Buku Feminist Thougt karya Rosemarie Putnam Tong merupakan sebuah pengantar paling komprehensif untuk memahami berbagai macam pemikiran feminis. Buku terbitan Jalasutra ini menyajikan pengantar kritis terkini atas tradisi besar teori feminis yang terbagi atas 8 bab dengan tebal 499 halaman (tidak termasuk prawacana, daftar isi, kata pengantar, ucapan terimakasih dan pra kata). Kesemua dari 8 bab merupakan pemikiran feminis dari masa ke masa secara kaleidoskopik. 8 bab tersebut diantaranya:

1. Feminisme Liberal, dari abad ke-19 hingga 20, mencakup ulasan pemikiran Mary Wollstonecraft, John Stuart Mill, dan Harriet Taylor Mill, hingga Betty Friedan dan Jean Bethke Elshtan.

Beberapa tokoh feminis liberal menekankan kesamaan pada kesempatan pendidikan (Wollstonecraft). Dan juga mementingkan terpuaskannya pleasure dan happiness (Mill dan Taylor) / Perempuan juga harus sadar sebagai mahluk rasional yang mempunyai hak sipil, ekonomi, benefit dari publik, seperti jaminan sosial, dan sebagainya (Mill). Feminis liberal setuju akan negara kesejahteraan dimana kekuasaan negara dibatasi.

2. Feminisme Radikal, mencakup perspektif Feminis Radikal-Kultural dan Feminis Radikal-Libertarian, mulai dari Kate Millet, Shulamith Firestone, Marylin French, Mary Daly dan Marge Piercy.

Menurut aliran ini perempuan secara historis kelompok yang tertindas, bentuk ketertindasan perempuan yang paling luas dan mendalam dari bentuk ketertindasan yang ada. Penindasan terhadap perempuan hal yang paling sulit dan tidak mudah untuk dihilangkan tidak seperti penindasan lain. Penidasan terhadap perempuan menyebabkan secara kuantitatif dan kualitatif penderitaan yang paling hebat dan seringkali penindasan ini tidak terungkap karena dilakukan secara sembunyi (domestic violence). Dan Pemahaman terhadap penindasan perempuan dapat memberikan konsep atau pengertian konsep terhadap bentuk penindasan lain, dengan kata lain dengan memahami penindasan terhadap perempuan maka dapat dengan mudah memahami bentuk penindasan lain.

Menurut aliran ini penindasan dapat dihilangkan dengan cara menentang masyarakat patriarkis. Persoalan penindasan perempuan didasarkan atas hubungan kekuasaan di mana ada kecenderungan laki-laki untuk mengkontrol perempuan. Kegiatan laki-laki dilegitimasi oleh institusi masyarakat yang patriarkis

3. Feminisme Marxis dan Sosialis, mencakup pembahasan pemikiran Marx-Engels, hingga perkembangan kontemporernya oleh Iris Young dan Alison Jaggar.

Melihat bahwa keberadaan secara sosial menentukan kesadaran, dan penindasan terhadap perempuan adalah hasil dari produk struktur politik, sosial dan ekonomi. Jadi penekanan pada feminisme marxis lebih pada persoalan kelas (Marx dan Engels).

Sedangkan feminism sosialis penekanannya lebih pada persoalan keterkaitan kapitalisme dalam menumbuhkan patriarki (Habermas, Althusser).

4. Feminisme Psikoanalisis dan Gender, mencakup pemikiran Sigmund Freud hingga pengembangan Feminismenya oleh Dorothy Dinnerstein, Nancy Chodorow, Juliet Mitchell, Carol Gilligan san Nel Noddings.

Feminisme psikoanalisis menentang bahwa bentuk biologis perempuan bukanlah suatu persoalan yang penting, namun yang menjadi perhatian dan menjadikan perempuan tertidas adalah ketidakpunyaan perempuan akan penis, yang mengakibatkan masyarakat selalu merendahkan perempuan dibandingkan laki-laki. Dan simbol penis yang memberikan kekuasaan pada laki-laki.

