya. Karena “cinta” dan “tanggungjawab” adalah dua hal yang berbeda.
“tanggungjawab” adalah ilustrasi dari “yang diketahui”, sedangkan “cinta” adalah ilustrasi dari “yang dirasakan”. Keduanya seringali tak berjalan beriringan. Maka pesan saya, biarlah “cinta” menjadi cinta dan “tanggungjawab” menjadi tanggungjawab, tak perlu memaksakan “cinta” menjadi “tanggungjawab”.
0 Komentar