Beberapa waktu lalu, Indonesia kembali dikejutkan dengan adanya bom bunuh diri yang terjadi di Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan dengan tersangkanya ialah sepasang suami istri, bersorban serta bercadar. Identifikasi keduanya masih muda dan disebut oleh polisi sebagai “milenial”. Tiga hari kemudian, setelah kejadian bom bunuh diri tersebut, terjadi lagi aksi teror yang dilakukan oleh seorang perempuan yang terduga merupakan “lone wolf” dan berideologi ISIS menyerang Mabes Polri menggunakan senjata api.  Berdasarkan pernyataan polisi perempuan berinisial ZA yang menyerang Mabes Polri tersebut mendapatkan senjata dari ex narapidana terorisme (napiter).

Atas kedua kejadian tersebut, publik memberikan stigmatisasi atas pelaku yang melakukan aksi tersebut ialah laki-laki bersorban dan perempuan bercadar. Namun, mayoritas masyarakat lebih menyoroti sang perempuan bercadar dan berpakaian tidak begitu syar’i sebagai pelaku dari kedua kejadian tersebut. Publik kembali berasumsi negatif bahwa perempuan bercadar ialah orang  yang perlu diwaspadai karena dianggap sebagai pembawa benih teroris. Ironisnya, para perempuan yang menggunakan cadar saat ini menjadi bulian warga internet dan ikut terfitnah akibat tindakan oknum yang melakukan aksi teror menggunakan cadar.

Modus baru kini yang dibawa oleh para pewarta dalam aksi terorisme ialah menjadikan perempuan sebagai pelaku. Padahal sebelumnya aksi teror tersebut berwajah maskulin dan menggunakan pendekatan patriarkal, namun belakangan ini malah justru perempuan dimanfaatkan sebagai pelaku.

Prof. Musdah Mulia mengatakan meskipun faktanya perempuan adalah pelaku, hakikinya mereka tetap korban. Korban dari ketidaktahuan dan ketidakberdayaan, lalu dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang memiliki rencana keji dan sistematik untuk tujuan terorisme. Hal itu sejalan dengan aksi yang dilakukan oleh ZA di Mabes Polri atas rencana dari ex napiter yang diketahui adalah seorang laki-laki.

Mengapa perempuan?

Pelibatan perempuan dalam aksi terorisme sudah tidak menjadi hal baru lagi bagi dunia. Meski sebelumnya Mohd Adhe Bhakti, Peneliti Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi menganalisis bahwa peranan perempuan dalam tindak pidana terorisme belum menjadi aktor utama, melainkan hanya sebatas pemberi bantuan bagi suaminya. Nyatanya sekarang peran perempuan tidak kalah pentingnya dari para lelaki bahkan telah menjadi aktor utama dalam tindak pidana terorisme. 

Berdasarkan beberapa penelitian mengungkapkan ada beberapa faktor yang menyebabkan perempuan terjerumus dalam lembah terorisme. Pertama, umumya perempuan mendapatkan doktrin dari suami yang lebih dulu terpapar dalam ideologi radikalisme agama. Perempuan yang cenderung manut, Sami’na Wa Atho’na, terbelenggu dalam lingkaran patriakal atas nama agama, kondisi ketidaksetaraan gender, serta ketimpangan sosial di lingkungan mereka.

Kedua, pelibatan perempuan dianggap tidak akan mendapatkan simpatisme lebih dari masyarakat tatkala sedang melancarkan aktifitas mereka. Perempuan biasanya kurang dicurigai petugas keamanan. Misalnya, aksi pengeboman di Turki yang sukses dilakukan oleh seorang perempuan yang membawa anak-anak kecil malnutrisi untuk mengelabui petugas keamanan. Setelah anak-anak tersebut dibawa ke dalam ambulans, perempuan itu meledakkan dirinya dan menciderai banyak orang.

Keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme memang didominasi oleh hubungan kekerabatan. Umumnya secara tidak sadar mereka direkrut dalam jaringan terorisme oleh ayah, suami, saudara laki-laki, paman bahkan saudara perempuan. Perempuan dianggap memiliki nilai jual tinggi untuk melanggengkan virus terorisme kepada benih kehidupan, dalam bentuk janin yang hanya ada pada diri perempuan.

