By : M Mudhofar
Diskursus Aswaja menjadi hal yang tidak asing lagi bagi
golongan NU ataupun dalam dunia
pergerakan (PMII). Hal itu dikarenakan ideologi Ahlussunnah wal Jamaah menjadi
corak pemikiran sehingga menjadi ciri khas bagi golongan ini. Ideologi Ahlussunnah wal Jamaah dipikir layak
dijadikan sebagai ideologi Nahdliyin
karena dianggap Aswaja lah menjadi satu-satunya faham yang berpegang teguh pada
ajaran-ajaran Rasulullah, shahabat, serta para tabi’in yang tidak meninggalkan
tradisi-tradisi yang telah ada.
Selain karena itu juga, mungkin kita masih ingat sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Turmudzi dan Imam Tabrani yang mengatakan bahwa Umat Islam akan terpecah
menjadi 73 golongan dan hanya satu yang selamat masuk surga, yakni “ma ana
‘alaih wa ashhabi” (tradisi saya dan shahabat-shahabat saya) atau sering
disebut sebagai Ahlussunnah wal Jamaah. Hadits tsersebut lantas menjadi aksioma
umum yang secara tidak langsung semakin mempopulerkan Aswaja di kalangan Islam
Sunni. Bila sudah seperti itu, dapat dipastikan bagi penganut aswaja tidak ada
yang berani mempersoalkan sebutan, serta hadits sebagai justifikasi meskipun
banyak kerancuan di dalamnya. Padahal munculnya hadits tersebut seyogyanya
hanyalah sebuah intrik untuk mempersatukan (baca: menyamakan persepsi) antara
Kaum Mu’tazilah dan Jabariyah.
Tetapi lambat laun Aswaja-terutama di kalangan
NU-mengalami permasalahan. Aswaja ditempatkan di lokus yang sangat nyaman,
hanya dijadikan doktrin-doktrin an sich belaka dan dikaji dari satu sisi
semata, yakni sebagai mahzab. Padahal Aswaja adalah ruang terbuka yang layak
dibredel dan didiskusikan , atau dalam hal ini menempatkan Aswaja sebagai
Manhaj Al-Fikr (metodologi berfikir).
Aswaja sebagai Mahzab
Sebelum
mengkaji Aswaja sebgai Mahzab, dipandang kiranya menilik historisitas lahirnya
Aswaja terlebih dahulu. Faktor yang paling populer lahirnya Ahlus Sunnah wa
Al-Jamaah ialah tingginya konstelasi politik pasca Rasulullah wafat. Kala
itu adanya perebutan kekuasaan sebagai kholifah pengganti Utsman yang wafat
dibunuh. Aktor yang memanaskan konstelasi tersebut ialah dari kubu Ali bin Abi
Tholib dan kubu Muawiyah yang tidak menerima pengangkatan Ali sebagai kholifah.
Berawal
dari perbedaan pendapat antara Ali dan Muawiyah inilah lahir dua golongan,
Syiah dan Sunni sebagai pengejawantahan dari Ali dan Muawiyah. Namun,karena ada
wujud kemuakan dari dua golongan tersebut maka berdirilah kaum Khawarij yang
menolak kedua golongan tadi. Selain golongan-golongan tersebut, muncul juga
kelompok jabariyah sebagai sekutu dari Bani Umayyah dan Kelompok Mu’tazilah
yang mengantitesis golongan Jabariyah.
Awal pemikiran konsep Aswaja sendiri mulai mapan pada
fase Kaum Mu’tazilah ini. Abu Hasan Al-Asyarie sebagai pencetus ideologi ini
adalah eksmu’tazilah. Saat itu gagasan Aswaja yang dibawa Hasan Asyarie tak
lain adalah tanggapan sosial yang sedang terjadi di masanya, pada pemerintahan
al-Mutawakil. Hasan Asyarie mencoba meredam kebingungan yang terjadi di tengah
masyarakt dimana saat itu terjadi perang pemikran antara doktrin dari
mu’tazilah dan khawarij. Aswaja mencoba
memberikan jawaban yang sesingkat mungkin tapi mudah dipahami masyarakat dengan
memposisikan diri di tengah-tengah pemikiran (berlaku moderat).
Di
Indonesia sendiri, lahirnya Aswaja tak terlepas dari lahirnya Organisasi Masa
(Ormas) Nahdlatul Ulama (NU) di Jawa Timur pada tahun 1926. Saat itu, K.H.
Hasyim Asyarie secara tegas memilih ideologi Aswaja sebagai ideologi NU sebagai
antitesis gerakan purifikasi yang dilakukan kaum modernis. Konsep Aswaja kala
itu adalah sebagai mahzab, mengingat NU lahir di tengah-tengah rakyat pedesaan
dengan kualitas SDM yang rendah tentunya. Rakyat hanya butuh doktrin yang mudah
dipahami tanpa perlu pemikiran lebih lanjut, artinya Aswaja saat itu
diposisikan sebagai mahzab bukan manhaj.
