Oleh: Kang Irsyad
pmiigusdur.com - Beberapa tahun terakhir, citra agama kian jatuh dalam keterpurukan. Agama seakan menjadi momok yang menakutkan. Teror dan segala bentuk kekerasan lainnya seringkali terjadi dengan dalih keagamaan. Di tingkat nasional, aksi-aksi kekerasan atas nama agama juga sering terjadi. Ada banyak aksi kekerasan yang berfragmen Suku, Agama, Ras (SARA), di antaranya; penyerangan terhadap Jama’ah Ahmadiyah dan Syiah di Cirebon, penolakan Gereja Baptis Indonesia Tlogosari, dan masih banyak kasus-kasus lainnya. Hal itu menjadi potret buram keberagaman kita, tentunya.

Melihat fenomena di atas, sebagai mahasiswa pergerakan yang menempatkan ajaran Islam dan Pancasila sebagai pijakan organisasi. Maka, kader-kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) harus semakin giat menyebarkan nilai-nilai Islam dan Indonesia untuk keberlangsungan kebhinekaan di Indonesia. Salah satu ajaran yang menjadi ideologi  PMII adalah ahlussunnah wal jamaah dan salah satu rujukannya adalah al-Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari

Dalam kesempatan diskusi dengan nama: Tadaraus Aswaja. Biro Sosial dan Keagamaan (Soskem) PMII Rayon Abdurrahman Wahid mendiskusikan khusus ajaran tokoh tersebut, yaitu Asy'ariyah. Hal semacam ini penting agar kita tahu secara jelas mengenai sanad keilmuan.

Tokoh yang menginisiasi aliran Asy'ariyah adalah Abu al-Hasan bin Isma'il al-Asy'ari, keturunan dari Abu Musa al-Asy’ari yang merupakan salah seorang perantara dalam sengketa antara Ali dan Mu’awiyah. Asy’ari lahir tahun 260 H/873 M dan wafat pada tahun 324 H/935 M. Pada waktu kecilnya ia berguru pada seorang Mu’tazilah terkenal, yaitu al-Jubba’i untuk mempelajari ajaran-ajaran Mu’tazilah dan mendalaminya.

Aliran ini diikutinya terus sampai berusia 40 tahun. Tidak sedikit dari hidupnya digunakan untuk mengarang buku–buku kemu’tazilahan [1]. Ketika Al-Asy’ari berusia 40 tahun, ia bersembunyi di rumahnya selama 15 hari, kemudian keluar menuju masjid dan berkhotbah di atas mimbar. Ada dua versi khotbah Asy’ari.

Pertama, diceritakan Ibnu Khaldun sebagai berikut: Siapa yang mengenalku, maka ia telah mengenalku. Dan siapa yang tidak mengenalku, maka aku perkenalkan diriku. Aku adalah fulan bin fulan. Dulu aku mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, bahwa Allah tidak dapat dilihat. Bahwa manusia menciptakan perbuatan buruknya sendiri. Kini aku bertaubat dari ke-mu’tazilah-an dan meyakini perlunya membantah serta membeberkan kebusukan-kebusukan Mu’tazilah.[2]

Kedua, diceritakan as-Subkhi sebagai berikut: Wahai orang-orang! Aku menghilang selama ini untuk berpikir dan menimbang dalil-dalil. Tetapi tidak kutemukan satu dalil pun yang lebih kuat dari dalil yang lain, hingga aku meminta petunjuk Allah. Dan Allah memberiku petunjuk kepada suatu keyakinan yang aku tuliskan dalam buku-buku ini. Aku telah melepaskan diri dari segala keyakinan yang aku yakini selama ini sebagaimana aku melepas bajuku ini. Di akhir khotbahnya, Asy’ari melepas bajunya dan melemparnya. Kemudian ia menyerahkan buku-buku yang ia tulis sesuai aliran ulama fikih dan hadis kepada orang-orang yang hadir. [3]

Singkat cerita tentang alasan keluarnya Asy’ari dari Mu’tazilah, as-Subkhi menyebutkan bahwa Asy’ari keluar dari Mu’tazilah setelah bermimpi bertemu RasulullahDalam mimpinya, Rasulullah memerintahkan agar Asy’ari membela ajaran  Rasulullah dengan ilmu kalam. Tetapi, bisa jadi ada alasan lain yang mendorong Asy’ari keluar dari Mu’tazilah.

Hal di atas dapat disimpulkan bahwa dalam pengasingannya, Asy’ari tidak menemukan pendapat yang benar hingga akhirnya ia mendapat petunjuk dari Allah. Artinya, Asy’ari sempat mengalami situasi di mana ia meragukan semua pendapat-pendapat teologis yang ada. Walhasil, alasan keluarnya Asy’ari mulanya di dorong oleh ketidakpuasan dan keraguan yang bersifat rasional dan berakhir dengan ditemukannya keyakinan tentang ideologi yang benar melalui mimpinya.

