Oleh: Azad
pmiigusdur.com - Serba-serbi mengenai Idul Fitri yang memungkinkan dirayakan, tetap diamalkan sesuai dengan protokol pencegahan Covid-19. Gema takbir tetap terdengar terbawa angin dari masjid, musala, langgar, surau, waakhwatuhum. Ucapan permohonan maaf dari fulan sekeluarga juga berlayangan memenuhi beranda media sosial. Pagi harinya, seusai memastikan diri telah menunaikan ibadah zakat, orang-orang berduyun-duyun mendatangi masjid dengan menenteng sajadah, mengenakan masker, serta menyemprotkan handsanitizer yang disediakan di beberapa titik masjid penyelenggara Salat Id.

Konon, Hari Kemenangan dirayakan sebagai tanda telah menaklukkan hawa nafsu selama berpuasa sebulan penuh. Setelah itu, kita kembali memperoleh kelonggaran dalam protokol-protokol tertentu untuk makan, minum, dan seks. Namun entah mengapa seperti ada saja yang kurangbukan kemaruk bukan. Hanya saja kemenangan ini tampaknya kita merayakannya dengan setengah hati saja. 

Selain sebab virus corona, biang dari kesetengah-hatian yang amat terasa adalah banyak yang belum kita menangkan di Hari Kemenangan, seperti: penyesuaian UKT, UU Minerba, RUU Omnibus Law, dan antah-berantah harian negara yang selalu ada saja.

Membincang yang paling dekat, adalah UKT. Namun kedekatan ini layaknya Rahwana dengan Sinta, bukan Qais dengan Layla. UKT merupakan problem semua mahasiswa, wabilkhusus orang tua yang menguliahkan anaknya. Uang yang dibayarkan kontan, tidak sebanding nilai yang diberikan perguruan tinggi akibat belajar dari rumah. Tidak bisa dinalar, jika tak ada cashback atau penyesuaian UKT seadil-adilnya. Manalagi pegebluk Covid-19 ini mematikan ekonomi banyak keluarga, masa perguruan tinggi mau membunuhnya dua kali, laiknya Sinta menolak cinta Rahwana berkali-kali.

Jika begini adanya, alias pendidikan tinggi merasa tidak berkewajiban atas ketimpangan ini. Demikian justru semakin menaruh curiga kita atas komersialisasi pendidikan yang dilegitimasi melalui UU PT No. 12 tahun 2012 tentang UKT. Alih-alih pembiayaan menyesuaikan ekonomi rakyat, tetapi faktanya pemerintah benar-benar lepas tangan dengan melemparkan beban pembiayaan pendidikan tinggi kepada mahasiswa, orang tua, atau yang membiayainya.

Hal ini barang tentu tidak sejalan dengan amanat UUD mengenai tanggung jawab penuh pemerintah atas terselenggaranya pendidikan. Hilangnya otoritas negara sebagai fasilitator (Finansial dan Operasional) pendidikan, berpotensi disalahgunakan oleh elit-elit birokrasi. Mereka sekenanya memainkan peredaran uang mahasiswa di kampus-kampus atau menjadikannya ladang basah berbisnis, bahkan di tengah pandemi.

Penyebab kesetengah-hatian selanjutnya adalah seperti dalam peribahasa “Air susu dibalas air tuba”. Saat-saat rakyat saling mengulurkan tangan mengatasi pandemi, pemerintah dan DPR tega-teganya mengeksekusi RUU Minerba, 12 Mei lalu. Padahal mereka tahu, penolakan RUU Minerba merupakan salah satu agenda #ReformasiDikorupsi September silam, seharusnya sih pemerintah perlu mengevaluasi ini lebih jauh. Sayang, penundaan pembahasan RUU sarat masalah untuk fokus penanganan pandemi hanya omong kosong pejabat belaka.

Saya jadi bertanya-tanya, tentang apa yang sebetulnya merasuki mereka sehingga begitu tergesa-gesa, bahkan di tengah pandemi. Jika menengok laporan #BersihkanKabinet 2.0, komposisi menteri dan wakil menteri dalam Kabinet Indonesia Maju Jokowi-Amin sangat kental dengan kepentingan industri ekstraktif batu bara. Dari seluruh menteri dan pejabat setingkatnya, lebih dari sepertiganya teridentifikasi terkoneksi dengan bisnis pertambangan, terutama batu bara. Baca di sini. Pantas saja, ya.

Dari ini saya membayangkan, hal-hal mengenai pemulusan jalannya bisnis tambang sangat memungkinkan diselesaikan pejabat pemerintah dalam tempo sesingkat-singkatnya. Ataupun hal-hal yang mengancam bisnis pertambangan akan dirombak sedemikian rupa. “Persetan dengan corona, justru pandemi adalah kesempatan terbaik mumpung potensi demonstrasi menyurut.” Ucap wakil rakyat yang sekali ini saya wakili.

