Belakangan ini kalangan universitas diramaikan oleh munculnya akun-akun sosial media dengan username nama universitas kemudian diimbuhi "ganteng" dan "cantik". Seperti yang terjadi di lingkungan terdekat kita yakni akun sosial media dengan username “UIN WS Cantik” dan “UIN WS Ganteng.” Sekilas terlihat lucu, bahkan menghibur. Namun di balik semua itu, ada fakta yang menggelitik: banyak mahasiswa secara sukarela mengirimkan foto diri dan membayar sejumlah biaya agar bisa diunggah di akun tersebut.
Fenomena ini bukan hanya tentang siapa yang paling cantik atau ganteng. Ini tentang bagaimana kita, sadar atau tidak, mulai menilai diri sendiri dan orang lain hanya dari penampilan. Kita rela membayar demi pengakuan visual, seolah validasi dari publik lebih berharga daripada penghargaan terhadap diri sendiri.
Objektifikasi seperti ini merupakan bentuk halus dari dehumanisasi. Ia membuat perempuan dan juga laki-laki dipandang bukan sebagai manusia utuh, melainkan sekadar tubuh dan wajah untuk dikagumi. Nilai diri diukur dari jumlah “like” dan komentar, bukan dari pikiran, karakter, atau prestasi.
Dampaknya sangat nyata.
Pertama, muncul dehumanisasi, ketika seseorang tidak lagi dihargai karena kemanusiaannya, melainkan hanya karena tampilannya.
Kedua, timbul kecemasan dan tekanan mental. Banyak yang merasa harus tampil sempurna di depan kamera, takut terlihat kurang menarik, hingga lupa bahwa kecantikan sejati bukanlah soal bentuk fisik.
Ketiga, budaya ini memperkuat ketidaksetaraan gender. Perempuan masih lebih sering dijadikan objek pandangan, sementara laki-laki ditempatkan sebagai penilai. Namun kini, bahkan laki-laki pun mulai terjebak dalam tekanan serupa.
Yang lebih memprihatinkan, objektifikasi tidak lagi datang dari luar. Kita sendiri mulai menikmati dan melanggengkan budaya ini. Kita ikut memotret, mengunggah, membayar, dan merasa bangga ketika dinilai cantik atau ganteng oleh orang lain. Saat hal itu terjadi, objektifikasi bukan lagi bentuk penindasan semata, tetapi juga bentuk kehilangan arah tentang siapa diri kita sebenarnya.
Kita mungkin berpikir bahwa semua ini hanya hiburan. Tetapi ketika pengakuan dari layar lebih penting daripada penghargaan terhadap isi kepala, bukankah itu berarti kita sedang menggadaikan martabat kemanusiaan kita sendiri?
Objektifikasi bukanlah tren. Ia adalah bentuk kekerasan halus yang perlahan mengikis kesadaran diri. Sudah saatnya kita berhenti menilai manusia dari rupa dan mulai menghargai mereka dari isi pikirannya.
Oleh: Alauddin Nabil An Nabhan




0 Komentar