Oleh: Ifah

pmiigusdur.com - Harus diakui bahwa saat ini kita sedang mengalami darurat kekerasan seksual. Kasus-kasus kekerasan yang mulai mencuat di akhir tahun 2019 hingga awal 2020 ini, haruslah menggugah kesadaran kita semua. Bahwa, mesti ada gerakan bersama untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual terhadap perempuan.

Siapakah Pelaku?

Kasus kekerasan seksual yang semakin sering terjadi, mulai bermunculan karena berbagai kemungkinan. Kemungkinan sebab semakin meningkatnya jumlah pelaku kekerasan seksual, ataupun semakin banyaknya korban yang berani bersuara di ruang publik mengenai kasus yang mereka alami. Hal ini seharusnya dapat menjadi perhatian lebih bagi kita semua. Karena sebagian besar dari pelaku kekerasan seksual yang terjadi, tidak lain adalah orang-orang terdekat kita sendiri.

Menurut data yang diperoleh melalui pengisian angket peserta SGA (Sekolah Gender dan Advokasi) yang diselenggarakan oleh LPSAP (Lebaga Pengembangan Studi Advokasi dan Perempuan). Baik pengalaman pribadi sebagai penyintas, maupun pengalaman pribadi yang diperoleh melalui pengalaman dari teman atau orang lain. Sebanyak 15 dari 25 korban mengalami kekerasan seksual oleh orang-orang terdekat. 4 responden menyatakan bahwa pelaku merupakan teman dekat korban, 4 lainya merupakan  kekasih korban, 1 di antaranya merupakan guru/dosen, dan 5 diantaranya merupakan anggota keluarga yaitu: ayah, kakek, saudara kandung, dan suami. Sementara 10 responden lebihnya, menyatakan bahwa pelaku kekerasan seksual berasal dari orang-orang yang tidak dikenal.

Selama ini banyak korban kekerasan seksual yang disalahkan karena dianggap memicu terjadinya aksi kekerasan seksual. Tetapi, siapa yang akan mengira jika pelaku merupakan orang-orang terdekat kita sendiri? Orang-orang yang seharusnya dapat melindungi kita dari berbagai ketidakamanan, justru berbalik menjadi pelaku kejahatan itu sendiri.

Bagaimana Respon Para Korban?

Respon yang dialami korban pun bermacam-macam. Mengingat bahwa pelaku adalah orang terdekat, hal tersebut menyebabkan korban lebih banyak untuk memilih diam ketimbang speak up di ruang publik. Menurut data dari responden peserta SGA yang kami dapat, bahwa 15 dari 25 korban lebih memilih diam daripada melaporkanya kepada pihak berwenang. Hal ini dikarenakan masih banyaknya anggapan bahwa perlakuan yang mereka dapat merupakan bentuk rasa kasih sayang yang disalurkan oleh orang orang terdekat mereka. Baik ayah kepada anaknya, kakek kepada cucunya, maupun kaka kepada adiknya. Ataupun asumsi bahwa kasus yang mereka alami merupakan aib yang harus dijaga kerahasiaanya, sehingga tidak ada seorang pun yang perlu mengetahui selain dirinya dan pelaku tersebut. Sedangkan 10 korban yang responden paparkan, memilih untuk melapor pada pihak berwenang. Seperti Ketua RT, kantor polisi, hingga melapor kepada lemabaga pengada layanan.

Kekerasan Seksual Jenis Apa Sajakah yang Korban Terima?

Persoalan ini tentu saja menjadi tanggung jawab pemerintah, yang dirasa masih gagal dalam hal penyebarluasan edukasi dan sosialisasi mengenai isu ini. Baik edukasi mengenai kesehatan reproduksi maupun edukasi mengenai consent, batas-batas anggota badan yang boleh disentuh orang lain dan juga kejahatan kekerasan seksual.

Selain itu juga, menurut data responden yang kami terima, jenis kekerasan seksual yang korban terima sangat beragam sekali. Mulai dari catcalling, pemerkosaan, pelecehan seksual, hingga eksploitasi seksual.

Akan tetapi, banyaknya jumlah korban yang mulai berkelimpangan tidak dapat terselesaikan dan ditangani begitu saja. Dikarenakan belum adanya payung hukum yang dapat melindungi para korban dari berbagai kasus yang terjadi. Permasalahan mengenai kekerasan seksual dalam hukum, hanya diatur dalam RKUHP pasal 294. Itu pun hanya tercantum dengan diksi pencabulan, yang berarti peraturan tersebut tidak dapat mewadahi sedemikian banyaknya macam kasus kekerasan seksual yang dialami oleh korban-korban baik penanganan, perlindungan, keamanan, dan juga pidana.

Beberapa saat lalu, KOMNAS Perempuan telah memelopori gerakan untuk mendukung pengesahan RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual). Draft tersebut sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas DPR tahun 2016 silam. Akan tetapi, draft RUU PKS tersebut tak kunjung disahkan, bahkan mangkrak. Bahkan hari ini ditumpuk dengan berbagai draft Undang- undang baru yang dialibikan sebagai regulasi untuk melindungi perempuan sepreti halnya RUU Ketahanan Keluarga. Namun faktanya, RUU Ketahanan Keluarga tersebut justru mendiskriminasi perempuan menjadi makhluk ter-subordinat dan inferior dengan menempatkan Istri (perempuan) sebagai pelayan bagi anak dan suami yang tercantum dalam Pasal 25.

Dalam hal ini, sangat diperlukan sekali adanya kesadaran dari masyarakat bahwa perempuan memiliki hak yang sama sebagaimana dengan laki-laki. Kita semua perlu sengkuyung bareng mendukung terlaksananya pengesahan RUU PKS, demi terwujudnya keadilan perempuan korban kekerasan seksual. Seperti halnya tidak akan ada keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa adanya Keadilan HAM. Tidak ada keadilan HAM, tanpa adanya keadilan terhadap perempuan.



Penulis adalah Ketua Lembaga Pengembangan Studi Advokasi dan Perempuan (LPSAP) tahun 2019-2020.
Editor: Eykaz
Ilustrasi: pmiigusdur.com