Doc. Rayon

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Abdurrahman Wahid pada 04-06 oktober 2019 telah melaksanakan kegiatan Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA) dengan membaiat kurang lebih sekitar 350 mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Walisongo. Di hari terakhir sebelum penutupan, diadakan pemilihan ketua Alumni Masa Penerimaan Anggota Baru (ALMAPABA). Dalam pelaksanaan tahun ini ada perbedaan, di mana calon almapaba yang masuk dalam pemilihan putaran kedua adalah laki-laki dan perempuan, yaitu sahabat Asa dan sahabati Putri.

Dalam lima tahun terakhir, mekanisme pemilihan selalu dilakukan dua kali. Pemilihan pertama untuk menentukan dua kandidiat terkuat, pemilihan kedua untuk menentukan siapa yang menjadi ketua Almapaba. Bahwa dalam lima tahun terakhir itu tercatat, setidaknya pada pemilihan tahap kedua selalu menyajikan pilihan laki-laki saja; 2014 (Ajid,Kholil), 2015 (Alam,Hakim), 2016 (Syarif,Hanif), 2017 (Arif, Fuad), 2018 (Subhan, Ulil). Di situ lah letak perbedaannya. Ini menjadi sejarah baru dalam pelaksaan pemilihan ketua almapaba di Rayon Abdurrahman Wahid –sependek pengetahuan penulis --Meski pada akhirnya tetap sahabat Asa yang terpilih menjadi ketua. Saya ucapkan selamat kepada sahabat asa. Anda mendapatkan amanah ketua terlama, yaitu sepanjang hayat menyandang status ketua almapaba. 

Tentu akan menjadi sejarah baru ketika yang menjadi almapaba adalah kader perempuan, karena hal itu merupakan yang pertama, lagi-lagi sependek pengetahuan penulis. Sebab Abdurrahman Wahid termasuk sosok yang mendukung hal tersebut. Bagaimanakah sesungguhnya pemikiran beliau mengenai kepemimpinan perempuan? 

Dalam tulisannya yang berjudul Agama dan Kebudayaan, Gus Dur menulis salah satu obrolannya dengan utusan ulama pengikut Abul A’la Al maududi, seorang ulama asal India dan kini tinggal di Pakistan, salah seorang ulama dan pemikir muslim di abad ini, yang menyatakan bahwa Islam adalah satu konsep hidup ad-din. Agama sebagai jalan hidup (way of life) tidak boleh tunduk kepada yang lain, termasuk pada hukum barat, di dalam proses-proses bernegara. Pengikut maududi inilah yang menentang Benazir Bhutto. 

Mereka menyatakan, sebuah bangsa muslim tidak boleh diperintah oleh wanita. Kata mereka, bukankah Nabi Muhammad sudah mengatakan “Sebuah kelompok yang dipimpin wanita akan mengalami kehancuran.” Oleh sebab itu, alangkah bersalahnya kita jika kita berani menentang pernyataan Nabi tersebut . 

Seorang ulama pengikut Maududi pernah dikirim ke Indonesia untuk memberikan penjelasan kepada beberapa organisasi keagamaan mengenai sikap Maududi. Setelah ia berbicara secara panjang lebar kepada pengurus besar NU dan ketemu Gus Dur di kantor PBNU. Gus Dur berkata bahwa memang Nabi menyatakan kepada mereka demikian, “Nabi tidak pernah salah, namun yang salah adalah kita yang membacanya.” 

Alasan Gus Dur demikian, tatkala Nabi mengatakan hal itu beliau mengacu kepada keadaan masyarakat di suku tanah Arab abad VII, di mana perang suku, perampokan, perkosaan, perampasan dan segala macam persoalan lain, sangat banyak terjadi. Masyarakat suku tersebut tidak berstruktur, sehingga kepala suku adalah segala-galanya; dia yang berperang tanding dia yang bertanggung jawab terhadap warganya, dan mengurus segala macam hal-hal rumit lainya. Beliau kemudian berpandangan bahwa suku harus dibuat kokoh, dan untuk itu, pimpinannya secara fisik, juga harus kuat. Namun, keadaan masyarakat atau pemerintahan seperti itu tidak ditemukan lagi dewasa ini. Kini, pemerintah tidak lagi dipersonalkan (personalized) seperti tradisi masyarakat-suku waktu itu melainkan di institusionalisasikan, dan di sana terjadilah distribusi tugas. Dengan demikian, wanita menjadi layak untuk memegang kepala pemerintahan . 

Demikian tadi respon Gus Dur dalam menjawab persoalan sosial budaya yang ada, bahwa keberadaan agama harus dapat menyesuaikan dengan konteks budaya dan zamanya, termasuk dalam memilih pemimpin. Bahwa antara laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam hal kepemimpinan, baik dalam komunitas, organisasi bahkan pemimpin negara sekalipun. 

Untuk melebur dan dapat bersaing dengan kader laki-laki yang biasanya menjadi pimpinan, maka sebaiknya kader-kader perempuan jangan terkungkung dalam satu wadah, misalnya mindset bahwa kader putri harus di KOPRI semuanya. Menurut penulis jika yang terjadi demikian maka kesempatan bagi para kader perempuan untuk menunjukkan eksistensi kepemimpinannya akan semakin terkikis karena menjauhkan diri dari wadah yang lebih besar yaitu struktur organisasi di PMII sendiri. Miisalnya memilih untuk bersaing menjadi ketua atau koordinator di masing-masing biro yang ada-- itu justru akan menunjukkan bahwa para kader perempuan layak menempati pos-pos strategis organisasi dan dapat memperjuangkan kepentingan perempuan di dalamnya. Maka keberadaan KOPRI seyogyanya cukup mendidik dan menyiapkan kader kader perempuan supaya memiliki jiwa kepemimpinan. Dengan begitu PMII dapat benar-benar memiliki sosok pemimpin perempuan di masa depan, khususnya PMII Abdurrahman Wahid.

Penulis :
Ahmad Sajidin, Koordinator Gusdurian Semarang dan Wakil Ketua 2 PC PMII kota Semarang.