Ilustrasi: pmiigusdur.com
Oleh Syafiq Yunensa
pmiigusdur.com - Pada malam yang sunyi di kos yang sepi, Joni sendiri tiada yang menemani. Hanya HP kesayangannya dan Kopi. Ia sedang asyik menonton serial film kesayangannya Power Rangers atau dalam bahasa Jepang-nya Super Sentai.

Tak lama kemudian Boy datang setelah terdengar bunyi motor berhenti dari luar. Ia masuk tanpa mengucapkan sepatah kata pun dan rebahan dengan santuy-nya di samping Joni.

"Kamu masih nonton Power Rangers, Jon? Enggak inget umur? Wkwkwk..." Boy menertawakan Joni saat tahu bahwa sahabatnya menonton film anak-anak.

"Sssssttt... jangan brisik. Sini ikutan nonton dulu, baru bacot. Bagiku Power Rangers itu film yang sangat idealis, Bung!"

"Idealis apanya? Cuma bikin kamu mager, rebahan, dan enggak produktif. Inget besok sore kita ada konsolidasi terkait Omnibus Law. Mending baca-baca buku." Boy membalas ucapan Joni seraya membuka buku yang sampulnya dominan dengan warna merah dan hitam.

"Nah, mending baca buku aja, dari pada bacot mulu. Kan percuma baca buku kalo mulut bacot melulu hehehe..." Jawab Joni dengan santuy.

Boy diam tak membalas, bukan karena dia tak bisa mengeluarkan argumen lagi, tetapi karena dia sudah mulai asyik dengan buku di tangannya.

Keesokan harinya saat konsolidasi di kampus, Joni masih saja menonton film Power Rangers kesukaannya. Kebetulan saat itu episode terakhir dalam serial Power Ranger Guardian Angel (Goseiser).

Sampai konsolidasi menjelang akhir, Joni baru mengkhatamkan filmnya. Kebetulan saat itu moderator membuka sesi bicara terakhir karena sudah menjelang waktu magrib. Joni sebagai Koordinator Aksi dari fakultasnya mengacungkan tangan.

"Selamat sore, Kawan-kawan, salam sejahtera untuk kita semua. Hidup Mahasiswa!" Ucap Joni dengan lantang.

"Hiduppp!" Sahut kawan lainnya.

"Hidup Rakyat Indonesia!"

"Hiduppp!"

"Hidup Rakyat yang melawan!"

"Izinkan saya sedikit berbicara menambahi apa yang tadi kawan-kawan sampaikan. Saya mengibaratkan lusa ketika kita turun ke jalan sama saja seperti ketika Power Rangers berjuang melawan monster-monster jahat yang mengancam umat manusia," Joni sedikit menjeda ucapannya, melihat respon kawan-kawan yang lain. Ada yang heran, bingung, bahkan tertawa.

"Monster-monster tersebut dalam kisah Power Rangers juga membentuk satu kesatuan untuk menindas. Layaknya sistem oligarki yang sekarang kita lawan, mereka juga menggunakan manusia-manusia serakah yang ada di pusaran pemerintahan. Baru setelah mereka bisa menguasai sistem, mereka mulai menampakkan dirinya secara besar-besaran,"

"Mungkin yang sama kita tahu saat kecil, Power Ranger biasanya berjumlah dengan warna-warna berbeda, yang pasti dipimpin oleh warna merah, laksana semangat juang yang membara. Anggota Power Rangers pada awal episode biasanya tercerai-berai, tetapi ketika tahu bahwa dirinya dipilih menjadi Power Ranger, mereka beraliansi atau lebih tepatnya mengumpulkan diri pada suatu wadah dengan cita-cita yang sama, yakni membebaskan bumi dari oligarki monster-monster jahat," Joni menghela nafas panjang sebelum melanjutkan.

"Tak jauh berbeda dengan kita, andai semua warna atau elemen masyarakat bisa bersatu dengan satu tujuan, kita merembukkan suatu aksi yang terorganisir dan rapi, bukan hanya terdiri dari mahasiswa apalagi satu warna organisasi mahasiswa, tetapi melibatkan buruh, tani serta masyrakat luas. Anggap saja kita menjadi Power Rangers yang menggerakkan sekaligus menjadi garda terdepan dalam melawan oligarki para monster. Tinggal bagaimana caranya kita menyatukan elemen rakyat untuk satu tujuan soal hal ini, seperti yang dilakukan Power Rangers saat melawan monster-monster. Mereka juga butuh dukungan dari para manusia agar bisa menang." tuntas Joni.

"Hidup Power Ranger yang melawan!" Ucap salah satu mahasiswa yang hadir.

"Hiduppp!" Sahut yang lainnya.

"Pacarmu keren, Na. Dia bisa belajar dari apapun dan dalam keadaan apapun, ternyata kita juga melewatkan banyak hal dari apa yang kita sering tonton di masa kecil kita, hehe." Ucap Boy pada Riana, pacar kesayangan Joni yang sedang duduk di sampingnya.

Riana hanya tersenyum manis tanpa menjawab.


Penulis adalah Kader Aksara '18 dan Koor. Gusdurian Walisongo
Editor: Eykaz