Oleh: M Syafiq Yunensa
pmiigusudur.com - Malam itu Joni berencana nongkrong di warung kopi bersama sendiri. Karena kawannya, Boy enggan diajak keluar dan Riana sudah pulang kampung dua hari lalu.

Joni menyiapkan tas, berisikan laptop dan buku. Buku bersampul merah dominan, terdapat line art hitam wajah seorang pejuang pada masanya, dan sedikit tulisan berwarna putih dengan huruf uppercase bertuliskan AKSI MASSA’.

Menginjak sepuluh hari pandemi Covid-19 singgah di Negeri ini. Rupanya membuat warung kopi, angkringan, ataupun kafe menjadi lengang. Di satu sisi Joni merasa senang, karena bisa fokus menulis tanpa terganggu kebisingan seperti biasanya. Namun, di sisi lain Joni merasa kesepian.

Belum setengah jam Joni menulis, dering telepon dari ayahnya meminta Joni segera pulang kampung. Mengingat tempat Joni berjuang adalah Ibu Kota Jawa Tengah, paling ramai dan paling berpotensi penyebaran virusnya. Joni pun menghubungi Boy untuk mengajaknya pulang bersama.

"Besok balik rumah aja yuk, Boy. Aku disuruh pulang nih... Masuk kuliah paling masih lama juga." Joni langsung pada intinya.

"Sebetulnya aku ingin sekali pulang, tapi tak ada ongkos. Gimana mau balik? Paling beberapa hari lagi baru ada." Jawab Boy seraya meminta Joni menunggu beberapa hari lagi.

Joni mencoba mencari jalan keluar. Ia tak ingin pulang sendirian, mengingat perjalanan memakan waktu lima jam bila menggunakan bus kota, atau empat jam bila dengan kereta. Kebetulan sekali rumah Boy searah dengan jalan pulang Joni. Setelah berpikir lumayan lama akhirnya Joni menemukan ide, lalu segera menghubungi Boy kembali.

"Soal ongkos gampang, Boy. Besok kita ketemu di depan kampus 1, ya! Inget jangan bawa barang banyak-banyak."

"Serius? Kamu yang bayarin ongkosnya? Oke siap, Jon." Ucap Boy dengan girang.

Keesokan harinya sesuai waktu yang ditentukan, keduanya bertemu di depan kampus 1. Joni bergegas mengajak Boy untuk pergi ke lampu merah bersama.

"Mau ngapain, Jon? Nunggu di sebelah barat sana aja, dong." Boy memprotes Joni.

"Sudah Tinggal nurut aja. Dari pada kamu enggak bisa balik,"

Boy hanya mencibir tak jelas, sesaat ia sadar ternyata kendaraan pulangnya adalah mobil favorit Joni. Mobil truk besar dan panjang, bekas mengangkut semen yang biasa disebut Joni dan kawan-kawan jalanan dengan: Mobil Lempengan.

Keduanya kini sudah naik di atas lempengannya dan mencari-cari apa saja sebagai alas. Karena sinar mentari dari ufuk timur, dan perjalanan mereka menuju ke barat, maka terpaksa mereka harus kepanasan. Namun, termaafkan dengan seujuknya angin ketika mobil sudah melaju.

"Dahulu kamu sering naik mobil begini, Jon?" Tanya Boy dengan pegangan erat pada tali terpal di bagian depan.

"Ini adalah kendaraan favorit anak-anak punk, Boy. Termasuk aku," Jawab Joni seraya berdiri dan melihat pemandangan sekitar.

"dengan mobil yang terbuka seperti ini kita bisa mengamati keadaan sekitar dan menyatu dengan alam. Meski berjalan di atas aspal jalanan, hehe"

Perjalanan sudah memakan waktu satu jam. Joni masih betah berdiri melihat kiri kanannya.

Joni mengamati hamparan sawah membentang, tetapi tak jarang bangunan-bangunan besar berdiri kokoh di dekatnya, biasanya berupa pabrik. Terkadang ia juga melihat sungai-sungai yang panjang, namun banyak sampah mengalir di aliran air yang semakin keruh. Dari kejauhan, ia bisa memandangi gunung-gunung yang menjulang tinggi, meski tak semuanya hijau, ada juga yg sudah berwarna hitam kecoklat-coklatan. Terkadang di lampu-lampu merah, Joni melihat para panjual koran yang tak jarang masih di bawah umur, penari jalanan yang membawakan tarian tradisional untuk menghibur pengguna jalan, pengemis, pengamen, anak-anak jalanan, anak-anak punk, dan semuanya yang hampir tak pernah ia temui di tempat nyaman.