Selama pengembaraan intelektualnya, Asy’ari telah banyak menghasilkan karangan. Ibnu Asakir mencatat daftar panjang buku karangan Asy’ari yang kebanyakan merupakan bantahan Asy’ari terhadap teologi sekte lain dalam islam, maupun teologi agama lain. Dari sekian buku, tercatat ada empat yang terkenal yaitu: Al-Ibanah, Al-Luma’ fi al-Rodd, Maqalat Al-Islamiyyin, Istihsan al-khaud.

Bagi para pengikutnya, Asy’ari adalah imam yang pendapatnya diikuti dan dijadikan rujukan. Dengan kata lain, pendapat Asy’ari-an sesuai kaidah-kaidah teologis Asy’ari. Tetapi tidak demikian bagi sebagian pengikut Ibnu Taimiyah, yang kemudian diwarisi oleh wahabi. Bagi mereka, pendapat dan metodologi Asy’ari sesuai dengan pendapat metodologi Ahmad bin Hanbal, namun para Asy’arian telah melenceng dari ajaran imamnya, yaitu Asy’ari. Klaim bahwa wahabi didasarkan pada kitab Al-Ibanah yang banyak memuji Ahmad bin Hanbal dan sering menggunakan metode tafwid. Menurut mereka, Al-Ibanah adalah fase terakhir pemikiran Asy’ari.[4]

Karena itu, bagi sebagian wahabi, Asy’ari disebut telah bertaubat dan kembali ke jalan Ahmad bin Hanbal setelah sebelumnya menganut madzab ta’wil, seperti yang dilakukan kebanyakan Asy’arian.

Menurut penjelasan dari Sahabat Kasan Bisri, pada dasarnya Asy’ari tidak menggagas substansi baru yang bertentangan dengan keyakinan para ulama salaf. Asy’ari berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah kalam Illahi yang qadim, Tuhan akan dilihat orang mu’min di surga kelak, semua hal baik dan buruk yang terjadi di dunia ini adalah ciptaan atas kehendak-Nya, dan Tuhan memiliki sifat hayat, qudrah, iradah, sama’, kalam. Di lain sisi, Asy’ari tidak seperti ulama’salaf, beliau juga memberikan ruang bagi akal untuk menjelaskan dan membicarakan keyakinan-keyakinan tersebut secara rasional dan tidak meniadakan tanggung jawab manusia atas perbuatannya: Al-Kasb.

Pola pendekatan Asy’ari semacam inilah yang kemudian berimplikasi pada terjadinya benturan-benturan dengan para pengikut Ahmad bin Hanbal yang menyatakan diri sebagai penerus teologi ulama salaf. Namun demikian, Asy’ari membatasi diri untuk tidak membiarkan akal melampaui ketentuan teks Al-Qur’an maupun Hadits, ataupun Ijma’ Sahabat, sebagaimana pola pendekatan rasional Mu’tazilah yang ia kritisi.

Maka untuk menjembatani antara logika akal dengan logika Al-Qur’an, Al Asy’ari mengambil jalan tengah antara golongan rasional dan textualist. Jalan yang diambil Asy'ari dapat diterima oleh mayoritas kaum Muslimin.

Mengenai logika Al-Qur’an dan akal, Gus Baha’ pernah menyampaikan dalam acara Ngaji Bareng Kiai oleh Pengurus Wilayah Nahdhatul Ulama’ (PWNU) Jawa Tengah. Dalam acara tersebut, beliau menyampaikan salah satu  contoh bahwa logika rasional belum tentu tepat dengan logika Al-Qur’an. Misalnya, ada sebuah riwayat seorang sahabat yang sedang melakukan sholat, kemudian ketika dia sujud kepalanya diinjak oleh orang. Lantas orang tersebut berkata “sesungguhnya Allah akan menyiksamu”, lalu terbantah dengan sebuah ayat yang intinya, Allah itu Maha Pengampun dan Penyiksa. Dalam hal ini, Allah merasa tidak terima ketika Ia hanya dikatakan sebagai Dzat Penyiksa, ini terkesan meremehkan dan melalaikan bahwa Allah itu punya sifat Pengampun. Lalu Allah menyampaikan kepada Nabi, kepada orang yang sujud, dan yang menginjak tadi, bahwa Allah akan mengampuni dosa orang yang menginjak dan akan menghapus amalan orang yang sujud. Dari penjelasan Gus Baha’ tersebut, tentu membuktikan bahwa tidak semua logika akal manusia sama dengan logika ayat Al-Qur’an.


[1] K.H Abdurrahman Navis
[2] Syamsuddin Ibnu Kholkan
[3] Tajuddin As Subkhi
[4] Hamad Sinan
Penulis adalah Koordinator Biro Soskem PMII Abdurrahman Wahid Masa Juang 2019-2020
Editor: E-ykaz
Ilustrasi: pmiigusdur.com