Doc. Internet
Kita sedang hidup di era apakah ini? Kita begitu dekat dengan teknologi yang menonton sekaligus bermain di dalam sebuah sirkus yang tidak bisa kita ramal akhirnya. Di teknologi yang mewujud menjadi bermacam-macam alat elektronik, kita bisa menjadi pesertanya.
Satu mata, aku menyadari satu hal, dunia teknologi yang begitu pesat ini, memudahkan siapapun untuk mempelajari apapun. Tanpa harus dibatasi oleh apapun selayaknya waktu-waktu dahulu, yang memunculkan pihak-pihak tertentu sebagai pemilik otoritatif terkait hal tertentu. Dengan terbukanya kran ini, berimbas baik. Ilmu tidak menjadi monopoli siapapun, selayaknya keinginan Ivan Illich—seorang pemikir pendidikan, yang menginginkan kebebasan dalam mengakses segala sumber.
Tapi satu mata yang lain melihat, dengan teknologi pesat ini, semua orang jadi mudah menuliskan atau berkata-kata terhadap sesuatu apapun. Di media sosial misalnya, aku bisa melihat orang-orang bisa menjadi seorang ahli hukum, aku bisa melihat sejarawan, aku bisa melihat ulama’, aku bisa melihat politisi, aku bisa melihat pengamat pendidikan, aku bisa meihat antropolog, aku bisa melihat sosiolog, aku bisa melihat psikolog, aku bisa melihat orang-orang bisa menjadi apapun yang diinginkannya.ketika kita ikut berkomentar dan memberikan bantahan, argumen dan hal lain dan lainnya, kita jadi merasa orang paling bijak di antara orang-orang lain. Kebijakan kita sudah teruji dengan like-like dan tanda-tanda lain yang menyatakan kesetujuannya.
Kukira, mereka dan mungkin aku, memberi komentar terhadap sesuatu bukan dari pencarianku terhadap sesuatu itu. Aku atau mungkin mereka hanya merasa tahu tentang perbincangan apa yang sedang diperbincangkan. Akhirnya, perdebatan itu tidak ada akhirnya, kita punya versi kebenaran masing-masing, yang meski kita harus akui, kebenaran kita begitu dangkal.
Mereka dan aku mungkin, menjadi apapun yang diinginkan tanpa melihat pada diri sendiri. Maksudnya minimal bertanya pada diri sendiri, “siapakah aku?apakah aku memahami bidang yang sedang diperbincangkan itu? dan pertanyaan-pertanyaan yang lain, agar kita tidak serampangan untuk mengomentari apapun yang sebenarnya tidak dekat dengan kita.
Dari kedua mataku, satu mata teknologi begitu menggembirakan, satu mata lagi teknologi begitu memilukan. Menggembirakan karena kita bisa mengakses sumber dengan mudah dan secara taktis gerakan, kita dengan mudah menggalang massa. Tapi memilukan, kita jadi orang-orang yang gagap terhadap sesuatu. Kita jadi orang yang arogan dan asal-asalan. Bahkan yang parah secara taktis gerakan, kita menggalang massa berdasarkan hal-hal yang tidak kita ketahui juntrungnya.
Hal itu dapat kita temui baru-baru ini, misalnya saja, kejadian-kejadian beruntun di indonesia, dari kasus Papua, kita melakukan perdebatan sengit, dari yang mendukung papua referendum atau papua masih tetap negara kesatuan republik indonesia, atau tidak mendukung sekaligus tidak menolak karena sebenarnya tidak ada hubunganya, yaitu dihubungkannya masalah Papua dengan cebong dan kampret.
Papua belum tuntas, kita sudah disuguhi tampilan akrobatik lain, persoalan revisi UU anti korupsi, lagi-lagi kita berdebat dengan sengit “di media sosial”. Dan sepertinya tidak begitu salah, ada sebuah ungkapan, “rame ing medsos, sepi ing laku”. Kita berdebat tak berkesudahan, tapi kita tidak melakukan desakan, bagi orang-orang yang kontra, sepertiku misalnya, perdebatan ini tidak ada gunanya. Perbincangan ini belum selesai, sudah muncul lagi perbincangan tentang RKUHP. Lagi-lagi kita bisa melihat ahli hukum berdebat, tanpa melupakan sentimen politik terdahulu, cebong dan kampret.
Belum redam RKUHP, mata kita kemudian membaca sebuah tulisan atau melihat sebuah gambar tentang kebakaran hutan yang terjadi di beberapa daerah Indonesia. Kita mulai membuka perdebatan lagi, menyampaikan argumen lagi, berdebat lagi dan tidak melupakan cebong dan kampret lagi. Kita juga begitu terspesona dengan tindakan yang dilakukan oleh bapak Presiden kita, yang melihat kebakaran hutan sendirian. Reaksi juga bermunculan, dari cebong dan kampret terutama, tapi rakyat tidak cebong dan kampret juga ikut menertawakan. Apa maksud dari peninjauan yang dilakukan oleh presiden kita? Kita jadi penonton yang bergembira, melihat drama beruntun.
Diselingi itu, kita membacatentang penetapan tersangka terhadap Kemenpora oleh KPK. Beberapa dari kita bereaksi, juga mendebatkan, juga menyalahkan, juga mendukungnya. Tapi tontonan yang paling bisa membuat kita yakin ini adalah lelucon adalah sebuah dukungan dan intruksi dari organisasi biru kuning, PB PMII. Dalam hal ini, Kemenpora merupakan alumni atau senior dari organisasi PMII. Tapi, apakah senioritas itu lantas membutakan kita? Hingga kita tidak bisa berpikir sejenak, malahan menghasilkan hasil yang serampangan, misalnya tentang menyusupnya Taliban di tubuh KPK? Tidak tahu lagi, otakku tidak sampai, argumen apa yang disebarkan dan diintruksikan itu. Di banjirnya informasi ini, kita masih saja mempercayai hal-hal yang tidak bisa dijangkau oleh nalar dan kita masih saja tidak bisa berlogika dengan sehat.
Setelah menonton pertunjukan akrobatik itu, aku menyimpulkan, “betapa era ini begitu membingungkan”. Satu mataku melihat kedalaman dan keberuntungan, satu mataku melihat kedangkalan dan kutukan. Dan pertanyaan di kalimat pertama harus kuulangi lagi, kita sedang hidup di era apakah ini?
Ahmadaam, PMII Rayon Abdurrahman Wahid angkatan 2013, Koordinator Sebumi PC PMII Kota Semarang.
0 Komentar