Gus Dur dan Madura merupakan satu sama lain yang saling terjalin dan saling terikat. Islam yang ada dan berkembang di Madura ini merupakan Islam kultural, yang berbasis pada tradisi sebuah masyarakat. Pola keberagamaan yang dianut oleh masyarakat Madura itu sendiri berbasis pada nilai-nilai tradisi, yang dalam hal ini dikembangkan oleh Nadhlatul Ulama. Bagi masyarakat Madura, Nadhlatul Ulama (NU) itu tidak hanya dipandang sebagai organisasi sosial keagamaan, tapi lebih sebagai paham keagamaan itu sendiri. Ajaran yang ditradisikan dan dipraktikkan oleh kalangan NU, hal itu merupakan ajaran Islam yang dianut dan dipraktikkan oleh masyarakat. Jika dilihat dari latar belakang Gus Dur yang berasal dari keluarga Nadhlatul Ulama, tidak heran apabila Gus Dur menjadikan Madura juga basis utama dari Gus Dur di dalam nasionalisme, multikulturalisme, demokrasi, universalisme dan keagamaan yang  terkait dengan kultural Nadhlatul Ulama (NU).

Bagi Gus Dur sendiri orang Madura itu dikenal cerdik dan banyak akalnya. Keluguan dari orang Madura juga menjadi anekdot cerdas yang membuat orang terpingkal-pingkal. Sedangkan bagi masyarakat Madura, humor atau anekdot bukan hanya sekedar guyonan (lelucon) atau produk kata-kata yang fiktif melainkan justru upaya menghadirkan sebuah realitas secara sederhana yang berasal dari kehidupan sehari-hari.

Namun seringkali orang-orang terjebak pada stereotip orang Madura yang akan keras perilakunya, kaku, menakutkan dan ekspresif. Dengan adanya stereotip ini sering adanya pembenaran ketika terjadi kasus-kasus kekerasan dengan yang menjadi aktor utama orang Madura. Dalam kehidupan sehari-hari tidak jarang banyak mendengar karakter orang Madura yang digambarkan dengan etnis bertemperamen panas, suka berkelahi dan dekat dengan kekerasan. Oleh karena itu, Gus Dur ingin menghilangkan stereotip tersebut dengan  menjadikan Madura sebagai tempatnya humor.
Berikut ini merupakan Humor Gus Dur tentang Madura yang menceritakan tentang seorang Pak Menteri yang sedang berkunjung ke Madura lalu berpidato di depan santri-santri.

Habibi dan Pesawat yang Mendarat di Matahari
“Jadi saudara-saudara, Pak Kyai-kyai, kita harus bangga! Karena Bangsa kita telah punya putra yang mampu membuat pesawat terbang sekarang. Sebentar lagi, bukan Cuma pesawat terbang biasa, malah pesawat yang bisa mendarat ke bulan. Apakah saudara-saudara tidak bangga dengan prestasi anak bangsa sendiri?”
Anehnya, hadirin diam saja. Pak Menteri heran, dan bertanya lagi: “Apakah saudara-saudara bangga?’. Masih juga hadirin diam, bahkan setelah Pak Menteri mengulangi tiga kali pertanyaan seperti itu. Akhirnya ada seorang santri kurus di pojokan yang angkat tangan sambil bicara:
“Kalau saya, tak bangga sama sekali Pak Menteri!”
Terkejutlah Pak Menteri, pikirnya ‘orang Madura ini aneh. Orang lain bangga sama saya kok ini tidak.’ Karena dia jadi penasaran dan tanya kepada si santri kurus tadi: “Kenapa kok tidak bangga, dik?”
Kata si santri, “Soalnya sudah ada yang bisa begitu, Pak. Saya akan bangga kalau Bapak bisa bikin pesawat yang ke matahari, tak iye.
“Oh begitu, ya. Apakah adik tahu, bahwa mendarat ke matahari itu tidak mungkin.” Kata Pak Menteri, sembari senyum-senyum
“Lho kenapa tak mungkin, Pak?” Si santri ngeyel
“Begini, matahari itu panasnya berjuta-juta untuk derajat Celsius, sehingga tidak ada logam yang bisa dipakai untuk membuat pesawat yang bisa mendekat, apalagi mendarat. Baru mendekat sekian juta kilometer dari matahari saja pesawat itu pasti sudah meleleh.”
(lalu Pak Menteri yang brilian itu pun menjelaskan kepada para hadirin di pesantren soal kesulitan menciptakan pesawat seperti itu disertai dengan paparan ilmu fisika dan segala macam untuk memperkuat argumennya. Tentu dengan menggebu dan bersemangat juga).
“Kalau begitu saja mudah Pak.“ Belum selesai Pak Menteri berbicara, si santri Madura menyela.
“Loh, mudah gimana?” Pak Menteri lagi-lagi kaget
“Kalau takut pesawatnya meleleh karena panas, berangkatnya habis maghrib saja. Kan sudah dingin, tak iye…” jawab si santri dengan santai.

Dapat dilihat dalam percakapan humor tersebut orang Madura digambarkan sebagai seorang santri. Dimana santri tersebut bisa dikatakan cerdik karena santri tersebut berupaya mengakali sesuatu yang terlihat tidak mungkin untuk menjadi mungkin. Watak dari orang Madura yang selalu berusaha keras. Keras dalam artian disini yaitu ngeyel untuk mengubah keadaan yang sulit menjadi mudah, meskipun usahanya tidak berhasil.

Di tengah kondisi Negara Indonesia yang saat ini sedang mengalami darurat tertawa alias darurat komedi. Berharap dengan hadirnya humor ini bisa menjadi masyarakat terhibur di tengah hiruk pikuknya kehidupan. Humor menjadi penting dan relevansi. Masyarakat perlu dihibur kembali dengan humor-humor yang menyegarkan, mencerdaskan dan mengunggah kesadaran. Sepertinya para tokoh Bangsa, pemuka agama dan para petinggi sudah seharusnya belajar kepada Gus Dur. Dengan menggunakan humor sebagai alat komunikasi publik, menciptakan humor sebagai pereda konflik. Sebenarnya jika ditinjau kembali dari segi kekuasaan humor bisa menjadi jembatan atau penghubung, dimana humor mampu mendekatkan jarak antara penguasa dengan rakyatnya.

Perlu diketahui bahwasannya humor Gus Dur juga mampu melampaui garis waktu. Meskipun telah diucapkan beberapa tahun silam tapi masih bisa menyentil sampai hari ini atau jangan-jangan tetap nyentil hingga beberapa tahun lagi. Sebab humor Gus Dur relate (berhubungan) dengan kehidupan saat ini, tidak heran bila ada yang tersinggung. Gus Dur melakukan juga sebagai sebuah kritik dimana sebagai alat ekspresi atau kebebasan berpendapat di Indonesia.

 
Penulis            : Deny Marcelino Putra (Alumni Mahasiswa Aqidah Filsafat Islam UIN Sunan Ampel   Surabaya)
Editor              : Finata 
 Layouter         : EL-Huda