Ilustrasi: pmiigusdur.com |
Oleh: Ahmad Aam
pmiigusdur.com - Sesudah banyak semester dikumpulkan, Ahmad Daud sampai di
ujung semester. Ia tidak menduga, waktu berlalu seperti kereta api yang
berjalan dari stasiun Poncol menuju stasiun Pasar Senen. Begitu cepat, tidak
ada macet-macetnya, pikirnya. Seketika saja, sekarang ia sudah berada di
stasiun Pasar Senen, tinggal turunnya saja.
Namun, meski sekarang ini sudah di stasiun Pasar Senen, ia
masih mengingat stasiun Poncol. Sama halnya dengan nasib kuliahnya. Meski sudah
semester empat belas, Daud masih mengingat semester-semester awal perkuliahan.
Daud masuk kuliah karena dorongan dari orang tua. Terutama
ibunya yang berharap salah satu anaknya bergelar sarjana. Karena kakak-kakaknya
belum ada yang bergelar sarjana. Keinginan ibunya tidak terlalu muluk-muluk
semacam beroleh kerja sebagai pegawai negeri atau hal-hal jauh lainnya setelah
sarjana. Yang terpenting adalah sarjana. Keinginan itu bisa terwujud, ibunya
percaya dan Ahmad Daud-lah yang bakal mewujudkan keinginan itu.
Berbekal restu dan dorongan orang tua, Ahmad Daud nekat
pergi sendiri ke sebuah kampus yang dikenal murah meriah. Cocok bagi kantong
kedua orang tuanya.
Tidak terlalu sulit, hanya butuh sedikit perjuangan, Daud
sudah masuk di jurusan yang sebenarnya tidak diketahuinya, namun tetap ia
yakini, "ini adalah jurusan yang cocok." Begitu ia selalu meyakinkan
diri ketika sedang berkaca di depan cermin sesaat seusai merapikan rambutnya.
Semuanya berjalan dengan baik. Ia dikenal dengan baik oleh
mahasiswa seantero kampus. Sampai satu dua orang temannya membikin sebuah
gurauan yang kemudian tersiar ke segala penjuru arah mata angin kampusnya.
"Jangan sekali-kali berani kuliah di sini, jika tidak mengenal Ahmad
Daud."
Ini cukup membuat Ahmad Daud betah kuliah di jurusan yang
sebenarnya tidak disukai namun tetap diyakini. Selain tentu saja karena
keberadaan cewek-cewek yang selalu digodanya.
Hingga suatu hari yang panas, Daud diminta keluarganya untuk
pulang ke rumah, namun ia tunda-tunda. Pikirnya, belum genap sebulan ia balik
dari rumah, mengapa ini diminta pulang lagi. Mendingan tidur dulu saja,
semalaman Daud begadang, belum tidur barang sejenak.
Selepas telepon genggamnya berbunyi berkali-kali dan
teman-temannya membangunkan, seraya membuka-buka pesan di telepon genggam Daud
berbicara lirih di depan teman-temannya, "dunia penuh dengan misteri,
semuanya tidak terduga."
"Memang begitu," balas salah satu temannya asal.
Daud lalu meminta temannya untuk mengantarkannya pulang.
Sebelumnya, temannya tidak ada yang mengiyakan hingga Daud memohon dan
menawarkan diri untuk memboncengkannya.
Di jalan, Daud seorang mahasiswa semester lima sedang
mengendarai motor Jupiter keluaran tahun 2005 dan memboncengkan temannya dengan
lambat, hanya kisaran 45 Km/jam saja. Bunyi dering telepon temannya tidak Daud
hiraukan. Hanya saja ia mengangguk ketika temannya bertanya setelah panggilan
itu diangkat dan suara orang di seberang telepon genggam sedikit terdengar oleh
Daud.
Perihal yang benar-benar tidak diharapkan terjadi. Ibunya
meninggal selepas kepergian kakaknya yang juga mendadak. Tanah kuburan kakaknya
masih basah dan belum genap empat puluh hari, ibunya sudah menyusulnya.
Sejak saat itu, Daud meyakini hal yang lain lagi: dunianya
adalah sebuah lelucon.
*
"Kamu sudah semester empat belas, tidak kenal
pejabat-pejabat negara?" Seniornya di sebuah organisasi besar kampus
bertanya sekaligus memandangnya dengan tatapan menghina. Ini bagi Daud.
Tapi ia tetap saja tersenyum dan menimpali. "Juga tidak
bisa bermain gitar."
Setelah kepergian ibunya. Dunianya adalah sebuah lelucon.
Kesehariannya sudah terjadwal dengan sangat baik. Di pukul
sembilan pagi, ketika ia membuka mata, pagi seperti menghantam kepalanya
berkali-kali. Dan angin seperti mendesau, "apakah ini hidup yang kau
cari?" Sebab itu, kepalanya bertambah semakin berat dan Daud memilih tidur
lagi hingga sore hari menyapanya dengan lembut "kau tidak lapar?"
