Doc.Zaki
                             Oleh: Najib Ilhamsyah

Syawal ini masih sama,
Kapanpun sebuah lembaga resmi mengumumkannya via televisi, pujian setelah adzan diganti gema takbir untuk sementara waktu. Masyarakat awam sudah malas mencari hilal sendiri, ribet, menyiapkan teleskop jutaan harganya, mencari tempat tinggi, mengumpulkan ulama ahli falak, mengumpulkan ilmuwan pakar perbintangan, ribet.

Berbuka ala kadarnya untuk yang terakhir kalinya. Makan sebanyak banyaknya, karna tidak perlu lagi kesusahan terawih dalam kekenyangan. Tidak perlu lagi menahan kantuk kala mubalig menyampaikan ceramah. Tidak perlu lagi malas-malasan berdiri di rokaat pertama terawih, sering kali berdiri saat jamaah melantunkan ‘aamiin’ secara bersamaan, sedikit mengobrol di sela-sela kemalasan dengan kawan sekitar. Berteriak-teriak menjawab selawat yang dibacakan bilal di sela-sela tarawih. Menjaga keistiqomahan bertadarus di majelis terdekat, menjaga kerukunan dengan sedikit cakap setelah tadarus, sambil menyantap teh anget dan jaburan kiriman warga yang sudah terjadwal. Walaupun gorengan dan roti bakar adalah menu yg hampir setiap hari disuguhkan.

Selama kurang lebih  20 hari hidup di perantauan ketika ramadan tiba, ibadah tidak dijaga, keistiqomahan menghilang, disibukkan dengan kegiatan duniawi. Padahal sama-sama mengetahui keutamaan bulan ramadan. Sungguh merugi setiap tahunnya, mengharap melakukan hal baik selama bulan ramadan, beri’tikad di awal ramadan untuk menghatamkan al Qur’an, berjanji pada diri sendiri untuk tidak membicarakan keburukan orang, berjanji untuk memperkecil persen kemaksiatan di bulan ramadan, namun hari-hari kita begini-begini saja. Malam berniat puasa, makan siang sudah biasa. Malam sahur, siang makan bubur  minum es campur. Malam teraweh, siang minum es teh. Malam tadarus, tidur seharian gak ngurus.

Pada akhirnya saat dimufakatkan melalui sidang isbat, lebaran kita menjadi biasa saja. Takbir keliling rutinan yang sudah dibentuk kepanitiannya sejak awal ramadan, membuat hewan-hewan raksasa hasil kreatifitas anak kampung, menyalakan petasan paling keren milik sendiri, yang lain melihat, terpukau. Atau menjadi panitia amil zakat di musala sekitar, membagikan beras menggunakan becak sewaan. Atau sekedar keliling desa melihat takbir keliling dengan kawan seperjuangan sembari melontar obrolan basa basi, atau berdiam di tongkrongan membeli ‘intisari’ guna merayakan ‘hari kemenangan’. Atau hanya membusuk di rumah melihat film musiman yg diputar saat liburan tiba.

Benar memang, jika dikatakan lebaran layaknya kembang api, ditunggu-tunggu, keluar, memancar, membentur langit, menampilkan warna-warni dan macam bentuk, membuat orang senang, terpukau, gemerlap menerpa wajah, penonton terpukau, wah, setelah itu, sudah. Karna dalam prosesnya kita tidak gila, dalam arti ‘fastabiqul khoirot’.

Disebut sebut sebagai hari kemenangan, atas apa? Menang dan kalah itu setelah melawan bukan? Kalau disebut sebagai hari kemenangan, pertanyaannya adalah “Menang melawan apa?”. Ini menjadi perlu kita renungkan, yang juga menjawab pertanyaan kita, “Rindukah kita dengan Ramadan?” atau “Rindukah kita dengan 1 Syawal”

Ini adalah coretan curhatan

Weleri, Hari Kemenangan 1440 H

*editor: Iftahfia