Oleh: Pena Nestapa
Waktu itu curah hujan cukup deras, sehingga membuat dua orang bernama Lolot dan Tahes yang bersahabat sejak awal masuk SMA itu terjebak di sebuah warung kopi. Yang mana warung tersebut cukup terkenal di kalangan telinga pemuda pegiat seni dan budaya.
“Hujan juga belum reda semanjak kita sampai di tempat ini, Hes” ungkap Lolot.
“Iya, Lot. Sudah tiga jam kita di sini, awan tetap saja stagnan dalam menurunkan air. Sedangkan, beriringan dengan waktu yang sudah berlalu kita telah menghabiskan dua bungkus rokok dan beberapa buku koleksi kange,” saut Tahes.
Selang beberapa waktu, kejenuhan keluar dari raut muka Lolot. Karena bosan dengan suasana yang sunyi tanpa obrolan sedikitpun. Sedangkan Tahes, tersenyum sendiri dan sejadi-jadinya karena asyik mengikuti alur cerita dari novel berjudul Pride & Prejudice karya Jane Austen.
“Noh, senyum-senyum sendiri dengan buku, Hes… Tahes” celetup dari mulut Lolot jengkel dengan reaksi Tahes saat membaca buku.
“Nah loh, orang kalau sedang baca buku kok senyum-senyum sendiri berarti ada sebuah kalimat yang sesuai dengan humor pembaca, bagiku. Hahaha,” sembari tertawa Tahes menanggapi ucapan lolot.
Jengkel dengan tanggapan tersebut, Lolot berusaha membuat Tahes meninggalkan buku tersebut dengan sebuah pertanyaan.
“Eh, kemarin katanya ada aksi yang melibatkan mahasiswa dari berbagai kampus. Benar enggak sih, Hes?” tanya Lolot.
“Benar lot, kemarin ada aksi menolak kebijakan baru yang dikeluarkan oleh pemerintah, yang mana kebijakan tersebut tidak berpihak pada wong cilik”.
"Alih-alih berpihak pada wong cilik. Orang tiada badai, tiada topan, tiba-tiba kebijakan ada tanpa melibatkan masyarakat dan melihat keadaannya," lanjut Tahes dalam hati.
“Emang aksi itu perlu ya, Hes? Bukannya ada sebuah jalan lain untuk menggagalkan sebuah kebijakan selain aksi?” sahut Lolot.
“Iya memang ada, tapi mau bagaimana lagi? Ketika para pakar ahli sudah mengingatkan, memberi kritik, hingga ada yang berusaha menemui Si Pembuat untuk menggagalakan kebijakan tersebut, tetap saja tidak didengar. Malah dibantah melalui media bernama Wacana Pemerintah dengan statement bahwa orang yang berusaha mengagalkan kebijakan tersebut sedang tidak waras karena tidak kebagian proyek. Melihat keadaan yang seperti ini maka lain tidak lain, mau tidak mau, terpaksa tidak terpaksa. Ya harus aksi, Lot” ungkap Tahes.
Sambil menikmati kopi yang mulai habis, Lolot berusaha mencari tahu tentang aksi yang diadakan oleh Aliansi BEM Kota Nuansa (ABKN) di depan gedung DPRD pada kemarin hari dengan slogan “Lawan Kapitalisme Bangsa Sendiri!” Sebenarnya, Lolot sudah memendam pertanyaan ini dan memang ingin menanyakannya kepada Tahes. Karena sahabatnya ini menjadi Korlap di kampusnya.
“Bukannya mengatakan bahwasannya aksi kemarin tiada guna. Tapi, aksi di bawah terik matahari siang bolong dan panas bukannya bikin capek dan kulit hitam ya, Hes? lanjut Lolot berusaha memancing amarah Tahes supaya lebih menggebu-gebu ketika bercerita.
