Oleh: Yazik Sadikin
pmiigusdur.com - Makanan di mulut Aab baru terkunyah 31 kali saat surat itu datang. Amplop surat digeletakkan di sisi piring, tepat di tempat gelas es teh sebelumnya beradaYoghia, kawan Aab, meneguknya sekali dan menaruh sisa es teh di hadapannya. Begitulah tabiat kawan karib; satu untuk semua, semua untuk satu.

"Surat dari atas, Bang. Imbauan pengosongan kantin," kata Naif, membeberkan isi amplop tanpa membukanya. Tangannya mengipas-ipas amplop yang basah oleh lingkaran air. "Demi ketertiban, katanya."

Kabar mengejutkan itu tak mampu dicernanya, meski ia telah menuntaskan praktik kunyah 32 kali—konon hal itu dapat membuatnya mudah dicerna dan diserap tubuh. Ia menelan kabar itu beserta nasi pera di mulutnya, menjadikan kerongkongannya seret, dan nyaris membuatnya tersedak. Tentu matanya segera mencari di mana gerangan si gelas es teh.

Segelas es teh itu tampak luhur di antara gelas-gelas tandas, embunnya bercucuran, seolah-olah mengatakan,  "Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu?"

Tanpa menjawab, Aab langsung menyosor bibir gelas, menenggak hampir separuh isinya, lalu mengeluarkan bunyi 'ah' tapi bukan kelegaan, melainkan sejenis keresahan.

"Alamak," serunya setelah berdeham dua kali, tenggorokannya masih agak seret. "Jadi ini yang mereka bilang ‘renovasi’? Gampang sekali menuduh kumuh dan mencoba menertibkannya.”

Naif hanya mendengus, membuang napas.

“Bangunan apa lagi yang bakal mereka dirikan, Ya Tuhan?”

“Tampaknya orang-orang atas tengah terjangkit semangat membangun Tuan Presiden,” sahut Yoghia, hingga kemudian tangannya terkepal, lantas mengayunkannya seraya berseru, “Kerja, kerja, tipes!” Perkataannya membuat yang lain bergeming saja. Ia lantas membuang muka dan menyeringai sinis.

Naif masih bergeming. Ia tak tahu harus berbuat apa dalam kondisi demikian. Mulut dijaganya agar tak keceplosan berkata tak patut. Sebenarnya ia sungguh kasihan dengan Aab, dan para penyewa kios kantin lainnya, tentu saja. Namun, di posisinya sebagai kaki tangan atasan, ia tak ubahnya kaki dan tangan bapak polisi yang ringan menendang dan menggebuk. Mereka tak mungkin menjegal dirinya sendiri, begitu juga mementung kepalanya sendiri.

Aab tak lagi berselera. Sendok dan garpu ditelungkupkan, lalu beranjak pergi ke kiosnya. Seseorang tengah berdiri di hadapan meja pesanan, mengamati papan menu dengan saksama. Tangan kirinya menggenggam dompet, barangkali di kepalanya tengah terjadi perhitungan rumit, penuh pertimbangan di masa tanggal tua.

“Bang, nasi rames dan es teh,” sergah Naif, lanjut cengar-cengir.

Aab mengangguk, mengepakkan kedua alisnya. Ia memberesi piring dan gelas kosong di atas meja, kemudian melenggang ke kios, membawa serta surat keparat itu. Sementara Yoghia, tak lama kemudian juga pamit, usai menandaskan sisa es teh.

Naif tinggal seorang diri, dan tetap begitu hingga pesanannya datang. Aab tentu lebih memilih berjaga di kiosnya. Tak ada yang lebih membikin hati senang ketimbang pembeli berdatangan, meski jargon menjemukan itu terus saja bergema, “Kerja... kerja... tipes....”

***

Dua hari menyusul kedatangan surat perintah itu, tibalah. Itu adalah batas akhir masa pengosongan kantin. Mereka begitu cerdik, menaruh tenggat itu di akhir pekan, di mana para mahasiswa tengah libur berkuliah, dan tentu saja tak cocok membuka kios di saat seperti itu.

Surat Perintah Pengosongan Kantin (Super Pekan) itu tak kalah dahsyat dengan Supersemar, mengatasi situasi yang ‘buruk’—kalian benar-benar memberi para penyewa kios kantin itu pekan yang super, Bapak-bapak!

