Ilustrasi orang yang membakar buku: pixabay |
“Di manapun mereka membakar buku, pada akhirnya mereka akan membakar manusia”
Heinrich Heine – Almansor (1821)
Berabad-abad yang lalu, di suatu waktu, orang-orang yang ingin menguasai dan meruntuhkan peradaban, mereka membakar buku-buku, menghancurkan perpustakaan-perpustakaan.
Para pembakar buku, memilih cara yang tepat, sebab buku-buku—meminjam dari Lekra--adalah alat penyadar masyarakat. Jika buku-buku dibakar, maka penyadaran itu macet, orang-orang akan berada dalam kegelapan. Sementara para pembakar buku leluasa menguasai, mengeksploitasi, dan menjajah—pada akhirnya bertahan hingga berabad-abad. Dampak pembakaran buku dan penghancuran perpustakaan tidak sepele. Akan ada keilmuan yang terputus, akan ada generasi yang kehilangan kepala.
Praktik pembakaran buku telah terjadi sejak beribu tahun yang lalu. Arkeolog menemukan bahwa pada 4100-3300 SM di Sumeria Kuno telah terjadi pembakaran buku di sebuah kuil di kota Uruk. Berabad-abad kemudian praktik ini terjadi lagi, terjadi lagi, dan terjadi lagi.
Para pembakar buku telah banyak belajar, yang paling mengancam dalam kekuasaan mutlak adalah buku-buku yang dibiarkan bebas, buku-buku yang tak bisa dikendalikan. Maka mereka membakar buku. Ini adalah upaya cerdas dalam melanggengkan kekuasaan.
Sementara itu, di Hindia-Belanda berabad yang lalu, Belanda memodifikasi cara tersebut. Mereka tidak lagi membakar buku, tetapi dengan mengumpulkan dan membatasi aksesnya. Dengan alibi menyelamatkan warisan peradaban, Belanda mengusung teks-teks yang dipunyai oleh pribumi Hindia. Dengan klaim orang-orang pribumi tidak bisa merawat dan menjaga teks-teks tersebut. Kolonialis Belanda memboyong segala warisan nenek moyang, seperti yang terjadi di peradaban lain di masa lampau, generasi selanjutnya telah kehilangan kepala, generasi pribumi Hindia juga kehilangan kepala. Yang diuntungkan tentu saja Belanda, pada akhirnya Belanda melanggengkan kekuasaannya. Belanda tidak saja merampas rempah-rempah, mereka secara halus merampas kepala-kepala.
Buku-buku, teks-teks nenek moyang kita telah dikuasai, telah dijauhkan oleh Belanda. Demi melanggengkan kekuasaan di Hindia-Belanda, Belanda kemudian membuat lembaga yang bertugas mengawasi buku-buku yang ditulis dan diterbitkan oleh para pribumi--istilah bahasa melayu pasaran (cikal bakal bahasa indonesia) lahir di periode ini. Belanda juga mencipta orientalis, membuat wacana baru, mencoba mendefinisikan para pribumi.
Para pribumi pemalas, para pribumi bar-bar, para pribumi bodoh, para pribumi tidak bisa hidup mandiri, para pribumi boros, para pribumi pemabuk, para pribumi gila seks, para pribumi kanibal, para pribumi membikin bahasa-bahasa daerah punah, para pribumi sangat eksotis, adalah sederetan wacana yang kemudian digaungkan oleh orientalis Belanda, dan bodohnya, kita sendiri mengamini itu.
Pasca Belanda, metode seperti ini diadopsi juga oleh Soeharto. Di zaman orde baru ini, buku-buku diawasi, buku-buku disortir, buku-buku dilarang beredar, buku-buku dilarang dibaca. Segala buku yang "dianggap"--sebab para pemangku kebijakan terlalu malas untuk membaca-- memuat bau-bau komunis dilarang beredar. Ancamannya sangat serius: dipenjara atau dibuang di pulau Buru. Pramoedya Ananta Toer dan buku-bukunya adalah contoh paling epik di masa orde baru ini.
"Buku-buku yang mengancam, buku-buku itu mestilah harus dibakar!" Slogan ini sangat tepat sekali untuk para penguasa yang ingin sekali melanggengkan kekuasaan, di sini Soeharto jadi penguasanya. Maksud dibakar tentu saja bukan hanya bermakna denotatif, melainkan juga konotatif.
Kita telah banyak bicara nasib buku yang dibakar, dilarang, dan dijauhkan di masa-masa lampau. Barangkali, kita bisa membicarakan nasib buku di masa kini, di Indonesia.
The World’S Most Literate Nations (WMLN) pada 2016 menempatkan Indonesia di peringkat ke 60 dari 61 negara yang disurvei. Survei ini didasarkan pada literate behaviour dan sumber-sumber pendukungnya. Padahal, ketersedian perpustakaan di Indonesia berada di peringkat 36. Fenomena ini bisa disimpulkan bahwa masyarakat kita adalah masyarakat pemalas, buktinya perpustakaan banyak, tetapi sedikit sekali yang mempunyai kebiasaan berliterasi. Akan tetapi, aku tidak bersekapat, aku punya kesimpulan lain. Kesimpulanku, data ini membuktikan bahwa sebenarnya bukan rakyat yang tidak berminat dalam membaca, melainkan karena perpustakaan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Bagian ini, aku punya pengalaman pribadi yang bisa jadi bahan pertimbangan.
