Peresensi: AhmadAam

Sebagai manusia di bumi, saya adalah manusia yang mempunyai identitas-indentitas. Identitas itu beragam, begitu juga manusia yang lain; bukan hanya saya. Identitas itu misalnya, saya adalah manusia sekaligus penggemar klub sepakbola Liverpool, sekaligus mahasiswa UIN Walisongo, sekaligus redaktur LPM Edukasi, sekaligus editor di bacabukumu.id, sekaligus kader PMII, sekaligus orang Islam, sekaligus orang Rembang, sekaligus orang Indonesia dan seterusnya dan seterusnya.

Identitas saya itu, meski tidak ditunjukkan melalui simbol-simbol atau hal lain, secara otomatis melekat dalam diri saya. Saya tidak harus mengkoar-koarkan atau melakukan hal-hal yang mencoba menunjukkan eksistensi identitas saya.Karena identitas itu sudah melekat dengan sendirinya.

Dengan identitas itu,saya memiliki kebebasan untuk memilih, mana yang diprioritaskan terlebih dahulu dan mana yang untuk sementara disisihkan, tanpa perlu menanggalkannya. Contohya, dalam suatu perkumpulan penggemar klub sepakbola Liverpool, saya akan memprioritaskan identitas penggemar klub sepakba Liverpool, tanpa perlu menanggalkan identitas keindonesiaan. Bahkan meskipun klub sepakbola Liverpool tidakberasal dari Indonesia, saya tidak perlu menanggalkannya.

Begitu juga berdasarkan identitas, saya bisa memilih sebuah kesamaan atau perbedaan. Nalar saya menjadi kunci untuk memilih itu. Saya tidak akan membunuh orang lain, jika saya memilih identitas bahwa saya dan orang lain punya kesaamaan: manusia. Sesama manusia kenapa harus saling membunuh.

Kebebasan dalam memilih identitas itu ada,akan tetapi terbatas. Selayaknya saya yang sedang berbelanja di swalayan. Dalam berbelanja, saya memiliki uang untuk membeli keperluan-keperluan. Kepemilikan uang itu meskipun bebas saya miliki tetapi ternyata terbatas. Saya harus memilih sesuatu yang sesuai dan cukup dengan uang saya. Oleh karena itu, ada barang-barang yang harus saya prioritaskan terlebih dahulu. Hal inilah yang menunjukkan bahwa kebebasan dalam memilih juga terbatas dengan apa yang saya miliki. Pemilihan ini membutuhkan suatu nalar pikir yang terbuka.

Misalnya saja identitas saya sebagai orang Islam. Dalam beragama, saya musti melakukan perkara-perkara yang sudah diatur oleh agama Islam. Dalam Islam tidak boleh penganutnya menganut dua kepercayaan (islam dan kristen, Islam dan hindu dan lain sebagainya) maka saya tidak menganut agama yang lain. Hal ini menunjukkan meskipun saya bebas memilih identitas tapi ada hal-hal yang membatasinya. Tanpa melupakan bahwa saya masih memiliki identitas-identitas lain yang tidak bertentangan dengan identitas Islam. 

Perkara ini menjadi sulit. Jika dalam situasi tertentu, saya dipaksa untuk memiliki identitas tertentu oleh lingkungan atau orang lain. Padahal saya sendiri tidak memprioritaskan itu. Misalnya, saya sedang berada di forum LPM Edukasi,  maka yang saya prioritaskan adalah identitas LPM Edukasi, tanpa harus menanggalkan identitas PMII. Tapi kadang teman-teman sekitar membawa dan memaksa saya untuk beridentitas PMII di LPM Edukasi. Ini sungguh bukanlah sesuatu yang tepat. Begitupun bisa sebaliknya.

Teman-teman sekitar atau orang lain juga terkadang bisa membentuk Identitas baru terhadap saya. Padahal belum tentu saya memang memiliki atau memilih identitas itu. Dengan penyematan identitas berasal dari orang lain seperti ini,bisa menyebabkan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Misalnya kekerasan mengatasnamakan identitas yang disematkan.

Yang lebih parah adalah asumsibahwa saya hanya memiliki identitas tunggal saja. Saya hanya diasumsikan sebagai orang Islam saja misalnya. Tanpa melihat identitas-identitas saya yang lain. Ilusi terhadap identitas tunggal inilah yang menjadi kritik tajam dari Amartya Sen dalam bukunya Kekerasan dan Identitas.

