Doc.  Internet


Islam seperti air. Air bila ia masuk ke dalam gelas, ia akan berbentuk gelas. Bila ia masuk ke dalam teko, ia akan berbentuk teko. Begitu pula Islam. Ia akan menyesuaikan terhadap budaya dimana ia singgah. Islam tidak seperti balok padat yang tetap menjadi balok walau ditaruh di manapun.

Islam Nusantara adalah Islam yang khas ala Indonesia, gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan adat istiadat di Tanah Air. Karakter Islam Nusantara menunjukkan adanya kearifan lokal di Nusantara yang tidak melanggar ajaran Islam, namun justru menyinergikan ajaran Islam dengan adat istiadat lokal yang banyak tersebar di wilayah Indonesia.

Kehadiran Islam tidak untuk merusak atau menantang tradisi yang ada. Sebaliknya, Islam datang untuk mempetkaya dan mengislamkan tradisi dan budaya yang ada secara tadriji(bertahap). Bisa jadi butuh waktu puluhan tahun atau beberapa generasi.

Prinsip yang dipegang Islam Nusantara adalah prinsip al-muhafadhoh alal qadimis shalih wal akhdzu bil jadid al ashlah, menjaga kesalehan yang dahulu dan mengambil hal baru yang lebih baik. Oleh karena itu, Islam Nusantara tidak menjadi kaku dan tetap mempunya ciri khas. Islam Nusantara tercermin dalam kehidupan di pondok pesantren, sebagai markas sesungguhnya Nahdlatul Ulama.

Jadi sudah seharusnya Islam menjadi air yang ketika ia menempati Nusantara, ia akan berbentuk sesuai wadahnya. Islam tidak boleh dipaksakan harus sesuai dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang zaman dahulu, pada masa Rasul atau setelahnya. Karena Islam itu salih li kulli zaman wa makan, patut di segala waktu dan tempat.

Berasal langsung Ajaran Islam yang kita kenal, tentu saja berasal dari para ulama Nusantara, bukan dari contoh hidup Nabi Muhammad. Keluarga kita yang muslim, memperkenalkan ajaran-ajaran Islam kepada kita semenjak dini, terutama terkait dengan tatakrama, adab berkomunikasi dan bersosialisasi, yang keseluruhannya melekat dalam tradisi Islam Nusantara. Bukankah kita mengenal dalil-dalil keagamaan dari para ulama? Imam Bukhari yang seringkali periwayatannya kita jadikan sandaran keagamaan adalah ulama hadis yang memiliki kesinambungan (thabaqat) keilmuan dengan Abu Hanifah dan bahkan Imam Syafi'i?

Kita tentu harus menyadari dan berterima kasih kepada para ulama yang menyebarkan nilai-nilai keislaman "rahmatan lil 'alamin" sebagaimana yang dipraktekkan Nabi Muhammad. Kita terlalu jauh dengan generasi Nabi, para sahabatnya, tabi'in atau tabi'ittabi'in, bahkan dengan para ulama setelahnya-pun rasa-rasanya kita terpaut sangat jauh.

Agak terharu rasanya jika ada yang berasumsi bahwa Islam Nusantara itu mengada-ada, karena Islam itu hanya ada dalam konsep besar "rahmatan lil 'alamin", yang berkonotasi tak ada Islam Arab dan bukan Arab (a'jamiyun). Padahal, makna kalimat "rahmatan lil'alamin" tentu saja bukan menafikan keberadaan umat-umat terdahulu, atau menggerus nilai-nilai tradisi atau budaya yang berkembang di masyarakat.
Jadi, konsep "rahmatan lil 'alamin" justru seringkali disalahpahami sebagai bentuk keyakinan Islam yang universal menurut klaimnya tersendiri, dimana Islam itu identik dengan Arab dan sebaliknya. Jika Islam sanggup menebarkan rahmat dan kasih sayang, maka corak Islam Nusantara yang belakangan diperdebatkan, justru sukses menebar kedamaian dan kasih sayang melalui akulturasi budaya tanpa ada pertentangan sedikitpun. Bukankah itu yang dimaksud dengan diutusnya Nabi Muhammad? Memberi nuansa kasih sayang terhadap seluruh umat manusia melalui ajaran-ajaran Islam yang disebarkannya? Itulah kenapa para ulama disebut sebagai pewaris para nabi, karena mereka benar-benar memahami kondisi dan situasi sosial yang dihadapinya, termasuk ketika mereka menancapkan akar keislaman di kepulauan Nusantara.

Salah satu dari Masterpiece Islam Nusantara adalah tegaknya NKRI dan Pancasila. Dalam pandangan Islam Nusantara, Indonesia adalah dar Islam (daerah Islam) yang saat ini dalam status dar sulh (daerah damai) dan Pancasila merupakan intisari dari ajaran Islam Ahlusunnah wal Jamaah.
Karena mempertahankan NKRI dan mengamalkan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat Islam.

Pancasila merupakan pengejawantahan dari Islam Nusantara, karena itu nilai-nilai Pancasila harus terus ditegakkan, apalagi saat ini telah terjadi liberisasi sistem politik dan ekonomi serta budaya, sehingga keberadaan Pancasila menjadi samar-samar.

Perlu ditegaskan di sini bahwa Islam Nusantara tidaklah anti Arab, akan tetapi untuk melindungi Islam dari Arabisasi dengan memahaminya secara kontekstual. Islam Nusantara tetaplah berpijak pada akidah tauhid sebagaimana esensi ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad.

Arabisasi bukanlah esensi ajaran Islam. Karenanya, kehadiran karakteristik Islam Nusantara bukanlah respon dari upaya Arabisasi atau percampuran budaya arab dengan ajaran Islam, akan tetapi menegaskan pentingnya sebuah keselarasan dan kontekstualisasi terhadap budaya lokal sepanjang tidak melanggar esensi ajaran Islam. Tentu saja Islam Nusantara tidak seekstrim apa yang terjadi di Turki era Mustafa Kemal Attaturk yang pernah mengumandakan adzan dengan bahasa Turki.

Oleh karena itu, memahami Islam Nusantara tidak berhenti pada tanah keilmuan saja akan tetapi apa yang termanifestasi bagi kemaslahatan ummat. Artikel ini ber upaya mengintegrasikan antara hubungan intelektual dan spiritual, antara sejarah pernikiran sekaligus sosial. Dalam konteks ini, penting mengungkap jalut sanad dan jejaring keilmuan Islam Nusantara untuk mengkoneksikan dan mengkontruksi narasi yang utuh.

Ditulis oleh Abdullah Muttaqin ( Rayon Syariah dan Hukum,  UNISNU Jepara)