Joni juga melambaikan tangan, berusaha menyapa para petani yang berjuang di bawah panas terik metahari. Ada juga para pekerja yang sedang menyebar di warung-warung sekitar pabrik karena sedang waktu istirahat. Padahal di tengah merebaknya Corvid-19 ini, mereka seharusnya diliburkan dengan tetap mendapatkan gaji dan pesangon.

Melihat semua pemandangan itu, membuat Joni bernyanyi dengan lirih. Seakan itu adalah suara hati nuraninya.


Sungai indah mengalir deras, memutari di desa kami
Kini air  kotor dan bercampur limbah dan tak dapat diminum lagi...
Gunung yang lebat dan menghijau, pemandangan di desa kami
Kini gundul, hancur dirampas mereka hingga kini tak hijau lagi...

Tempat luas, merumput hijau, ada juga di desa kami
Tempat kami bermain bersama teman, bercanda bergurau bersama...
Tembok besar dan gedung tinggi, kini halangi desa kami
Asap dan polusi pun menyerang kami, dan desapun tak sejuk lagi...

Bencana datang menghampiri, menghancurkan separuh negeri...
Tangis dan derita terjadi, dan kini tak pernah berhenti...
Di bawah langit yang kelam, di atas tanah yang hitam...
Di sanalah kami berdiri, selamat datang di surga kami...
Lagu di atas adalah lagu dari salah satu band Punk terkenal Superiot, berjudul Selamat datang di surga kami.

Boy pun akhirnya ikut bangkit mendengar nyanyian Joni.

"Kamu tahu, Boy? Di jalanan kita bisa melihat realitas kehidupan yang sesungguhnya. Hal ini tidak kita dapatkan di bangku-bangku sekolah bahkan bangku kuliah. Padahal kita sekolah, kuliah, digelari orang terpelajar, bukankah untuk terjun di masyarakat. Menjadi generasi penerus pemegang kepemimpinan Negeri ini. Lihatlah di gedung-gedung parlemen sana, kini semua jabatan diduduki oleh orang terpelajar semua." Boy mendengarkan nyanyian Joni dengan berusaha keras menyalakan rokoknya karena terhempas angin.

"Tapi, apa guna terpelajar bila untuk kepentingan pribadi? Hanya untuk memperkaya diri sendiri. Lihatlah pemandangan di lampu merah tadi, apa pantas rakyat dikatakan sejahtera? Sampai banyak anak kecil harus merelakan waktu bermainnya, waktu bersenang-senangnya untuk mencari sesuap nasi bahkan di tengah keadaan pandemi seperti ini. Lihatlah juga senyuman para petani di bawah panas terik mentari yang masih terus bekerja keras, atau buruh pabrik yang terus bekerja meski sangat rentan terjangkit," Joni membuka botol minuman dari besi ringan berwarna kuning dengan bergambar Gus Dur di tengahnya.

"Lihatlah pula sungai-sungai keruh dan banyak sampah, sawah-sawah yang mulai mati karena dikelilingi dinding-dinding pabrik industri, dan gunung yang sudah berwana hitam kecoklatan dari kejahuhan pertanda di sana pernah terjadi penggundulan masal," Joni meminum seteguk air dari botol membasahi keringnya tenggorakan seiring gersang negerinya.

"Ibu Pertiwi memanggil kita, Boy. Tak dengarkah kau dengan panggilan dan tangisannya? Tidak kau kau malu sebagai seorang terpelajar? Yang mana pada masanya dahulu, berhasil membuat Ibu Pertiwi tersenyum dengan kemerdekaan yang telah mereka rebut, meski banyak kebahagiaan dan nyawa mereka terenggut."

Akhirnya perjalanan sampai di kota tempat Boy dilahirkan. Terpaksa Boy harus turun lebih dahulu di salah satu lampu merah persimpangan. Turun dengan membawa seabrek pertanyaan. Jika ditimbang, pertanyaan itu lebih berat dari barang bawaannya.

Kini Joni sendiri lagi, dengan pelbagai pertanyaan di benaknya pula. Yaitu, kegelisahan-kegelisahan yang mungkin membuatnya akan hidup lebih lama lagi untuk berusaha menuntaskannya, atau mungkin membuat ia lebih berbahagia mati muda, daripada melihat kezaliman dan tak mampu berbuat apa-apa.



M. Syafiq Yunensa adalah penulis buku dan penjahit kata di akun Instagram @ruangkarya_f02
Editor: eykaz