Sen membantah tesis Samuel P. Huntington yang termuat dalam buku berjudul the Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. Dalam tesis tersebut orang-orang dikotak-kotakan berdasarkan “peradaban Islam”, “peradaban hindu”, “peradaban kristen” dan sebagainya. Dengan pengkotakan itu, Sen mengganggap itu adalah pereduksian (pengerdilan) identitas manusia yang majemuk. Ini adalah kelemahan pertama tesis dari Samuel P. Huntington. Kelemahan selanjutnya dari tesis Samuel P. Huntington adalah terdapat pada betapa serampangannya karakterisasi yang diberikan pada peradaban-peradaban dunia. Simplikasi yang dilakukan oleh Samuel P. huntington ini berakibat pada pengabaian keragaman dalam tiap-tiap peradaban. Sekaligus interaksi antara peradaban secara substansial dilupakan begitu saja.

Kelemahan itu berpeluangdalamdangkalnya pemahaman terhadap aneka macam peradaban, juga terhadap kesamaan, keterikatan, kesalingtergantungan antara semua peradaban. Persepsi ini juga menghasilkan pandangan yang sempit terhadap budaya, serta pembacaan yang ganjil sekaligus picik—sebut sen, terhadap peradaban barat.

Kepicikan pembacaan terhadap barat ini contohnya adalah kekeliruan anggapan bahwa demokrasi adalah produk ‘khas’ barat. Padahal jika ditelisik lebih dalam, demokrasi jauh-jauh waktu sudah diterapkan di wilayah timur. Sen menghadirkan fakta-fakta ini.

Perkara intelektual juga seperti itu.Kemajuan intelektual yang dicapai oleh barat dianggap tanpa pengaruh dari dunia timur. Akibatnya orang-orang timur mencari sesuatu yang dianggap bisa mengalahkan orang-orang barat yaitu melalui spiritualitas—hal yang dianggap tidak dimiliki oleh barat. Dengan melakukan ini, sebenarnya semakin menunjukkan bahwa orang timur mengamini apa yang dilabelkan orang-orang barat terkait peradaban timur yang tertinggal.

Padahal sejarah mencatat, Alkhawarizmi seorang berasal dari timur adalah penemu aljabar yang saat ini dipelajari oleh manusia seluruh dunia. Bagitu juga dengan apa yang sudah ditemukan matematikawan Arab dan Iran terkait sistem desimal dan berbagai rumusan awal terkait trigonometri. Demikian pula karya-karya klasik terutama dari Yunani Kunoyang diterjemahkan ke bahasa Arab untuk dipelajari. Dari fakta sejarah inimenurut Sen, setiap manusia di manapun di dunia ini (baik barat maupun timur) saling berbagi pundak untuk mewujudkan kemajuan intelektual.

Terorisme, Islam dan Identitas
Setelah kejadian tragedi 11 september di Amerika, akibat ilusi tentang identitas tunggal. Islam yang dituduh sebagi pelaku terorismedipaksa harus menafsirkan ulang keislamannya. Padahal sudah jelas setiap agama apapun tidak pernah mengajarkan kekerasan. Hal ini sangat aneh menurut Sen, karena dengan memaksa orang-orang islam menafsirkan ulang keislamannya, itu sama saja dengan menganggap orang yang melakukan tindakan itu hanya beridentitaskan Islam saja. Tidak memandang afiliasi-afiliasi politik, sosial atau hal-hal lain yang bertalian.

Secara mudah dapat diandaikan. Saya adalah orang Islam, akan tetapi keberislaman saya belum tentu seturut dengan ajaran Islam. Saya bisa saja membunuh orang—hal yang tidak mungkin diajarkan di agama manapun, saya bisa saja melakukan tindakan pemboman, saya bisa saja membohongi orang, saya juga bisa bertindak tidak adil. Perkara-perkara yang saya lakukan itu menurut Sen bukan disebabkan oleh Islam, tapi ada faktor-faktor lain yang menyebabkannya. Misalnya karena kebencian saya terhadap seseorang. Misalnya organisasi yang saya ikuti memaksa untuk itu, dan seterusnya dan seterusnya. Dari ini, Sen menginginkan setiap aksi separatisme atau kekerasan apapun jangan dilihat hanya dari identitas tunggal saja.

Sebagaimana sudah dibahas di atas,Sen mengatakan Ilusi tentang tentang identitas tunggal sebenarnya jauh lebih memecah belah ketimbang beragamnya jenis-jenis klasifikasi yang mencirikan dunia tempat tinggal kita.  Dan tumbuhnya ilusi tentang identitas tunggal menurut Senbisa menjadi suatu landasan bagi paradalangtertentu untuk maksud-maksud konfrontatif dan bisa menarik mereka yang suka menebar kekerasan.