 Kemudian, bagaimana dengan stigma terorisme yang diterima oleh perempuan dalam ketidakberdayaannya melawan budaya patriarkal? Perempuan akan tetap disalahkan meski bukan dia pelaku utama. Perempuan disini tidak memiliki keleluasaan untuk mengambil keputusan dan menyatakan pendapat. Mereka cenderung dibungkam dan diwajibkan untuk mengikuti apa yang disampaikan oleh para lelaki; suami. Bagi yang memiliiki suami maka mematuhi suami berarti sama halnya dengan jihad yang bernilai ibadah, karenanya mereka tak punya pilihan lain selain tunduk dan patuh terhadap perintah dan kehendak sang suami.

Lemahnya posisi perempuan dalam menyatakan pendapat dan mengambil keputusan, khususnya untuk menolak terlibat dalam terorisme akibat perbuatan mereka dalam memberikan bantuan atau apapun yang dilakukan suami,  tidak membuat mereka lepas dari jerat hukum. Semua itu tetap dianggap sebagai bagian dari kesengajaan yang tetap dipidana.

Stigma terorisme itu juga terjadi pada perempuan bercadar yang kerap kali dianggap sebagai teroris. Prasangka yang berujung pada stigmatisasi contohnya terjadi pada tahun 2018 silam, seorang perempuan bercadar diturunkan dari bus Terminal Gayatri, Tulungagung. Petugas terminal menurunkan perempuan bercadar itu karena dianggap mencurigakan karena tak mengenakan alas kaki saat masuk bus. Saat ditanya ia terlihat kebingungan dan tidak mau menjawab. Ternyata setelah dibawa ke kantor ia baru mau mengaku bahwa ia merupaakan salah satu siswa pesantren yang ingin pulang tanpa ketahuan pengurus pondok.

Robertus, seorang Sosiolog Universitas Negeri Jakarta mengatakan bahwa memang sampai saat ini penggunaaan cadar masih menuai pro kontra. Di satu sisi adalah kontra terkait keamanan akibat stigma negatif terhadap cadar dan di sisi lain yang pro karena menyangkut hak perempuan dalam berbusana serta bagian dari kelompok kebudayaan yang harus tetap dilindungi.  Trauma yang dialami masyarakat akibat dari bom bunuh diri telah mencekam pandangan publik tentang perempuan bercadar. Tindakan bom bunuh diri dan penyerangan tersebut begitu membekas sehingga menimbulkan trauma dan stigma teroris terhadapnya.

Lalu, apa yang harus dilakukan perempuan agar terhindar dari stigma dan aksi terorisme?

Perempuan harus menjadi agen perdamaian. Menjaga perdamaian dari segala tindak kekerasan dan ancaman merupakan tanggungjawab semua pihak. Karenanya langkah pencegahan perlu dilakukan oleh semua pihak, termasuk perempuan. Terlebih perempuan yang cenderung lebih mudah untuk bisa direkrut menjadi teroris, maka harusnya akan lebih mudah ketika mereka diajak menjadi agen perdamaian. Sebab secara alami perempuan lebih memiliki instink dan passion keibuan yang memungkinkan unutk menjalani tugas menjaga keberlangsungan hidup, pereda konflik dan pemelihara perdamaiaan. Maka,dengan perempuan menjadi agen perdamaian maka akan meminimalisir keberpihakan pada kelompok berideologi radikal.

            Kepemimpinan perempuan perlu dipromosikan dalam upaya pencegahan terorisme. Organisasi perempuan harus berpartisipasi dalam setiap proses edukasi masyarakat. Dulu memang masyarakat hanya memberi sedikit perhatian terhadap gerakan perempuan, namun tidak lagi di masa sekarang, perempuan telah memiliki banyak andil di ranah publik. Sehingga, pelibatan perempuan menjadi hal penting sebab perempuan memiliki peran besar dalam menggerakkan orang-orang terdekatnya, terutama anggota keluarga. Dengan begitu, stigma terhadap perempuan terorisme secara perlahan akan meredam. Semoga~

 

Penulis             : Luq Yana Chaerunnisa

Editor              : Finata

Ilustrator         : Karisa