Oleh: Abdul Ghofar
pmiigusdur.com - Krisis ekonomi yang melanda negara-negara Asia termasuk Indonesia pada kurun waktu pertengahan 1997 hingga 1998 menimbulkan krisis sosial dan politik. Dua dekade “kejayaan” corak ekonomi pertumbuhan (economic growth) menopang watak pembangunanisme seketika runtuh. Hal tersebut seperti mengulangi resesi ekonomi dunia yang dikenal sebagai malaise pada tahun 1929-1930. Pada saat itu ekonomi dunia yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi makro runtuh seketika seperti apa yang terjadi di Indonesia saat krisis ekonomi 1998 melanda. Jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, inflasi naik melambung hingga 77%, dan kontraksi ekonomi sebesar 33 % menimbulkan kekacauan yang berujung pada bangkrutnya industri, PHK massal, hingga kenaikan kebutuhan pokok. Campur tangan IMF hingga World Bank melalui aneka resep ekonominya justru semakin memperparah krisis.

Krisis ekonomi 1998 memicu kembali perlawanan rakyat pada rezim militeristik dan kapitalis Soeharto yang sebelumnya telah muncul namun direpresi berkali-kali. Perlawanan gerakan rakyat yang terdiri dari elemen mahasiswa, buruh, petani, hingga miskin kota terjadi di hampir seluruh daerah. Memasuki bulan Mei 1998 gerakan rakyat semakin menguat hingga mampu memaksa Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998. Gerakan rakyat yang disebut “Reformasi 1998” memang berhasil memaksa reorganisasi kepemimpinan nasional dan mendorong dibukanya pintu demokratisasi, khususnya pada pengakuan atas hak sipil dan politik warga. Hal tersebut dapat kita lihat dari agenda pasca reformasi yang muncul seperti: kebebasan pers; pembebasan tahanan politik; pembentukan partai politik baru; pembentukan serikat buruh; otonomi daerah; hingga penghapusan dwi fungsi ABRI.


Yang Terlewat dari Agenda Reformasi

Gerakan mahasiswa dan elemen rakyat lain memang mampu memaksa Soeharto turun dan membuka keran demokratisasi seluas-luasnya. Namun ada agenda reformasi yang terlewatkan seperti pembubaran partai Golkar, penuntasan kasus pelanggaran HAM, Penegakan hukum pada Soeharto dan kroninya hingga pengentasan kesenjangan ekonomi. Agenda reformasi pada aspek ekonomi, sosial dan hukum tersebut sesungguhnya melengkapi agenda sipil dan politik. Reformasi kemudian berlalu seiring euforia kebebasan sehingga “luput” membongkar akar dari masalah krisis dan ketimpangan yang selama 32 berdiri kokoh di bawah rezim Soeharto. Penetrasi kapitalisme sejak lahirnya Undang-undang Penanaman Modal Asing pada masa awal pemerintahan Soeharto tidak mampu dihentikan reformasi. Orang-orang kaya kroni rezim orde baru justru semakin kaya dan berkuasa pasca reformasi. Mereka kemudian bercokol dibalik politisi-politisi yang menangguk untung dari proses pergantian kekuasaan politik.


Dominasi Ekonomi Politik dan Meningkatnya Krisis

Kegagalan distribusi kesejahteraan dalam penguasaan ruang menjadi dalang dari langgengnya ketimpangan ekonomi. Riset Oxfam Indonesia pada tahun 2019 menyebutkan bahwa empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan setara seratus juta penduduk. Kemudian dalam level regional, Indonesia menempati peringkat kedua teratas sebagai negara dengan ketimpangan ekonomi tertinggi di Asia Tenggara. Dalam penguasaan ruang juga terjadi jurang ketimpangan yang sangat tinggi dengan rasio gini mencapai 0,68 % (BPS: 2013). Rasio gini penguasaan lahan tersebut dapat kita baca kalau 1 % penduduk menguasa 68 % lahan. Hal tersebut dibuktikan dengan besarnya pelepasan izin sektor kehutanan, perkebunan dan pertambangan yang mencapai 163 juta hektar atau 12 kali luas pulau Jawa. Film Sexy Killer yang dirilis menjelang Pilpres 2019 persis menceritakan dominasi penguasaan ruang oleh konglomerat yang sebagian merangkap politisi.

Ketimpangan akan terus berlanjut seiring dengan agenda pembangunanisme fase kedua pasca reformasi. Investasi digenjot untuk memuluskan aneka ragam proyek infrastruktur berkedok pemerataan ekonomi yang sesungguhnya adalah “jalan tol” bagi penetrasi kapital ke daerah-daerah. Esktrasi dan eskploitasi sebagai corak produksi kolonial melalui pertambangan mineral, batubara, migas hingga perkebunan kelapa sawit masih akan terus berlangsung. Negara justru menjadi fasilitator utama dengan menyediakan aneka regulasi hingga jaminan keamanan tingkat tinggi. Susilo Bambang Yudhoyono misalnya pada tahun 2011 mengeluarkan Master Plan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indoneisa (MP3EI) yang berujung pada perampasan tanah dan pelanggaran HAM.[1] MP3EI di masa pemerintahan Joko Widodo secara konsep memang tidak lagi dilanjutkan, tetapi dalam substansi direplikasi melalui kebijakan Proyek Strategis Nasional (PSN). Melalui PSN inilah muncul agenda percepatan pembangunan seperti proyek Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), Proyek Listrik 35 ribu MW, Pembangunan Bandara, Pelabuhan hingga jalan tol.