Multikulturalisme atau Monokulturalisme Majemuk?
Setelah pemahaman bahwa identitas itu majemuk, kuatnya tuntutan akan multikulturalisme merupakan sesuatu yang tidak mengejutkan bagi Sen. Mengingat meningkatnya kontak dan interaksi global yang berlainan hidup saling berdampingan satu sama lain. Hal ini juga terjadi di negara saya, Indonesia.

Saya sebagai seorang muslim yang hidup di negara Indonesia—sebuah negara yang beragam baik tradisi maupun agama—Jika dengan orang-orang lain yang berbeda identitas hanya hidup saling berdampingan dan tidak saling bersinggungan.Menurut Sen, ini bukan multikulturalisme melainkan monokulturalisme majemuk. Monokulturalisme majemukhanya menunjukkan kemajemukan budayaakan tetapi setiap budaya atau identitas-identitas tetap terpisah-pisah.

Monokulturalisme majemuk ini bisa dilihat misalnya dengan bagaimana negara saya menyediakan sekolah yang terkotak-kotak sesuai dengan masing-masing agama. Hal ini menurut Sen semakin menambah jurang pemisah dan semakin mengukuhkan identitas tunggal masing-masing individu. Karena pengkotakan itu tidak bisa membuat anak-anak sejak dini belajar untuk plural terhadap agama-agama lain. Hal ini malahan bisa berakibat pada tindakan-tindakan terorisme atau separatisme berkedok agama.

Seharusnya keragaman budaya dirayakan dengan syarat bahwa orang memiliki kebebasan seluas-luasnya untuk memilih praktik kebudayaan tertentu.Bukannya dibatasi,yang malah bisa berakibat pada pengkategorisasian tunggal. Dalam hal ini Sen memberi penekanan,  hal yang terutama harus dihindari adalah kerancuan antara multikulturalisme yang bernafaskan kebebasan budaya di satu sisi, dengan monokulturalisme majemuk yang bernafaskan separatisme beragama di sisi lain. 

Selain permasalahan itu, menurut Sen, multikulturalisme yang diwujudkan dalam “dialog antar umat” dengan diwakili oleh pemuka-pemuka agama, semakin mempernyaring dan memperkuat suara pemuka-pemuka agama. Hal ini bisa menurunkan makna penting lembaga-lembaga dan gerakan-gerakan non keagamaan, suatu kesamaan yang harusnya diwujudkan.

Maksudnya adalah seperti yang terjadi pada saat Gandhi menghadiri “Lokakarya Terbatas tentang India” yang diselenggarakan oleh pemerintah inggris pada 1931. Gandhi tersinggung dianggap sebagai juru  bicara umat Hindhu khususnya Hindu berkasta.  Karena itu Gandhi kemudian mengajukan gugatan agar pemerintah Inggris melihat kemajemukan identitas orang India.

Ia (Gandhi)berkata bahwa ia ingin berbicara tidak hanya mewakili umat hindu secara khusus, melainkan atas nama “jutaan rakyat terdidik, yang telah bekerja keras, namun perutnya masih lapar” yang mencakup “lebih dari 85 persen penduduk india.” Dia bahkan menambahkan pula bahwa dengan upaya lebih keras, ia bahkan bisa berbicara atas nama penduduk india selebihnya, yakni “para pangeran… tuan-tuan tanah, dan kaum terdidik.”

Dari gugatan ini, Gandhi menginginkan suatu bangsa  jangan hanya dilihat sebagai federasi agama-agama dan komunitas-komunitas. Suatu bangsa harus dilihat sebagai sekumpulan identitas-identitas yang beragam (majemuk) dan bertalian. Perihal ini, bukan hanya “Gandhi” semata yang mengharapkan itu, melainkan Amartya Sen dan saya juga berharap seperti itu.

Gandhi, Sen dan saya bisa bersama-sama menegaskan banyaknya kesamaan identitas yang kami miliki—sesama manusia beragama misalnya—(meskipun mungkin masih ada orang-orang yang punyacara pandang tunggal nan kaku bertebaran). Kedamaian bisa terwujud bila kita saling memahami bahwa kita memiliki identitas-identitas. Dan yang terpenting, pesan Sen, kita harus memastikan bahwa benak kita tidak terkurung oleh cakrawala pandang kita sendiri.[]

//Buku berjudul Kekerasan dan Identitas yang terbit pertama kali di Amerika Serikat dengan judul Identity and Violence: The Illusion of Destiny. Ditulis oleh Amartya Sen dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Arif Susanto. Diterbitkan oleh Marjin Kiri, edisi kedua Februari 2016. Halaman dalam terbitan Indonesia berjumlah i-xxii+ 242 halaman.//