Gus Dur dan Madura merupakan satu sama lain yang
saling terjalin dan saling terikat. Islam yang ada dan berkembang di Madura ini
merupakan Islam kultural, yang berbasis pada tradisi sebuah masyarakat. Pola keberagamaan
yang dianut oleh masyarakat Madura itu sendiri berbasis pada nilai-nilai
tradisi, yang dalam hal ini dikembangkan oleh Nadhlatul Ulama. Bagi masyarakat
Madura, Nadhlatul Ulama (NU) itu tidak hanya dipandang sebagai organisasi
sosial keagamaan, tapi lebih sebagai paham keagamaan itu sendiri. Ajaran yang
ditradisikan dan dipraktikkan oleh kalangan NU,
hal itu merupakan ajaran
Islam yang dianut dan dipraktikkan oleh masyarakat. Jika dilihat dari latar
belakang Gus Dur yang berasal dari keluarga Nadhlatul Ulama, tidak heran
apabila Gus Dur menjadikan Madura juga basis utama dari Gus Dur di dalam
nasionalisme, multikulturalisme, demokrasi, universalisme dan keagamaan
yang terkait dengan kultural Nadhlatul
Ulama (NU).
Berikut ini merupakan Humor Gus Dur tentang Madura yang menceritakan tentang seorang Pak Menteri yang sedang berkunjung ke Madura lalu berpidato di depan santri-santri.
“Jadi saudara-saudara, Pak Kyai-kyai, kita harus bangga! Karena Bangsa kita telah punya putra yang mampu membuat pesawat terbang sekarang. Sebentar lagi, bukan Cuma pesawat terbang biasa, malah pesawat yang bisa mendarat ke bulan. Apakah saudara-saudara tidak bangga dengan prestasi anak bangsa sendiri?”
Anehnya, hadirin diam saja. Pak Menteri heran, dan bertanya lagi: “Apakah saudara-saudara bangga?’. Masih juga hadirin diam, bahkan setelah Pak Menteri mengulangi tiga kali pertanyaan seperti itu. Akhirnya ada seorang santri kurus di pojokan yang angkat tangan sambil bicara:
“Kalau saya, tak bangga sama sekali Pak Menteri!”
Terkejutlah Pak Menteri, pikirnya ‘orang Madura ini aneh. Orang lain bangga sama saya kok ini tidak.’ Karena dia jadi penasaran dan tanya kepada si santri kurus tadi: “Kenapa kok tidak bangga, dik?”
Kata si santri, “Soalnya sudah ada yang bisa begitu, Pak. Saya akan bangga kalau Bapak bisa bikin pesawat yang ke matahari, tak iye.”
“Oh begitu, ya. Apakah adik tahu, bahwa mendarat ke matahari itu tidak mungkin.” Kata Pak Menteri, sembari senyum-senyum
“Lho kenapa tak mungkin, Pak?” Si santri ngeyel
“Begini, matahari itu panasnya berjuta-juta untuk derajat Celsius, sehingga tidak ada logam yang bisa dipakai untuk membuat pesawat yang bisa mendekat, apalagi mendarat. Baru mendekat sekian juta kilometer dari matahari saja pesawat itu pasti sudah meleleh.”
(lalu Pak Menteri yang brilian itu pun menjelaskan kepada para hadirin di pesantren soal kesulitan menciptakan pesawat seperti itu disertai dengan paparan ilmu fisika dan segala macam untuk memperkuat argumennya. Tentu dengan menggebu dan bersemangat juga).
“Kalau begitu saja mudah Pak.“ Belum selesai Pak Menteri berbicara, si santri Madura menyela.
“Loh, mudah gimana?” Pak Menteri lagi-lagi kaget
“Kalau takut pesawatnya meleleh karena panas, berangkatnya habis maghrib saja. Kan sudah dingin, tak iye…” jawab si santri dengan santai.
Penulis : Deny Marcelino Putra (Alumni Mahasiswa Aqidah Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya)
Editor : Finata
0 Komentar