Sedangkan gender feminism lebih tertarik pada perbedaan psyche antara laki-laki dan perempuan. Antara laki-laki dan perempuan selalu dibesarkan dengan nilai gender yang spesifik, yaitu: adanya penekanan pada pemisahan dalam hidup laki-laki dan adanya penyambungan dalam hidup perempuan. Selain itu juga adanya kecenderungan mengunggulkan budaya laki-laki yang mengekang perempuan.

5. Feminisme Eksistensialis, mencakup pembahasan tentang Being and Nothingness karya Jean Paul Sartre dan The Second Sex karya Simone de Beavoir serta perkembangan kontemporernya dalam pemikiran feminis.

Dalam membahas feminisme eksistensialis tidak akan terlepas dari tokoh Sartre yang mengatakan bahwa kesadaran bukan hanya tergantung pada diri manusia tetapi mengarah pada objek di luar manusia. Dalam bukunya Being and Nothingness Sartre mengungkapkan ada 3 cara manusia berada, yaitu Etre-en-soi atau Being in itself lalu Etre-pour-soi atau Being for itself dan Etre-pour-les autres atau Being for athers. Being in itself megarah pada metafisika atau ada yang padan dan penuh. Being for itself manusia itu bercelah, tidak sempurna keberadaannya karena manusia dilahirkan untuk bebas untuk menentukan ingin menjadi apa yang ditandai adanya aktifitas menidak. Being for others lebih dilihat pada relasi sosial di mana subyek akan selalu mempertahankan kesubyekannya dan manusia yang kalah dalam mengobyekkan yang lain disebut malafide (manusia munafik yang mau saja diatur atau tidak mau menerima kebebasan sebagai tanggung jawabnya).

Feminisme eksistensialis melihat bahwa perempuan selalu menjadi obyek dari laki-laki dan perempuan adalah malafide menurut konsep Sartre. Beauvoir mengkritik psikoanalisa yang mengatakan bahwa perempuan adalah mahluk yang tidak lengkap, dan tidak cukup kiranya perempuan dijadikan obyek laki-laki karena segi biologis. Dianggap perempuan mempunyai keterbatasan biologis untuk bereksistensi sendiri. Beauvoir juga melihat bahwa institusi pernikahan merupakan institusi yang merenggut kebebasan perempuan. Ada 3 tipe perempuan yang malafide yaitu The Prostitute, The Narcistic dan The Mystic.

6. Feminisme Posmodern, mencakup pembahasan pemikiran Jacques Derrida dan Jacques Lacan yang menjadi dasarnya serta pemikiran Helene Civous, Luce Irigary dan Julia Kristeva.

Aliran ini  menganggap bahwa penyebab ketertindasan perempuan karena simbol-simbol. Mereka menganggap bahwa tiasp masyarakat diatur oleh suatu seri tanda, peranan dan ritual yang saling berhubungan yang disebut aturan simbolik dan internalisasi aturan simbolik dihasilkan lewat bahasa sehingga semakin banyak aturan simbolik masyarakat yang diterima oleh seorang anak semakin tertanam didalam alam bawah sadarnya.

7. Feminisme Multikultural dan Global, mencakup ulasan berbagai akar perkembangan pemikirannya di Negara Kesatu dan Negara Ketiga.

Feminism multicultural; aliran ini menekankan pada penghargaan terhadap perbedaan nilai dan prinsip pada setiap kelompok dan mereka menyambut baik terhadap pemikiran budaya multikulturalisme. Perlawanan terhadap seksisme harus menjadi prioritas dan isme-isme yang lain seperti rasisme dan lain sebagainya.

Sedangkan feminism global menganggap bahwa ketertindasan perempuan di Negara Ketiga dikarenakan adanya kebijakan yang dibuat oleh Negara Kesatu. Mereka lebih menekankan pada isu kolonialisme, ketimpangan kebijakan Negara Kesatu juga masalah politik dan ekonomi. Mereka sepakat bahwa penindasan politik dan ekonomi lebih diperhatikan. Mereka melihat adanya perbedaan cara pandang anatar feminis Negara Kesatu dengan Negara Ketiga.