Sebulan yang lalu aku berkunjung--lebih tepatnya berada di halaman--di sebuah perpustakaan publik di Semarang bernama Microlibrary Warak Kayu. Aku bersama teman ke sana. Aku mengetahui perpustakaan ini dari media sosial. Aku yang anak desa Rembang, jauh-jauh ke kota Semarang mengagendakan untuk berkunjung ke perpustakaan ini. Sebenarnya aku tidak penasaran dengan gedung dan klaim estetik-estetik lainnya, aku hanya penasaran dengan koleksi buku apa saja kira-kira yang ada. Dengan kemantapan dan petunjuk dari google maps kami menuju ke perpustakaan ini. Kami tidak memastikan apapun, karena kami yakin setiap perpustakaan pasti terbuka untuk siapa saja. Tapi kami keliru, baru melangkahkan kaki di tangga ke satu berbahan kayu itu, kami telah dihadang oleh petugas perpustakaan.
"Masuk harus memakai kaus kaki," katanya.
Tentu saja kami kecut karena habitus kami di pedesaan tidak terbiasa memakai kaos kaki. Kami terbiasa bertelanjang kaki, hanya beralaskan sandal jepit. Kami tidak memprotesnya, kami kecewa, kami membalikkan badan, kami duduk di halamannya, kami membuka buku, kami membaca dan mengobrolkannya di sana, kami tersenyum masam mengalami ini. Kami berada di sana hingga perpustakaan itu tutup, kami memastikan rupa orang-orang yang telah membaca buku di perpustakaan tersebut; memang terlihat berbeda ketimbang kami yang lusuh, amburadul, dan tentu saja tidak memakai kaos kaki.
Dari kejadian ini, aku semakin yakin mengapa masyarakat tidak punya kebiasaan literasi. Itu karena perpustakaan dijadikan tempat suci bagi kalangan orang yang punya habitus seorang pegawai: berpakaian sopan, memakai kaos kaki, bersepatu, tidak boleh memakai kaos, dan seterusnya. Perpustakaan telah mengaleniasi diri. Perpustakaan-perpustakaan yang berada di bawah naungan negara nyatanya didesain hanya untuk orang-orang yang berstatus ‘punya’. Meskipun di beberapa daerah mungkin tersedia perpustakaan keliling, namun tetap saja, perpustakaan itu belum bisa ramah terhadap rakyat kecil. Padahal penduduk Indonesia sebagian besar adalah rakyat menengah ke bawah. Hal ini menunjukkan perpustakaan tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Dalam UU No 43 Tahun 2007 pasal 4 padahal disebutkan bahwa perpustakaan bertujuan untuk memberikan layanan kepada pemustaka, meningkatkan gemar membaca, serta memperluas wawasan dan pengetahuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, faktanya perpustakaan serupa gedung mewah yang haram digunakan oleh orang-orang miskin. Dampaknya orang miskin takut untuk menginjakkan kaki di perpustakaan yang didesain hanya untuk orang-orang kaya itu. Bagiku, permasalahannya bukan karena ketersedian buku, atau bahkan yang sangat picik- menganggap bahwa minat baca rakyat Indonesia minim, permasalahannya adalah perpustakaan sebagai tempat disediakannya buku tidak bisa menyentuh ke bagian terkecil dari rakyat, perpustakaan hanya berada di menara gading yang sangat sulit dijangkau oleh rakyat Indonesia. Perpustakaan tidak pernah mencoba meningkatkan gemar membaca, memperluas wawasan, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Jika seperti ini, lantas bagaimana buku menyadarkan rakyat kalau buku hanya dipajang di dalam gedung yang pada akhirnya hanya penuh debu-- karena untuk membacanya harus punya sepatu terlebih dahulu? Lekra benar, buku yang baik hanya ada di rak-rak, sedangkan buku yang terbaik adalah buku yang dibaca oleh rakyat. Memang sudah semestinya perpustakaan punya buku di rak, tapi sayangnya buku itu kesepian.
Selain keterasingan rakyat kecil atas perpustakaan, kapitalisme juga ikut serta dalam mengaleniasi rakyat kecil dari kebiasan literasi. Logika sederhana yang telah dibangun adalah ketimbang menghabiskan waktu untuk membaca, lebih baik waktu itu digunakan untuk ikut serta dalam sirkulasi kapitalisme: bekerja siang malam tanpa henti, cari cuan. Sebab hidup sudah begini sulitnya, untuk apa menyediakan waktu untuk membaca buku, jika membaca buku tak pernah bisa membikin kita kenyang. Barangkali ini juga adalah dampak besar dari kolonialisme masa lampau; sementara di Barat sana atau di Belanda sana sedang asyik masyuk membaca buku, kami rakyat miskin Indonesia sedang dipaksa kerja rodi untuk memenuhi kebutuhan para kolonial, dan ini berlanjut hingga sekarang, kolonialisme mewariskan kemiskinan dari generasi ke generasi.
Berabad-abad lalu buku dibakar, kini buku dialeniasasi dari rakyat kecil. Maka tiada revolusi yang lain selain: bakarlah-bakarlah perpustakaan, bakarlah-bakarlah buku-buku, kita kuasai dunia ini dengan senjata.
Penulis: Ahmad Aam
Hidup di Rembang. Saat ini puisi-puisi sedang mengajaknya berdansa sembari berusaha menyelamatkannya dari kaldera.
Editor: Agustin Fajariah Asih
0 Komentar