“Betul, apa yang kamu ungkapkan, benar dan tidak merendahkan aksi kemarin. Akan tetapi panas dan capeknya aksi kemarin tiada artinya ketika kebijakan tersebut berhasil digagalkan, Lot!” semabari menyalakan rokok, “Ingat lot! Man Jadda Wa Jada itu berbarengan dengan Wamalladzatu illa ba’da ta’bi, boleh dikata pelajaran Mahfudzot ini kita dapat saat masih MTs. Tapi kalimat ini lot, yang membuatku semakin yakin bahwa berapapun jumlah massa yang berangkat aksi bila dibarengi dengan usaha, tekat dan kajian yang matang. Maka sekuat apapun pertahanan dan sekeras apapun pemerintah dalam mempertahankan kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat, pasti akan membuahkan hasil” tegas Tahes sembari menghembuskan asap rokok.
“Jadi hes, apa yang dikatakan oleh Bung Karno bahwasannya kita bukan saja harus menentang kapitalisme asing, tetapi kita juga harus menentang kapitalisme bangsa sendiri itu benar ya, Hes? Meski sesulit apapun itu harus tetap kita lawan, ya?” tanya Lolot sedang mengingat sambil menggaruk kepala hingga rambutnya jadi acak-acakan.
“Boleh dikata benar apabila memang ada sebuah solusi yang kongkrit atas permasalahan tersebut. Tapi kenyatanya, Soekarno sendiri pada saat itu tidak melawan kapitalisme bangsa sendiri, ia lebih mementingkan persatuan bangsa daripada melawan bangsa sendiri, ” jawab Tahes. “Boleh dikata pada saat itu Soekarno sedang tidak tertarik dengan polah-tingkah kapitalis dan borjuis bangsa sendiri, karena perannya masih kecil, dan pada saat itu pula hal yang harus diutamakan adalah kemerdekaan negara Indonesia.” lanjut Tahes sembari membolak-balik buku saku penuh dengan catatan.
Kedua sahabat ini sangat menikmati alur pembicaraan, hingga akhirnya Lolot baru sadar kalau hujan sudah reda dan berusaha menghentikan apa yang sudah ia mulai. Sedangkan Tahes masih bersikeras menjelaskan apa yang telah dilakukan pada kemarin hari. Akan tetapi ada hal yang terngiang dalam pikiran Lolot, di mana Tahes mengatakan bahwasannya pada saat Bung Karno dan tokoh-tokoh terdahulu masih hidup, yang mereka lawan adalah bangsa asing dan persatuan bangsa sendiri adalah kunci. Terbukti dari beberapa judul karyanya: Nasionalisme, Islamisme, dan marxisme; Kapitalisme Bangsa Sendiri; Non-Cooperation Tidak Bisa Mendatangkan Massa-Aksi dan Machtsvorming; dan lain sebagaimnya.
“Oke, kayaknya hujan sudah reda. Kita balik, yuk! Sebelum balik, bolehlah menyimpulkan sedikit apa yang sudah kita bicarakan hari ini, hehehe” ujar Lolot mengajak untuk pulang dan mengakhiri pembicaraan.
“Boleh dikata senjata yang canggih sangatlah berbahaya. Boleh dikata seseorang yang memiliki pemikiran progresif, tahu peta politik, ekonomi dan permasalahan yang sedang terjadi serta berhasil membuka tirai atas apa yang terjadi terhadap masyarakat itu berbahaya. Boleh dikata kebijakan yang menindas rakyat tidak bersalah juga berbahaya, lalu bayangkan di saat hal-hal tersebut hanya membuat rakyat kecil tertekan, termarjinalkan, dan tidak mendapatkan hak-haknya maka akan ada sesuatu yang lebih berbahaya dari bahaya tersebut. Yaitu persatuan! Ya, persatuan yang mana persatuan melawan atas hal-hal yang merugikan dan menindas!” ucap Tahes sembari berjalan menuju kasir untuk membayar.
“Bilang saja, bahwa ada yang lebih berbahaya yaitu persatuan. Gitu aja kok boleh dikata mulu.” Ungkap Lolot dalam hati.
Editor: Eykaz
Ilustrasi: pmiigusdur.com
0 Komentar