pmiigusdur.com12 Angry Men adalah jawaban bagi penikmat film yang mempertanyakan “Apakah film klasik, disajikan hitam putih, tanpa CGI, dengan sangat irit lokasi tetap menarik disantap hingga tetes terakhir?”

Film ini juga jawaban bagi kalian yang sering merisaukan ambiguitas keputusan mufakat. Bagaimana tidak? Seringkali kemufakatan hanya diambil dari suara mayoritas yang tanpa diuji kesahihannya. Seringkali kemufakatan menegasikan suara minoritas yang lebih rasional.

Sutradara Sidney Lumet berhasil menenggelamkan penonton dalam visual yang sebetulnya berpotensi membosankan menjadi paling ditunggu-tunggu. Penonton tidak bakal rela melewatkan satu dialog karakter sekalipun. Karena nyaris tidak ditemui dialog sia-sia, seperti rasan-rasan kalian sewaktu berkumpul.

Dua belas orang tidak saling kenal, dengan pelbagai watak dipertemukan dalam satu ruangan. Bukan sedang ujian chunnin, arisan, atau sekali lagibukan rasan-rasan! Melainkan diberi amanat menjadi juri persidangan pada suatu kasus. Pekerjaan mereka tak mudah, menentukan nasib apakah seorang remaja pantas dijatuhi hukuman mati atau tidak.

Jika dinyatakan bersalah, maka remaja itu dihukum mati. Sebaliknya, jika dinyatakan tidak bersalah, maka remaja itu selamat hukuman mati. Remaja yang dituduh membunuh ayahnya dengan menusukkan sebilah pisau di sebuah apartemen lusuh.

Mekanisme persidangan tersebut, mengharuskan pengambilan keputusan ditetapkan setelah mencapai konsensus. Apaan sih? Hematnya, konsensus adalah keputusan yang disepakati secara bersama-sama (kebulatan suara) antar kelompok atau individu setelah adanya perdebatan dan penelitian yang dilakukan secara kolektif.

Dalam hal ini, berarti keduabelas juri harus membulatkan keputusan bersama tanpa ada satu juri pun yang berlainan keputusan. Nilainya harus 12 berbanding 0 (12:0), atau 0 berbanding 12 (0:12). Pilihannya hanya dua belas juri memutuskan bersalah, atau dua belas juri memutuskan tidak bersalah. Jika ada satu saja di antara para juri yang berlainan keputusan, maka keputusan belum dapat dimufakatkan.

Pada putaran pertama, diadakan voting yang menghasilkan nilai 11:1. Sebelas juri memutuskan bersalah, dan hanya satu yang memutuskan tidak: Juri nomor 8. Artinya, tidak dapat dimufakatkan karena belum mencapai satu konsensus. Maka untuk merubah nilai tersebut, dibutuhkan alasan mendasar, argumentasi rasional, dan timbal balik dialog oleh keduabelas juri.

Singkatnya, dengan perdebatan panjang yang emosional di ruangan sidang yang panas (Mungkin ini asal muasal diksi ‘Angry’ pada judul film). Nilai itu perlahan berbalik menjadi 10:2 - 9:3 - 8:4 hingga 0:12. Artinya, keputusan telah mencapai satu konsensus yang akhirnya menetapkan remaja malang itu tidak bersalah.

Tentunya tidak gampang membalikkan keadaan di persidangan, menyelamatkan satu nyawa dari tuduhan yang belum diuji tuntas kesahihannya. Lebih susah dari sekadar epic comeback di Mobile LegendMengenai se-epic apa dialog itu terbangun, pembaca perlu menontonnya sendiri. Mumpung #dirumahaja!

Menurut penulis, ide film ini merupakan contoh pengaplikasian yang apik dari teori rasionalitas komunikatif filsuf dan sosiolog Jerman: Jurgen Habermas.

Kita tahu, teori kritis Habermas memiliki perbedaan mendasar dengan para pendahulunya, yaitu Marxis generasi pertama. Habermas lebih menggunakan teori kritis dalam koridor paradigma komunikasi—topik yang mungkin kurang diperhatikan oleh Marxisme Ortodoks hingga Neo-Marxis pada umumnya.

Dalam teori rasionalitas komunikatif, terdapat konsep komunikasi intersubjektif. Melalui konsep komunikasi intersubjektif ini, Habermas menghendaki bahwa komunikasi yang dilakukan antar subjek-subjek harus sama kedudukannya, dialogis, dan didasarkan atas argumen yang rasional, saling pengertian.

Hal ini lah yang ditonjolkan dan ingin diterangkan pada film tersebut. Seperti Habermas membayangkan sebuah tatanan masyarakat cerdas, yang menginginkan tercapainya konsensus bebas dominasi. Karena itu, untuk memberi sifat rasional pada sebuah dialog, dibutuhkan kiat yang memastikan bahwa orang tersebut berdialog tanpa paksaan, kepentingan pribadi, dan bebas kekuasaan.

Film ini menyadarkan bahwa kita membutuhkan apa yang disebut Habermas public sphere (ruang publik). Tempat semua orang duduk bersama membicarakan suatu persoalan tanpa tersekat kelas-kelas sosial, tanpa dominasi, tanpa intervensi, dan sejenisnya. Subjek-subjek harus merdeka, baru kemudian dapat berkomunikasi secara intersubjektif. Dengan begitu, kemufakatan terselubung berkedok mayoritas atau dominasi dapat disingkirkan dengan pengujian rasio pada setiap argumen. 

Dengan atau tanpa menegasikan keseluruhan isi, hanya satu yang terasa kurang dari film ini. Sesuai judulnya "12 Angry Men" dua belas laki-laki marah, penonton tidak mendapati suara perempuan dalam pengambilan keputusan krusial tersebut. Tentu saja lebih baik jika terdapat karakter perempuan, mempertimbangkan alur ceritanya menyangkut hidup dan mati seorang anak yang dituduh membunuh ayahnya.

Mengutip secuil pesan lirik lagu Pengakuan karya Tipe-X, tak ada gading yang tak retak, tak ada manusia yang sempurna. Penulis menyadari betul, ketidakobjektivan dalam mengulas film klasik fantanstis ini. Tentu saja kekurangan-kekurangan ulasan dari penulis, dapat pembaca sangsikan ketika menontonnya sendiri. Penulis hanya berusaha mengantarkan pembaca sampai di depan gerbang film.

Terakhir, film ini sangat direkemendasikan ditonton oleh siapapun manusia yang berbahasa, berdialog, dan berkomunikasi. Mengingat pengambilan keputusan tidak hanya terjadi dalam persidangan bukan? Apa yang diterangkan pada film ini dapat diaplikasikan di mana saja. Dalam hubungan rumah tangga, hubungan pertemanan, hubungan percintaan, berhubungan badan sekalipun diperlukan sebuah konsensus untuk menghindari dominasi atau relasi kuasa.

Judul:
12 Angry Men
Tanggal Peluncuran:
13 April 1957
Sutradara:
Sidney Lumet
Durasi Film:
96 menit
Aktor-aktor Utama:
Henry Fonda, Lee J. Cobb, Ed Begley, E.G. Marshall, dan Jack Warden
Peresensi:
Azad




Ilustrasi: infotaiment news
Editor: Eykaz