Doc. Internet


Pada akhirnya, hujan penghujung bulan ini membasahi gersangnya bibir pantai yang jauh disana. Namun, hingga kini kisah boneka malang masih belum berakhir, mereka adalah boneka hidup yang terbentuk dari cerita lucu kisah klasik. Terkesan malang alur cerita yang mereka lampui, sehingga tampak suram dan seperti sampah bagi orang-orang yang melihat dirinya.

Mereka beranggapan bahwa cerita itu layaknya sebuah dongeng yang di perankan oleh seorang dewa dan dewi. Namun, untuk kali ini cerita itu tak seperti kisah dongeng-dongeng yang berkesan romantis, namun cerita ini layaknya boneka dengan pemiliknya. Boneka ini adalah boneka yang lengkap akan rasa dan fikiran. Mereka hanya mampu menjalankan tuntutan tanpa bisa menuntut dan meminta, mereka hanya mampu berjalan lurus tanpa ada arahan sedikitpun. Karena kisah yang dijalani  seperti hanyalah sebuah boneka malang.

Cerita yang akan di jalani sudah dapat dipastikan bahwa terdapat teka-teki yang menjadi tanda tanya dibalik itu semua. Dan tak lupa, dengan dikawal ketat oleh barisan kata yang akan menjadi suatu kesatuan dari lelucon klasik. Pembelokan sejarah seakan menjadi sebuah tuntutan, sedangkan teori  kelihain kebohongan merupakan tuntunan setiap insan. Perbudakan telah menguasai setiap sudut ruang lingkup ini. Boneka-boneka hidup telah bertebaran dimana-mana. Apa ini yang dinamakan konsep kemanusiaan?

Sejarah pernah berkata, bahwasannya kehidupan akan berasa hidup jikalau semua variable kehidupan berjalan sesuai dengan garisnya. Namun sungguh tragis akan semua itu, karena yang ada hanyalah menjadi sebuah teori belaka tanpa adanya catatan sejarah yang mendukungknya. Entahlah, apa memang aku saja yang terlalu buta dalam membaca sejarah itu atau memang keadaan yang berbeda dengan cerita itu. Banyak orang yang menyuarakan bahwa, memanusiakan manusia adalah tujuan dari manusia. Tapi apa buktinya? Tak sedikit dari manusia tak bersalah menjadi boneka hidup yang sungguh tak layak untuk diceritakan.

Sampai suatu hari, aku berjalan tanpa tau arah. Aku tak mengerti harus kemana kaki ini melangkah dan sampai mana kaki ini akan berhenti. Sehingga pada suatu saat aku berhenti dalam sebuah jalan setapak yang hanya diterangi oleh bintang-bintang bersama senyuman memikat dari sang rembulan.

Tampak seorang pria berjalan kearahku. Dengan selembar kertas yang berada pada genggamannya, ia mengatakan,“Ingat nak! Konsep kemanusiaan adalah sebuah konsep saling mengasihi dan mengayomi kepada sesama manusia, tanpa pandang bulu serta tidak menganggap manusia lain rendah” sebelum kubalas sepatah katapun, beliau berbisik kepadaku.”Baca coretan-coretan pena yang digoreskan oleh pendahulumu ini,”ungkapnya dengan suara lembut lalu beranjak meninggalkanku.

Di bawah selimut kedamaian palsu
apa gunanya ilmu,kalau hanya untuk mengibuli
apa guna baca buku, 
kalau mulut kau bungkam melulu
di mana-mana moncong senjata, berdiri gagah
kongkalikong, dengan kaum cukong
di desa-desa, rakyat dipaksa
menjual tanah, tapi, tapi, tapi, tapi
dengan harga murah,apa guna baca buku
kalau mulut kau bungkam melulu

wiji thukul

Membaca sastra pada selembar kertas ini, mengingatkanku pada sebuah tulisan pada buku kusam yang kutemukan pada tumpukan buku-buku besar di atas rak buku. Isi dalam buku tersebut terdapat penjelasan bahwa konsep kemanusiaan adalah sebuah konsep yang harus menjadi pegangan setiap insan. Jika konsep ini terlepas dari genggaman, maka coretan-coretan tinta diatas akan menjadi sebuah sejarah hitam yang selalu terulang dalam setiap masa. Cerita ini menjadi sejarah kelam bagi para pendahulu, menjadi perjalanan berat bagi masa sekarang, dan akan menjadi momok terhadap masa yang akan datang.

*Ditulis oleh perempuan yang mempunyai nama pena Nata. Saat ini dia tengah menempuh proses di PMII Angkatan Aksara dan lembaga Pers kampus.