Paulo Freire merupakan tokoh pendidikan dan teoretikus. Beliau dilahirkan di recife, Brazil pada 19 September 1921, dan wafat di Sao Paulo Brazil pada 2 Mei 1997  pada umur 75 tahun. Freire merupakan mahasiswa hukum Universitas Recife pada 1943. Disamping disibukkan dengan dunia perkuliahan, beliau juga belajar filsafat dan psikologi bahasa. Sedangkan kemiskinan merupakan latar belakang Freire yang berlangsung pada masa Depresi Besar tahun 1929. Dari pengalaman dan kehidupan Freire jalani, membentuk keprihatinan beliau terhadap manusia serta pendidikan dunia.
Salah satu bentuk nyata dari itu semua adalah penolakan Freire terhadap pendidikan gaya Bank. Konsep pendidikan gaya Bank adalah pengibaratan seorang murid merupakan sebuah gelas kosong, sedangkan guru yang mengisi gelasnya. Tolak ukur kesuksesan guru adalah dimana gelas tersebut terisi penuh. Dalam sistem pendidikan yang seperti ini, Freire beranggapan bahwa peserta didik tidak dipandang sebagai subjek yang memiliki kreativitas dinamis melainkan hanya sebatas penampung teori-teori. Hal ini berbanding terbalik dengan konsep beliau, “Fitrah manusia sejati adalah menjadi pelaku atau subjek, bukan penderita atau objek. Panggilan manusia sejati adalah menjadi pelaku yang sadar. Manusia adalah penguasa atas dirinya sendiri, merdeka dan menjadi bebas. Karenanya, pendidikan adalah upaya untuk melakukan pemerrdekaan dan pembebasan manusia dari segala bentuk ketertindasan.

Tidaklah mengherankan jika konsep pendidikan gaya Bank memandang manusia sebagai makhluk yang dapat disamakan dengan sebuah benda dan gampang diatur. Semakin banyak peserta didik menyimpan tabungan yang dititipkan kepada mereka, semakin kurang mengembangkan kesadaran kritis yang dapat mereka peroleh dari keterlibatan di dunia sebagai pengubah dunia tersebut. Semakin penuh mereka menerima peran pasif yang disodorkan kepada dirinya, mereka semakin cenderung menyesuaiakan diri dengan dunia menurut apa adanya. Kemampuan pendidikan gaya bank akan mengurangi atau menghapuskan daya kreasi para peserta didik, serta menumbuhkan sikap mudah percaya, menguntungkan kepentingan kaum penindas yang tidak berkepentingan dengan dunia yang terkuak atau yang berubah. Kaum penindas memanfaatkan “humanitarianisme” mereka untuk melindungi situasi menguntungkan bagi diri mereka untuk melindungi situsi menguntungkan bagi diri mereka sendiri. 
 
Dengan menolak sistem pendidikan gaya Bank, Paulo Freire menawarkan sistem pendidikan yang berpijak pada penghargaan terhadap manusia. Sistem pendidikan tersebut dikenal dengan “Hadap Masalah” (Problem Posing of education). Hadap Masalah yang tawarkan Freire ini lahir dari konsepsinya tenntang manusia. Manusia sendirilah yang dijadikan sebagai titik tolak dalam pendidikan “Hadap Masalah”. Manusia tidak mengada secara terpisah dari dunia dan realitasnya, tetapi ia berada dalam dunia dan bersama-sama dengan realitas dunia. Realitas itulah yang harus dihadapkan pada peserta didik atas upaya pada kesadaran atas realitas itu. Dan kemudian kesadaran yang tumbuh dari pergumulan realitas yang dihadapi, diharapkan akan menghasilkan suatu tingkah laku kritis dalam diri peserta didik. Maka dari itu, ia menempatkan pendidik dan peserta didik sebagai subjek dalam proses pendidikan. Beliau menghapuskan subjek-objek dan yang menjadi objek mereka adalah realita. Jadi, mereka saling belajar dan memanusiakan. Sehingga peserta didik mampu bertindak dan berfikir serta menyatakan hasil pikir mereka. Pemikiran ini merupakan usaha Freire dalam membangun gagasan akan humanisme dalam pendidikan.

Pada dasarnya pengajaran hadap masalah adalah suatu usaha untuk menjawab diskomunikasi antara guru dengan murid menuju suasana dialogis. Oleh karena itu, pelaksanaan pengajaran hadap masalah adalah adanya pemecahan masalah dalam proses belajar antara guru dengan murid. Mendinamisasikan peserta didik dalam proses pembelajaran dengan hubungan dialogis merupakan inti dari pengajaran hadap-masalah, sehingga guru tidak lagi menjadi orang yang mengajar, akan tetapi melakukan pembelajaran melalui dialog, dalam hal ini anak didik menjadi subjek yang belajar, yang bertindak dan berfikir dan pada saat bersamaan berbicara menyatakan hasil tindakan dan buah fikiran. Jadi keduanya (guru dan murid) saling belajar satu sama lain, saling memanusiakan. Dengan demikian, dalam proses ini guru mengajukan bahan untuk dipertimbangkan oleh murid dan pertimbangan sang guru sendiri kemudian diuji kembali setelah dipertemukan dengan pertimbangan murid-murid dan sebaliknya.

Pengajaran hadap masalah adalah tentang bagaimana usaha untuk membangun kreativitas peserta didik, hubungan dialogis serta mendorong sikap revolusioner untuk melangkah ke depan membangun masa depan peserta didik. Dengan kata lain, pengajaran hadap masalah sebenarnya mengisyaratkan bahwa dunia pendidikan seharusnya mampu membebaskan seluruh komponen pendidikan baik peserta didik, guru, kurikulum maupun lembaga pendidikannya. Hanya saja, pengajaran hadap masalah lebih memfokuskan bagaimana seorang guru membangun demokratisasi di dalam kelas, harus mampu menciptakan suasuana dialogis serta guru harus mampu menjadi seniman, dengan kata lain guru dapat dengan kreatif memanage kelasnya dengan baik.
Penulis : Finata
Editor : Naufal
Ilustrasi            : el - Huda