Lapar adalah musuh sekaligus kawan baik Daud. Tak jarang ia
hanya makan sekali dalam dua hari. Lantaran inilah, ia begitu akrab dengan
kawan baiknya yang bernama lapar. Tapi ia juga memusuhinya, karena lapar
berarti butuh makan. Makan berarti butuh uang. Uang berarti meminta, karena
Daud tidak bekerja. Ia benci selalu minta uang pada bapaknya terus menerus.
*
Besok pagi Daud sidang. Sesudah bersemester-semester
menanggung beban pertanyaan, "kapan diwisuda?" oleh bapaknya. Oleh
kakak-kakaknya. Oleh senior-seniornya. Oleh teman-temannya. Oleh
junior-juniornya. Dan oleh orang-orang yang tidak sengaja ditemuinya sehabis
bertanya tentang kesibukannya hari-hari ini, yang tentu saja dijawabnya dengan
"masih kuliah." Selalu. Pertanyaan lanjutannya adalah berkenaan
dengan wisuda.
Dan sebenarnya juga oleh dirinya sendiri. "Kapan aku
diwisuda?" Atau pertanyaan yang lebih mendekati putus asa lainnya
"apakah aku bisa wisuda?"
Daud sungguh tidak mengira. Ia sampai di stasiun Pasar Senen
dengan selamat, juga barang bawaan berasal dari ibunya aman terkendali.
Selepas kepergian ibunya dan dunianya yang dianggap Daud
penuh dengan lelucon itu. Ia sanggup mengatasinya, meski terkadang tidak
berjalan mulus. Hari ini, ia hanya harus turun dari kereta api saja.
Awalnya, upayanya untuk berubah dipicu oleh ingatan tentang
harapan-harapan ibunya. Ingatan itu mengobrak-abrik dunianya yang sudah terjadwal
dengan sangat baik. Ia harus sarjana. "Ibu sudah meninggal, aku tidak
ingin membunuhnya sekali lagi, aku harus wisuda".
Segala cara ia tempuh. Beban SKSnya yang sudah menumpuk, ia
cicil sedikit demi sedikit. Hingga tiba di semester yang terbilang banyak, mata
kuliahnya sudah tuntas dan hanya menyisakan tugas akhir. Daud lalu mengajukan
judul untuk tugas akhirnya.
Semuanya berjalan dengan baik. Sehari-hari Daud berpacu
untuk menggarap tugas akhir. Ia praktikkan segala perkataan dari dosen
pembimbingnya, termasuk tidak boleh berjauh-jauhan dari laptop yang baru saja
dibelikan oleh bapaknya.
Dengan gilang gemilang, waktu yang ditunggu-tunggu itu sudah
diumumkan, sesudah tugas akhirnya rampung dan Daud mendaftarkan diri, ia
akhirnya beroleh jadwal sidang. Sidang itu akan dilaksanakan pada besok hari.
Daud berbahagia. Impian ibunya selangkah lagi bakalan bisa diwujudkannya.
Daud sudah merasa aman. Dokumen tugas akhirnya sudah
tersimpan dengan baik di flashdisk.
Tapi sebentar, flashdisk yang biasa Daud kalungkan di
lehernya tidak ada. Hanya menyisakan talinya saja. Daud kelimpungan mencarinya
sampai malam hari, namun tetap saja tidak kunjung ia temukan.
Daud sudah tidak percaya lagi dengan nasib baik. Di
pikirannya malam itu hanya satu, ia ingin mabuk. Ia ingin minum berbotol-botol
Congyang.
Esoknya, Daud dibangunkan oleh temannya. Ia diberi
bertumpuk-tumpuk tugas akhir. Sebuah tumpukan yang tidak ia ketahui isinya sama
sekali. Ia sempat menolak, tapi dipaksa oleh temannya. Dan temannya juga yang
mengantarkan Daud ke tempat persidangan. Daud berangkat dengan pakaian
serampangan. Rambutnya tak beraturan karena tak disisir.
Ia melangkah ke ruang sidang dengan wajah tidak begitu
bersemangat. Dan tentu saja juga tidak begitu meyakinkan.
Setelah satu jam, tibalah pada gilirannya untuk menyampaikan
hasil tugas akhirnya--lebih tepatnya hasil pekerjaan temannya--yang baru saja
ia baca beberapa bagian. Ia terbata-bata. Salah seorang dosen yang menyidangnya
bertanya.
"Anda mabuk?"
"Iya, Pak." Jawabnya dengan tatapan nanar serta
bau Congyang yang menyengat tercium hidung bila berada sejengkal dengan Ahmad
Daud.
Ngaliyan, 17 Februari 2020 - Ahmad Aam
0 Komentar