Seharusnya sih, setidaknya ada enam perusahaan tambang raksasa yang masa kontraknya habis pada tahun ini dan tahun depan (mengutip Merah Johansyah di Kompas). Hematnya, ketergesa-gesaan ini terindikasi terkait Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara (PKP2B) yang mau habis, sehingga diperlukan suatu regulasi baru yang mampu menyelamatkan bisnis tambang agar tetap beroperasi lebih lama dengan skala eksploitasi yang lebih luas.

Sebenarnya jalan pemulusan bisnis tambang bisa diraih selain melalui RUU Minerba, yaitu melalui Omnibus Law; itu lho RUU investor harga mati, seperti pengaplikasian pepatah lama “tamu adalah raja” namun tidak pada tempatnya. Sementara itu, pengesahan RUU Minerba ini juga dinilai sebagai tukar guling dari RUU Omnibus Law yang ditunda sebab menerima desakan dari berbagai elemen masyarakat karena merugikan kelas pekerja dan lingkunga hidup.

Melihat anomali di tengah pandemi ini, disahkannya RUU Minerba dan masih dibahasnya RUU Omnibus Law merupakan perbuatan tak senonoh pemerintah kepada seluruh umat manusia, wabilkhusus rakyat Indonesia. Bagaimana tidak? Revisi dan rancangan itu hanya memperparah kerusakan ekologis dan mengancam keberlangsungan lingkungan hidup di masa depan.

Jika dikaitkan dengan pandemi yang sekarang berseliweran, Slavoj Zizek dalam bukunya berjudul Pandemik! Covid-19 Mengguncang Dunia mengatakan, untuk memahami penyebaran virus corona kita harus mempertimbangkan budaya manusia, ekonomi dan perdagangan global, serta jaringan internasional. Bossman Batubara dalam artikelnya yang berjudul Revolusi Covid-19 pun menjelaskan jika patogen-patogen itu mulai kehilangan habitat aslinya yakni di hutan lebat, deforestasi menyebabkan virus-virus itu bergerak meninggalkan hutan yang semakin habis, sehingga mendekati umat manusia sebagai sasaran inang empuk berikutnya.

Kalau kita telisik, dalam sejarah panjang umat manusia, hanya pada era kapitalisme-lah terjadi kerusakan ekologi secara besar-besaran. Ketidakseimbangan ekologis kemudian terbukti mengundang virus-virus baru untuk bermunculan lagi dan lagi. Kata Zizek, virus memang tak tahu apa-apa karena sama sekali tak berada dalam domain pengetahuan, ia hanya memproduksi diri dengan otomatisme buta. Jadi, Basic-struktur ekonomi yang hari ini berjalanlah paling valid disalahkan atas bereproduksinya virus-virus itu. Dan, Indonesia sekarang merupakan negara dunia ketiga yang mulai bandel melanggengkan corak ekonomi kapitalistik; apalagi semenjak sahnya UU Minerba, akan menyusulnya Omnibus Law, ataupun wacana Indonesia menguasai ekonomi dunia. Hilih.

Balik lagi ke kesetengah-hatian perayaan Hari Kemenangan tadi. Benar, memang hal yang wajar perayaan ini teramat pilu, saat kita membayangkan kemenangan dalam banyak bentuk dengan musuh yang beragam pula. Menjadi semakin lengkap, ternyata memang banyak ketidakmenangan di Hari Kemenangan.

Hal yang mungkin paling teraba untuk keluar dari semua ketidakmenangan ini boleh jadi dengan menengok ulang cita-cita Sosialisme Indonesia. Lebih baik tidak hanya Indonesia, namun kerjasama global (bukan pasar global, loh) dengan merombak secara radikal sistem ekonomi yang lebih mempertimbangkan krisis ekologi.


Sampai hari ini neo-kapitalisme dan neo-kolonialisme masih menjadi makro-parasit yang merugikan inangnya (Baca: Indonesia dan negara senasib). Sektor-sektor industri hingga pendidikan pun tunduk di hadapan makro-parasit itu.

Mengutip salah satu poin dalam Deklarasai Tawangmangu-nya PMII tahun 1961 tentang Sosialisme Indonesia, berbunyi;

"PMII insaf dan yakin bahwa penderitaan rakyat Indonesia lahir dan batin adalah akibat dari Diktatorisme, Kolonialisme, dan Kapitalisme yang berupa penghisapan dan penindasan..."

Semoga kader PMII konsisten akan hal ini, atau kapitalisme barbar baru yang akan menang; orang-orang lemah akan dikorbankan dan dibiarkan mati, pekerja harus menerima standar hidup lebih rendah, kontrol digital atas kehidupan kita akan menjadi fitur permanen, perbedaan kelas akan semakin menjadi masalah hidup dan mati.


Penulis hanya suka meng-halu dan menggambar
Editor: Eykaz
Ilustrasi: pmiigusdur.com