8. Ekofeminisme, mencakup ulasan akar perkembangannya serta pembahasan pemikiran Starhawk, Maria Mies dan Vandana Shiva. 

Aliran ini berpendapat bahwa penyebab ketertindasan perempuan dikarenakan dirusaknya alam raya. Seperti halnya kegiatan tambang atau konflik agrarian yang mengakibatkan opresi yang dialami perempuan.

Buku ini menyajikan, Tong menyajikannya dengan jernih sehingga kita mampu dengan mudah memahami aliran feminis. Selain itu, Tong juga membahasakannya dengan gaya yang mengalir serta selalu menyertakan kritik atas setiap pemikiran dari para feminis, sehingga kita akan segera mengetahui kelebihan dan kekurangan dari pemikiran tersebu.

Tong kemudian mengatakan bahwa apa yang paling ia hargai dari pemikiran feminis adalah bahwa meskipun pemikiran itu mempunyai awal, pemikiran feminis tidak mempunyai akhir, dan karena pemikiran itu tidak mempunyai akhir yang sudah ditentukan sebelumnya, pemikiran feminis memungkinkan setiap perempuan untuk berpikir dengan pikirannya sendiri. Bukan kebenaran semata, tetapi kebenaran yang akan membebaskan perempuan.

Buku ini membantu kita untuk menganalisis akar-akar ketertindasan yang dialami oleh perempuan. Selain itu, buku ini juga membantu memberikan rekomendasi untuk gerakan perempuan tentang bagaimana hal yang bisa dilakukan untuk mengentaskan perempuan berdasar pada akar ketertindasan yang dialaminya. Dalam buku ini, teori-teori feminis berfokus pada ketimpangan gender, relasi kuasa, dan seksualitas yang didasari atas budaya patriarkhi. Meskipun, dalam ranah global, kapitalisme berperan banyak dalam ketertindasan yang dialami perempuan. Di mana perempuan dianggap sebagai obyek dan manusia kedua. Sehingga dalam proses perencanaan pembangunan, perempuan tidak dilibatkan yang berakibat pada kebijakan yang diskriminatif dan tidak responsive gender. 

Disisi lain, serangan kapitalisme berupa simbol-simbol, sangat berdampak pada perpsektif yang terbangun pada perempuan dan laki-laki. Misalnya, di Indonesia, iklan-iklan yang melabeli perempuan cantik harus putih, mulus dan seksi. Ideologisasi semacam ini begitu  diskriminatif dan sarat meracuni perspektif manusia; perempuan dan laki-laki. Mereka saling membangun paradigma cantik dan tampan dalam otaknya dan menganggap yang tidak sesuai, dikatakan tidak cantik dan tidak tampan. Padahal, karakteristik tubuh manusia itu unik. Semuanya adalah ciptaan Tuhan yang sudah tentu sempurna hasilnya.

Feminisme adalah upaya untuk memperjuangkan hak perempuan sebagai manusia utuh di tengah kemapanan   patriarkal   yang   cenderung  mendiskriditkan martabat kemanusiaan perempuan. Yang kemudian, kesadaran tersebut  telah menciptakan paradigma  baru  yang lebih harmonis  untuk  laki-laki dan perempuan.

Dalam pemikiran feminism, baik perempuan atau laki-laki, memiliki tanggungjawab yang sama untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan serta kedamaian ruang dengan nir kekerasan. Artinya, mempelajari feminism bukan hanya menjadi keharusan bagi perempuan, namun laki-laki juga, sebagai entitas manusia yang sama. Meski, fakta sosial menggambarkan bahwa sebagian besar yang peduli adalah perempuan dan hanya beberapa dari laki-laki. Untuk mencapai cita-cita feminisme, yakni dunia dengan keadilan dan kesetaraan, tentunya butuh proses dan semua ini butuh belajar, pun dalam memandang feminisme sebagai aliran dan sebagai gerakan sosial. Belajar memang sulit, dan tidak semuanya dapat dipahami. Tapi seengaknya, jangan pura-pura tuli dan sengaja menutup mata.

Mari belajar!

Oleh: Umi Hanik (LRC KJHAM)