Berkembangnya wacana tentang aliran pendidikan kritis dalam dunia pendidikan kita semakin membuka peluang-peluang untuk mengkritisi konsep maupun sistem lama yang ada dalam pendidikan kita. Para intelektual muda mulai dari mahasiswa, dosen dan praktisi pendidikan kini semakin tergila-gila, mereka menyukai kekuatan konseptual pendidikan kritis dari Paulo Freire.
Dalam hal ini, kita memposisikan diri sebagai konsumen teori kritis. Akan tetapi yang perlu kita waspadai adalah tentang relevansi konsep-konsep yang dikembangkan Paulo Freire dengan masyarakat kita. Bahwa segala macam konsepsi teori yang digagas memang harus disesuaikan dengan konteks keindonesiaan, dengan keadaan sosio kultur bangsa kita. Namun harus diakui bahwa konsep teori Freire merupakan landasan cara berfikir kritisdalam menanggapi perasalahn kehidupan, utamanya pendidikan.
Para sarjana pendidikan kita telah sepakat secara penuh bahwa yang dimaksudkan dengan Pendidikan Kritis ialah seluruh gagasan yang pernah dikembangkan oleh Paulo Freire (1921-1997). Apa yang telah digagas oleh Freire bukan semata-mata sebatas wacana pendidikan saja. Namun lebih jauh Freire telah menggunakan pendekatan filosofis yang kemudian membangun paradigma Pendidikan Kritis. Pendekatan filosofis sebagai dasar teori ini menjadi landasan dalam membagun konstruksi pemikiran yang anti kemapanan dan rindu kebebasan.
Freire adalah tokoh pendidikan yang anti imperialisme, eksploitasi sekaligus penindasan terhadap potensi-potensi manusia. Setiap penindasan, baginya, tidak bisa ditolerir sebab tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Karena itulah Freire berpendapat bahwa pendidikan adalah untuk “memanusiakan manusia” (humanisasi). Dalam memahami kerangka filsafat Freire baiknya kita terlebih dahulu merunut pada akar persoalannya yang paling mendasar dari buah pikirannya. Freire dengan menggunakan pendekatan humanis membangun konsep pendidikannya mulai dari konsep manusia sebagai subyek aktif.
Freire menggarisbawahi bahwa dalam pendidikan terdapat tiga unsur fundamental yakni; pengajar, peserta didik dan realitas dunia (Mansour Faqih, Roem Topatimasang, Toto Rahardjo : 2001 : 40) Hubungan antara unsur pertama dengan unsur kedua seperti halnya teman yang saling melengkapi dalam proses pembelajaran. Keduanya tidak berfungsi secara struktural formal yang nantinya akan memisahkan keduanya. Bahkan Freire menengarai bahwa hubungan antara pengajar dan peserta didik yang bersifat struktural formal hanya akan melahirkan “pendidikan gaya bank” (banking concept of education).
“Pendidikan gaya bank” merupakan pola hubungan kontradiksi yang saling menekan. Ketika pengajar (guru) ditempatkan pada posisi di atas, maka peserta didik (murid) harus berada di bawah dengan menerima tekanan-tekanan otoritas sang guru. Oleh karena itu pendidikan seperti ini hanya akan melahirkan penindasan dan tidak sesuai dengan fitrah. Freire lebih menghendaki bahwa hubungan antara guru dan murid seperti halnya seorang teman atau partnership. Dengan model hubungan seperti ini memungkinkan pendidikan itu berjalan secara dialogis dan partisipatoris.
Posisi pengajar dan peserta didik oleh Freire dikategorikan sebagai subyek “yang sadar” (cognitive). Artinya kedua posisi ini sama-sama berfungsi sebagai subyek dalam proses pembelajaran. Peran guru hanya mewakili dari seorang teman (partnership) yang baik bagi muridnya. Adapun posisi realitas dunia menjadi medium atau obyek “yang disadari” (cognizable). Disinilah manusia itu belajar dari hidupnya. Dengan begitu manusia dalam konsep pendidikan Freire mendapati posisi sebagai subyek aktif. Manusia kemudian belajar dari realitas sebagai medium pembelajaran.
Pada dasarnya manusia itu memiliki “kebebasan” (freedom) dalam memilih dan berbuat, bahkan dalam menentukan nasibnya sendiri. Inilah fitroh manusia yang oleh Freire disebut sebagai the man’s ontological vocation. Karena kebebasan dalam memilih, mengembangkan potensi adalah fitrah manusia, maka tiap-tiap penindasan yang menafikan potensi manusia oleh Freire dipandang tidak manusiawi. Oleh karena itu ia menggagas bahwa pendidikan adalah “proses” untuk “memanusiakan manusia” (humanisasi).