Pada akhirnya rakyat menjadi korban dari ambisi pembangunanisme demi memuluskan penetrasi kapital atas nama pertumbuhan ekonomi. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat ada 1.771 konflik agraria tahun 2014-2019. Konflik agraria periode pertama pemerintahan Jokowi tersebut didominasi oleh negara dan korporasi sebagai pelakunya. Lalu siapa yang menangguk untung? Jawabannya adalah oligarki. Segelintir orang tetapi sangat berkuasa sehingga dapat mengatur kebijakan negara. Oligarki sesungguhnya merupakan dalang dari polarisasi Pemilu 2014 dan berulang pada pemilu 2019 yang memecah belah kita. Segregasi tersebut berimplikasi pada matinya nalar kritis pada penguasa. Satu-satunya harapan kita dengan situasi menguatnya kuasa oligarki dan menguatnya polarisasi adalah dengan persatuan rakyat.


Dinamika Gerakan Rakyat Pra dan Pasca Reformasi

Represi Soeharto terhadap gerakan dilakukan dengan cara memaksakan wadah tunggal organisasi. Munculnya organisasi semacam KNPI, SPSI hingga HKTI adalah contoh upaya orde baru memberangus gerakan. Di level mahasiswa muncul kebijakan depolitisasi kampus melalui NKK/BKK. Dalam situasi tekanan, gerakan rakyat memunculkan strategi perlawanan tanding dalam bentuk pengorganisasian rakyat secara halus (transformasi sosial). Mulai lahir organisasi sipil yang membawa agenda perubahan sosial. Gerakan mahasiswa juga tidak lantas padam karena lahir bentuk perlawanan lain melalui kelompok studi kritis dan keterlibatan mahasiswa di akar rumput. Analisis sosial menjadi bagian tak terpisahkan dari corak gerakan menjelang reformasi 1998.

Setelah reformasi 1998, persatuan elemen gerakan mulai memudar karena tidak adanya agenda dan musuh bersama. Sebagian elemen gerakan masuk gelanggang politik, sebagian lain melanjutkan kerja gerakan sosial. Pengorganisasian rakyat mulai ditinggalkan, nalar kritis mulai ditanggalkan dan patronase kepada tokoh dibudayakan. Praktis setelah reformasi memang tidak ada gerakan perlawanan skala nasional kecuali sesekali saat terjadi kenaikan bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar listrik, dan kenaikan bahan pokok. Sebagian besar orang yakin kalau kita berada di jalur yang tepat dan tidak akan mengulang otritarianisme orde baru.


Pertanda Orde Baru Kembali

Pergantian pemerintahan memang berganti secara reguler melalui pemilihan umum sebagaimana ciri negera demokratis. Sayangnya watak kapitalistiknya sama sekali tidak berubah. Penggusuran, perampasan lahan, penyingkiran masyarakat adat, perusakan lingkungan,razia buku, pelarangan diskusi, kriminalisasi terjadi dimana-mana. Negara kembali dengan regulasi pro investasinya dengan mengabaikan resiko pelanggaran HAM dan lingkungan. Hal paling kita ingat dari pertanda orde baru bangkit adalah saat masa transisi pemerintahan pasca Pemilu 2019. Di masa tersebut pemerintah dan DPR berkongsi untuk melahirkan berbagai peraturan perundangan yang menguntungkan investor di satu sisi dan mengancam keselamatan rakyat di sisi yang lain. Muncul gerakan perlawanan dari elemen gerakan rakyat merespon agenda reformasi yang dikorupsi. Terjadi gelombang protes di berbagai daerah yang membuahkan kemenangan kecil dengan berhasil ditundanya paket kebijakan tidak pro rakyat tersebut. Gerakan #Reformasidikorupsi barangkali merupakan gerakan rakyat terbesar pasca reformasi. Tetapi sesungguhnya gerakan tersebut masih sporadis, spontan, dan tak memiliki daya tahan.


Proyeksi Gerakan Rakyat ke Depan

Melawan kuatnya oligarki tentu tidak cukup dengan gerakan sporadis, spontan dan tak memiliki daya tahan. Kemenangan kecil gerakan #Reformasidikorupsi tak berarti apapun karena negara telah menyiapkan kado pahit lain untuk rakyatnya dalam bentuk RUU Omnibus Law. Sebuah payung Undang-undang untuk memangkas regulasi dan perizinan yang selama ini dianggap menyulitkan investasi.

Persekongkolan jahat political society (negara) dengan economical society (korporasi) hanya bisa dihentikan oleh bersatunya civil society (rakyat). Fragmentasi gerakan karena perbedaan cara pandangan, ideologi dan eksistensi organisasi harus dikesampingan. Konsolidasi seluruh elemen gerakan rakyat perlu dilakukan. Turun basis, pengorganisasian, diskursus kritis dan gerakan jalanan barangkali perlu kembali dilakukan. Hanya dengan pra syarat itulah perlawanan rakyat akan mampu menumbangkan kesewenangan kekuasaan. Sebaliknya jika gerakan rakyat terpecah belah apalagi sebagian menghamba penguasa maka penindasan akan semakin mulus jalannya.

Semarang, 24 Februari 2020 - Abdul Ghofar
Editor: Eykaz

[1] Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah dikeluarkan untuk memuluskan penyediaan lahan proyek MP3EI