Sayangnya, pemahaman Aswaja sebagai mahzab saat itu masih
terbawa sampai sekarang. Sampai saat ini kader-kader muda NU tidak berani
bedialektika membedah Aswaja.
Mereka terjebak dengan substansi Aswaja masa lampau sehingga tak hayal selama
ini ada pandangan bahwa kaum muda NU larut dan terlalu asyik bergelut dengan
kejumudan.
Hal itu dikarenakan sebab Aswaja dipandang hanya
sebgai sekte, aliran, ideology, atau sejenisnya (mahzab) yang kebenarannya
diakui secara apriori. Kondisi ini menabukan kritik, apalagimenanyakan
keabsahan Aswaja. Terlebihlagi ada klaim keselamatan yang kuat (karena didukung
hadits di atas) semakin menyiutkan kaum NU dalammembongkar ruang-ruang
diskursus Aswaja karena dianggap sakral.
Jadi, tatkala menganut Aswaja sebgai mahzab,
seseorang hanya menjalankan doktrin Aswaja. K.H. HAsyim Asy’arie menjelaskan
Aswaja dalam kitab Qanun NU dengan melakukan pembakuan atas ajaran Aswaja. Dalam urusan
akidah mengikuti Imam Abu Hasan Asyarie dan Al-Maturidi. Bidang ubudiyah
mengikuti salah satu imam madzhab fiqih dan di bidang tashawuf mengikuti salah
satu dari dua imam, yakni Junaid al-Bagdadi atau Muhammad al-Ghazali.
Taqlid semacam ini bagi orang awam memang tidak ada
salahnya. Tapi kita sebgai kaum intelektual dan bergelut di dunia pergerakan
apakah pantas jika ber-taqlid semacam ini? Padahal jika beraswaja
seperti ini sama halnya berislam aswaja tapi tidak bisa menyelamatkan
problematika umat.
Aswaja sebagai Manhaj
Berbeda halnya Aswaja sebgai mahzab, Aswaja sebagai
manhaj (metode berfikir) memiliki sifat lebih fleksibel. Doktrin Aswaja tidak
hanya berkutat pada doktrin an sich belaka. Doktrin aswaja sebagai manhaj mempunyai nilai
substansi yang universal, mencakup segalanya. Hal itu bisa dilihat dari nilai-
nilai dasar Aswaja yaitu tawasuth, tawazun, tasamuh, ta’adul.
1.
Tawasuth
Tawasuth berasal dari
kata wasatho artinya tengah-tengah. Hal ini berarti memahami
segala bentuk ajaran Islam senantiasa berpedoman pada nilai-nilai kemoderatan.
2.
Tawazun
Tawazun mempunyai
makna seimbang. Setiap langkah dalam sendi kehidupan beragama senantiasa
menggunakan prinsip keseimbangan. Hal ini juga sesuai dengan konsep Islam, Hablumminallah,
hablumminannas, hablumminal ‘alam.
3.
Tasamuh
Tasamuh mempunyai
makna toleransi. Atinya dalam menyikapi keberbedaan dan kemajemukan yang ada
baik suku, agama, ras, senatiasa denga prinsip toleransi.
4.
Ta’adul
Ta’adul berasal dari
kata “adala” yang artinya adil. Adil disini dimaknai bukan berarti harus sama,
setara.adil disini dimaknai sesuai pada tempatnya dan kebutuhannya
Meskipun tidak ada referensi yang jelas kapan
peralihan Aswaja dari mahzab ke manhaj ini terjadi, akan tetapi wacana ini
membuming mulai tahun 1990-an dari kader
muda NUyang tergabung dan Organisasi PMII. Masuknya ideologi Aswaja ke dunia pergerakan (PMII) sebenarnya
menjadi angin segar untuk memposisikan Aswaja sebagai kritk sosial yang ada di
masyarakat. PMII sebagai Organisasi Mahasiswa yang saat ini dipandang
berideologi Aswaja bisa menjadi wahana untuk merealisasikan gagasan itu.
Hal itu bisa dilakukan dengan menggunakan
nilai-nilai dasar Aswaja (tawasuth, tawazun, tasamuh, ta’adul) sebagai
alat baca, pisau analisa dalam mengkritik, memecahkan, dan memberikan solusi
permasalahan di ranah tauhid,fiqih, maupun tasawuf. Akhirnya produk yang
terlahir semisal Fiqih sosial maupun
Tasawuf kritik sosial akan vis a vis kehidupan sosial masyarakat karena
sesuai dengan konteks saat ini.
1 Komentar
TOP SAHABAT !
BalasHapus