Dalam kondisi sosial kaum terpinggirkan (marginal) terdapat beberapa karakter khas yang kemudian melahirkan persoalan kompleks. Penindasan adalah salah satu diantaranya yakni ketika otoritas penguasa lebih dominan dan mengeksploitasi manusia tanpa adil sedikit pun. Dengan sikap ketakutan dari kaum marginal itulah yang kemudian semakin menciptakan kesenjangan dalam kehidupan sosial. Orang-orang yang terpinggirkan itu kemudian semakin lemah, tidak berdaya atau semakin larut dalam “budaya bisu” (submerged in the culture of silence).
Mereka tidak mampu melawan otoritas sekelompok orang yang berkuasa sebab memang tidak mampu memahami diri dan realitas sosial. Salah satu persoalan yang menyebabkan mereka tersudutkan terus-menerus adalah faktor masyarakat yang buta huruf, buta wacana dan sebagainya. Untuk mengubah kondisi sosial masyarakat tertindas itulah, Freire menggagas gerakan “penyadaran” (William A. Smith : 2001 : xvii). Sebagai usaha membebaskan manusia dari keterbelakangan, kebodohan atau kebudayaan bisu yang selalu menakutkan.
Maksud dari gerakan penyadaran ini adalah agar manusia bisa mengenal realitas (lingkungan) sekaligus dirinya sendiri. Manusia bisa memahami kondisi kehidupannya yang terbelakang itu dengan kritis. Minimal dengan usaha penyadaran itu, manusia bisa memahami kondisi dirinya sendiri serta mampu menganalisa persoalan-persoalan yang menyebabkan-nya. Dalam hal ini Freire memetakan tipologi kesadaran manusia dalam empat kategori; Pertama, Magic Conscousness, Kedua Naival Consciousness; Ketiga Critical Consciousness dan Keempat, atau yang paling puncak adalah Transformation Consciousness.
Kesadaran Magis merupakan jenis kesadaran paling determinis. Seorang manusia tidak mampu memahami realitas sekaligus dirinya sendiri. Bahkan dalam menghadapi kehidupan sehari-harinya ia lebih percaya pada kekuatan taqdir yang telah menentukan. Bahwa ia harus hidup miskin, bodoh, terbelakang dan sebagainya adalah suatu “suratan taqdir” yang tidak bisa diganggu gugat.
Kesadaran Naif adalah jenis kesadaran yang sedikit berada di atas tingkatan-nya dibanding dengan sebelumnya. Kesadaran naif dalam diri manusia baru sebatas mengerti namun kurang bisa menganalisa persoalan-persoalan sosial yang berkaitan dengan unsur-unsur yang mendukung suatu problem sosial. Ia baru sekedar mengerti bahwa dirinya itu tertindas, terbelakang dan itu tidak lazim. Hanya saja kurang mampu untuk memetakan secara sistematis persoalan-persoalan yang mendukung suatu problem sosial itu. Apalagi untuk mengajukan suatu tawaran solusi dari problem sosial.
Kesadaran Kritis adalah jenis paling ideal di antara jenis kesadaran sebelumnya. Kesadaran kritis bersifat analitis sekaligus praksis. Seseorang itu mampu memahami persoalan sosial mulai dari pemetaan masalah, identifikasi serta mampu menentukan unsur-unsur yang mempengaruhinya. Disamping itu ia mampu menawarkan solusi-solusi alternatif dari suatu problem sosial.
Kesadaran Transformative adalah puncak dari kesadaran kritis. Dalam istilah lain kesadaran ini adalah “kesadarannya kesadaran” (the conscie of the consciousness). Orang makin praksis dalam merumuskan suatu persoalan. Antara ide, perkataan dan tindakan serta progresifitas dalam posisi seimbang. Kesadaran transformative akan menjadikan manusia itu betul-betul dalam derajat sebagai manusia yang sempurna.
Setelah melewati proses penyadaran, pendidikan akan mampu membebaskan manusia dari belenggu hidup manusia. Dalam proses akhir ini, pendidikan akan membebaskan manusia sekaligus mengembalikan pada potensi-potensi fitri. Arti “kebebasan” (liberation) adalah pembebasan manusia dari belenggu-belenggu penindasan yang menghambat kehidupan secara lazim.

Dalam hal ini proses pembebasan memiliki indikasi seperti; optimisme, resistent dan kritis. Sikap optimis inilah yang membangun manusia sebagai sosok yang penuh harapan. Adapun sikap resistent adalah karakter manusia yang paling dasar ketika mendapatkan tekanan-tekanan baik secara fisik maupun psikis dari penguasa. Sedangkan sikap kritis merupakan manifestasi dari sikap seseorang yang mampu memahami kondisi sosial serta dirinya dalam pergumulan secara langsung dengan manusia lain.