Para pemilik kios tengah sibuk, sekaligus bingung, memberesi perkakas mereka. Mau dibawa ke mana onggokan perkakas itu? Tidak tahu. Mau apa dan ke mana mereka setelah meninggalkan tempat itu? Tidak tahu. Perintah pengosongan itu tak memberikan jeda untuk berpikir dan bersiap. Mereka menganggap kios-kios itu seolah-olah gerobak kaki lima yang dapat dibereskan dengan mudah—tinggal masukkan gerobak dan doronglah!

Naif dan beberapa rekan kerjanya datang, memenuhi janjinya untuk memberikan bantuan, kapan lalu. Mereka tak terlalu disambut, orang-orang masih sibuk mengurusi perkakas masing-masing. Para utusan itu membantu sekenanya, dan orang-orang tetap tak menggubrisnya, mereka tampaknya tak mengharapkan bantuan itu. Sesekali terjadi percakapan, namun lebih sering yang hanya menghasilkan jawaban 'ya' atau 'tidak'.

Salah seorang utusan atasan itu terus saja mencerocos perihal kebaikan adanya Food Court. Gedung ‘kantin modern’ itu memang tampak lebih asri dan tertata, namun dulunya ia juga merupakan ‘kantin lama’, yang katanya kumuh dan tak tertib.

“Dengan adanya Food Court,” satu di antara rekan Naif mengawali, “orang-orang akan merasa nyaman membeli makanan. Apalagi ditambah banyak sekali kios dengan beragam menu di sana.”

“Ya,” timpal Aab, tanpa menoleh, “tapi tak ada kios kami di sana.”

Semuanya terdiam, cukup lama. Acara beres-beres itu terus berlanjut, dengan semakin sedikit obrolan. Naif tepekur memikirkan perkataan rekannya, yang menurutnya tak patut, seperti membicarakan hunian mewah pada korban penggusuran rumah. Ia tetap memilih hati-hati berbicara, sebelum ia menawari untuk membeli satu-dua perkakas salah seorang penyewa kios lain, yang berkata ingin menjual sebagian perkakas, sebab indekosnya tak bakal mampu menampung semua itu.

“Kau tak hendak merebus air mata kami dengan panci itu, kan?” tanya penyewa kios itu, memandangi Naif.

Naif pun diamlah, begitu juga rekan-rekannya, tak hendak berkomentar apa pun lagi.

Acara beres-beres itu rampung sudah. Para mantan penyewa kios pergi satu per satu, meninggalkan Naif dan para utusan. Pekerjaan itu membuat mereka tampak sedikit kelelahan, dan menginginkan sepiring makan siang lezat. Mereka baru menyadari, pengabul keinginannya itu baru saja minggat.

Satu di antara mereka mengusulkan untuk makan di kantin lainnya di wilayah itu. Usulan itu diiyakan yang lain. Naif manut saja.

***

Sakerah, penjaga kantin Karana dekat masjid—masih sewilayah dengan bekas kantin Aab. Meski sudah tua, namun penglihatannya masih setajam burung hering raja, yang mampu melihat bangkai dari kejauhan. Dan anugerah itu membuatnya dapat menyadari gerombolan pria berkaus polo hijau—banyak yang tahu bahwa mereka adalah bagian orang-orang atas—kini tengah berjalan menuju kiosnya. Tentu ia telah mendengar kabar pengosongan kantin di wilayahnya, dan tak pelak itu bakal menghantamnya pula.

Sakerah segera bersiap dengan para pegawainya, menutup kiosnya meski ada beberapa pembeli tengah menyantap pesanan mereka. Jika kantinnya kelak bakal dialihfungsikan, ia hanya ingin itu menjadi musala, atau masjidsebagaimana mulanya bangunan asli kantin itu. Namun, apa guna dua masjid berdampingan bila tak banyak yang berminat mengunjungi?

Gerombolan kaus polo hijau itu telah mengerumuni meja pesanan, bergumam membaca daftar menu, dan Sakerah sekonyong-konyong berkata,

“Mohon maaf, Bapak-bapak, kami akan tutup sesuai jadwal baru kami, jam dua siang untuk hari Sabtu. Jika ingin, kembalilah besok Senin.”

Gerombolan itu tercenung, saling memandangi di antara mereka.

“Sekali lagi mohon maaf. Demi ketertiban,” pungkas Sakerah sopan, diikuti para pegawainya yang mulai menutup kios.

Begitulah mereka bertolak dari situ, diiringi tatapan bingung orang-orang, dan tentu saja meninggalkan uang pembayaran makanan sebagian pembelinya.



Penulis: Yazik Sadikin, mahasiswa likuran tahun
Editor: eykaz
Ilustrasi: pmiigusdur.com