Penulis: ahmadaam

Kita bisa menghitung seberapa banyak toko kelontong di desa yang dibuka oleh masyarakat desa. Begitu juga bisa menghitung toko kelontong yang dibuka oleh masyarakat kampung kota. Kita mungkin juga bisa menghitung minimarket bernama Indomart atau Alfamart (Indo-Alfa) di kota kita. Tapi, mungkin kita tidak bisa menghitung banyaknya toko indo-alfa di satu provinsi atau satu Indonesia yang hanya dimiliki oleh dua orang—mungkin hanya perusahaan, dua orang pemilik dan tuhan saja yang tahu.

Kita bisa menghitung dan membayangkan modal yang dibutuhkan untuk membuka satu toko kelontong tradisional. Tapi mungkin kita tidak bisa menghitung dan membayangkan modal awal yang dikeluarkan oleh dua orang pemilik Indo-Alfa itu untuk membuka dan mengembangkan toko-tokonya. 

Cukup melalui jari tangan kita saja, kita bisa menghitung lampu yang dibutuhkan untuk menerangi toko kelontong tradisional. Tapi mungkin jari tangan dan bahkan ditambah jari kaki kita tidak akan cukup untuk menghitung banyaknya lampu yang dibutuhkan Indo-Alfa untuk penerangan. Sekali lagi, mungkin saja, yang tahu jumlahnya hanya perusahaan, dua pemilik toko dan tuhan saja.  Atau mungkin bisa ditambah—jika sedang nganggur dan merasa butuh untuk menghitung lampu—penjaga toko.

Di Indo-Alfa dan toko kelontong tradisional dalam penggunaan kantong plastik, kita bisa membedakan. Mana plastik toko kelontong tradisional dan mana kantong plastik Indo-Alfa. Dan kita sama-sama tahu, mereka sama-sama menggunakan kantong plastik.

Lalu kita sama-sama bisa menghitung kantong plastik yang dikeluarkan oleh toko kelontong tradisional dengan toko Indo-Alfa. Tapi ada perbedaan. Toko kelontong bisa dihitung manual. Toko Indo-Alfa harus menggunakan mesin. Toko kelontong tidak begitu melelahkan, toko Indo-Alfa melelahkan. 

kita mungkin saja bisa menghitung kantong plastik yang dikeluarkan oleh satu toko Alfa-Indo dalam sehari, meski kelelahan. Tapi apa kita bisa menghitung dalam satu hari saja, kantong plastik yang dikeluarkan oleh Indo-Alfa sekota, seprovinsi atau seindonesia?

Melalui nota pembayaran, kita tahu harga satu kantong plastik. Murah dan kata seorang teman, sangat tidak terasa. Tapi berapa uang yang terkumpul ketika satu plastik itu dikalikan dengan Indo-Alfa sekota, seprovinsi atau seindonesia?

Kita ketahui, setelah sebelumnya kantong plastik digratiskan oleh Indo-Alfa. Sekarang dihargai, dalihnya adalah untuk menekan pembeli supaya tidak memakai kantong plastik. Tapi bagaimana bisa, kantong seharga segitu bisa menekan untuk tidak menggunakan plastik? Meskipun itu juga salah, sebenarnya pertanyaannya adalah: bagaimana bisa harga menekan untuk pembeli agar tidak membeli plastik? Logika ngawur sekaligus menguntungkan. Alih-alih seperti itu, para pemilik Indo-Alfa sebenarnya paham betul, pembeli pasti membeli kantong plastik untuk membawa barangnya.Hanya supaya terlihat peduli lingkungan saja, Indo-Alfa menyediakan totebag atau kantong-kantong yang ramah lingkungan—berbayar. Tapi tetap saja, pembeli akan lebih memilih yang murah dan sekali pakai. 

Kita lantas memuji Indo-Alfa karena kepeduliannya terhadap pengurangan sampah plastik di bumi. Mereka mulai mengurangi penggunaan kantong plastik dengan mengkampanyekan itu, bahwa penggunaan plastik sudah sangat banyak dan memprihatinkan. Lalu tiba-tiba saja, indo-alfa masuk dalam barisan Mesias yang menyelamatkan bumi dari sampah plastik menggunung. Tapi kita bisa saja meragukan dan menuduhnya sebagai kesempatan memotong anggaran belanja kantong plastik. 

Akan tetapi, lagi-lagi Indo-Alfa punya cara supaya lebih meyakinkan lagi dan publik melupakan keraguan tentang kesempatan memotong anggaran belanja. Indo-alfa menyediakan kantong-kantong alternatif yang ramah lingkungan berbayar. Tapi kita lalu meragukan lagi, mengapa tidak digratiskan saja, kalau bilang “ini demi mengurangi sampah plastik”.

Kita disuguhi bahwa bumi ini sudah terlalu banyak sampah plastik. Kita juga disuguhi, “jika ingin mengurangi sampah plastik, belilah ‘sebangsa’ tupperware, totebag, sedotan stainles dan barang-barang apapun  yang ‘tidak sekali pakai’ lainnya. Kita lalu iseng-iseng bertanya, “kalau jualan tidak disuguhi dengan sampah plastik yang menggunung apa tidak laku?”

Pernyataan dan pertanyaan di atas lantas dijadikan dasar tuduhan pada diri kita. Kita dianggap orang-orang yang selalu berpikiran buruk terhadap orang-orang yang mencoba melakukan kebaikan. Mendapati tuduhan itu, kita ingin mengutuk diri kita sendiri, tapi lalu kita mengingat Tuhan sang pencipta, “bukankah Tuhan memberikan kita akal pikiran untuk kita berpikir dan menanyakan segala sesuatu yang belum kita ketahui? Lalu di mana bagian salahnya?”

Kita bisa juga dituduh orang yang iri pada kekayaan orang lain. Itu tidak masalah. Hanya saja, mengapa kita harus membela dan mungkin saja memberi keuntungan pada orang-orang yang sudah kaya? Untuk melihat itu, kita tidak perlu muluk-muluk merujuk ke daskapital dan sebagainya. Kita hanya perlu prinsip "orang sudah kaya tidak perlu dibikin kaya lagi, mulailah membela dan mendukung orang yang belum kaya."

Sedang kita dituduh sebagai penyebab sampah plastik menggunung dan kerusakan-kerusakan alam yang lain. Kita lalu beroleh isyarat: kita disamakan dengan orang-orang kaya yang kebutuhannya pasti jauh berbeda. Warung kelontong tradisional yang bermodalkan mungkin saja hanya berkisar jutaan disamakan dengan Indo-Alfa yang bermodalkan miliaran. Kita pengguna (konsumen) disamakan dengan perusahaan-perusahaan besar yang menciptakan kantong plastik berton-ton. Kita manusia tidak punya apa-apa disamakan dengan manusia lain yang punya apa-apa: perusahaan tambang, kelapa sawit dan seterusnya dan seterusnya. Apa kita bisa disamakan begitu saja dengan mereka? Dijadikan satu dalam kata ‘ulah manusia’. Lantas dengan begitu tanggungjawabnya juga disamakan?

Tidak bisa begitu. 

Ilustrasi: az-ad