Freepik.com

Di tengah gempita pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan proyek-proyek ambisius lainnya, ada satu paradoks yang menggerus nurani: ketimpangan kesejahteraan antara para wakil rakyat di Senayan dan pahlawan tanpa tanda jasa di ruang-ruang kelas. Saat anggota DPR menikmati fasilitas dan tunjangan bernilai fantastis, ribuan guru honorer di pelosok negeri masih berjuang di bawah bayang-bayang kemiskinan dengan upah yang tak sebanding. Fakta ini bukan sekadar masalah ekonomi, melainkan cerminan prioritas moral dan etika bangsa yang perlu segera dipertanyakan.

Disparitas mencolok ini perlu dibongkar agar publik menyadari betapa parahnya ketidakadilan yang terjadi. Isu ini sangat penting karena menyangkut keadilan sosial, kualitas pendidikan, dan akuntabilitas pejabat publik. Ketika negara mengabaikan kesejahteraan para pendidiknya, maka fondasi untuk membangun sumber daya manusia yang unggul akan rapuh.

Secara faktual, total penghasilan seorang anggota DPR per bulan bisa mencapai lebih dari Rp100 juta. Angka ini bukan berasal dari gaji pokok yang "hanya" Rp4,2 juta, melainkan dari berbagai tunjangan yang jumlahnya fantastis. Berdasarkan data resmi dan laporan media terpercaya, rincian penghasilan kotor mereka adalah sebagai berikut:
 * Gaji Pokok: Rp4.200.000
 * Tunjangan Istri/Suami: Rp420.000
 * Tunjangan Anak: Rp168.000
 * Uang Sidang/Paket: Rp2.000.000
 * Tunjangan Jabatan: Rp9.700.000
 * Tunjangan Komunikasi Intensif: Rp16.400.000
 * Tunjangan Kehormatan: Rp5.580.000
 * Tunjangan Peningkatan Kapasitas: Rp3.750.000
 * Tunjangan Perumahan: Rp58.000.000
 * Tunjangan Perjalanan: Disesuaikan dengan tujuan

Angka-angka ini, yang dibiayai oleh uang rakyat, menunjukkan bahwa kemewahan ini sah secara hukum namun tidak etis. Angka-angka tersebut tidak termasuk fasilitas lain seperti mobil dinas, tunjangan operasional, dan berbagai fasilitas perjalanan.

Di sisi lain, potret guru honorer di Indonesia sangat memilukan. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) secara konsisten melaporkan bahwa rata-rata upah mereka hanya berkisar Rp300.000 hingga Rp700.000 per bulan. Angka ini bahkan jauh di bawah upah minimum regional (UMR) di sebagian besar wilayah. Banyak guru honorer yang terpaksa mencari pekerjaan sampingan untuk bertahan hidup, mengorbankan waktu dan energi yang seharusnya dicurahkan untuk mendidik siswa.

Secara logika, sebuah negara yang ingin maju harus memprioritaskan pendidikan sebagai investasi utama, dan guru adalah aset terpentingnya. Namun, kebijakan penganggaran justru menunjukkan prioritas yang terbalik. Anggaran negara dihamburkan untuk fasilitas mewah para pejabat, sementara kesejahteraan para pendidik diabaikan. Ini adalah bentuk ketidakadilan yang menampar wajah bangsa.

Argumentasi "gaji pokok DPR rendah" hanyalah pengaburan fakta. Yang menjadi persoalan adalah sistem tunjangan yang tidak adil dan tidak berbasis kinerja. Jika kita membandingkan dengan negara maju seperti Finlandia, yang sistem pendidikannya diakui unggul, gaji guru berada di posisi terhormat dan sebanding dengan profesi lain yang setara. Hal ini sejalan dengan teori keadilan sosial John Rawls, yang menekankan bahwa distribusi sumber daya harus menjamin kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat, terutama bagi mereka yang memiliki peran vital dalam pembangunan bangsa.

Ketimpangan ini bukanlah takdir, melainkan hasil dari kebijakan yang cacat. Sudah saatnya kita menuntut perubahan.
- Reformasi Total Sistem Penggajian Pejabat Publik: Hapus tunjangan yang tidak transparan dan tidak masuk akal. Ganti dengan sistem gaji pokok tunggal yang proporsional, adil, dan berbasis kinerja yang jelas.
- Alihkan Dana: Alihkan dana dari penghematan tunjangan DPR untuk menaikkan upah guru honorer secara signifikan dan permanen. Dana yang cukup untuk membiayai tunjangan satu orang anggota DPR bisa digunakan untuk menyejahterakan puluhan, bahkan ratusan guru honorer.
- Tuntutan Kolektif: Masyarakat, mahasiswa, dan akademisi harus terus mengawal isu ini. Gunakan kekuatan media sosial, petisi, dan kampanye untuk menekan pemerintah dan DPR.

Kesenjangan gaji antara DPR dan guru honorer adalah potret nyata ketidakadilan struktural yang menampar wajah bangsa. Ketika wakil rakyat hidup dalam kemewahan sementara guru, pilar peradaban, berjuang untuk bertahan hidup, ada yang salah dengan sistem kita. Bangsa ini tidak akan pernah maju jika guru terus dibiarkan miskin. Para anggota DPR harus ingat: mandat rakyat bukan untuk memanjakan diri, melainkan untuk membangun generasi.

Oleh: Alauddin Nabil An Nabhan
Editor: Lala